Posts

Showing posts from 2021

Orang Tua yang Seru

Image
Siang hari pukul 12 siang, semua teman-teman sekelas berhamburan pulang ke rumah masing-masing. Sementara saya melangkah pelan menuju ruang guru. Sebab di salah satu pojokan ruang guru, ada meja kerja mama. Namun saya tertegun di balik pintu. Karena mama dan ibu guru lainnya ngobrolin tentang saya.  Hmm.. menarik ini, pikir saya.  Karena selama ini para guru telah menjadi orang tua yang saya cintai dan hormati, saya tidak keberatan diobrolin. "Tadi di bawah jendela ada B ngobrol sama A, katanya B, dia ngga akan pacaran seumur hidup kalau bukan sama anak kita."  Apaaah...  'Anak kita' yang perempuan bagi para ibunda guru di dalam sana tak ayak mengacu ke saya belaka. Karena putri-putri guru lainnya masih kecil-kecil. Waduh..  Ini juga, anak-anak laki kok beraninya ngomongin saya di belakang, kedengeran bu guru pula. Kalau berani sini ngomong langsung.  Tapi ya mereka ini tidak akan ada yang berani ngomong langsung sih. Telanjur keder karena saya sering galak. Dan juga

Teman Ngopi

Image
Apabila tidak capek, saya dan teman-teman sering makan siang di luar kantor. Terutama pada hari Jumat, karena suka ada pasar kaget di depan mesjid. Usai makan siang, kami masih lanjut beli barang-barang lucu dan buah untuk cemilan sore. Saat jalan bareng teman itulah, saya kerap kepikiran tentang pertemanan. Betapa saya saat itu hanya memiliki teman kantor belaka. Selain beberapa teman akrab waktu kuliah dan SMA. Bersama teman SMA, tidak banyak yang bisa kami obrolkan. Mungkin karena pengalaman sehari-hari sudah jauh berbeda. Berujung pada sedikitnya kesamaan yang tersisa. Ketika saya memutuskan berhenti bekerja, saya sudah menduga bahwa saya juga akan kehilangan sebagian besar teman kantor. Karena kesamaan bahan obrolan sudah makin menguap. Apalagi ditambah kesibukan masing-masing. Etapi mungkin sayanya yang sibuk dan banyak alasan. Sehingga saya jadi banyak kehilangan teman. Hiks..  Akan tetapi, Bu Septi, founder komunitas Ibu Profesional punya pesan istimewa di hari saya resign itu.

Leadership Story: Kisah Kepala Sekolah yang Membangun Sebuah Sekolah

Image
Gempa di Sumatera Barat pada tahun 2007 menyebabkan begitu banyak kerusakan.  Termasuk bangunan sekolah tempat mama saya mengajar. Dengan sedih saya mengenang, bangunan sekolah yang memang sudah tua itu rusak berat sebagian. Sebagian lagi telah dipenuhi retak-retak besar di dinding. Gempa sekecil apapun akan meruntuhkan sisa dinding itu. Pendek kata sekolah itu sudah menjadi bangunan yang sangat berbahaya. Sekolah itu otomatis terdata sebagai salah satu yang wajib direnovasi total. Mama yang menjabat kepala sekolah di saat renovasi itu menghadapi tantangan baru. Dan ini bukanlah perkara sederhana. Karena sekolah guru, kuliah jarak jauh dan segala seminar  tidak mempersiapkan seorang kepala sekolah untuk menjadi pemimpin pembangunan suatu gedung. 

Paket untuk Tetangga

Image
  "Pakeeeeeett!"  Satu kata yang belakangan ini memantik rasa bahagia dadakan. Sebenarnya paket itu engga selalu dadakan juga. Karena paket yang diterima bisa jadi hasil belanja di pasar online. Yang tentunya sudah diperkirakan kedatangannya. Namun bagaimanapun prosesnya, kedatangan paket selalu membahagiakan. Semasa saya kecil dulu, yang ditunggu adalah kedatangan Pak Pos dengan surat-surat dari jauh. Saya bahkan hafal dengan deru motor tuanya yang menggerung-gerung di tanjakan. Meski kadang Pak Pos juga membawa berita mengagetkan dengan lembaran telegramnya. Tapi lebih sering ia datang dengan kabar gembira.  Nah kini zaman berganti, kabar telah berlarian kesana kemari dengan cepat. Orang-orang tidak lagi memerlukan Pak Pos demi menyampaikan sebuah kabar. Karena jangankan sepotong berita penting, bahkan sebuah artikel bisa dikirim dalam sepersekian detik. Luar biasa perkembangan teknologi dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama ini.  Kegembiraan akan kedatangan Pak Pos lal

Menjadi yang Bermanfaat

Image
Akhir pekan kemaren pada sebuah obrolan via telpon, mama bercerita tentang kegiatannya di kampung. Mama mengisahkan lomba yang diikuti oleh kampung kami. Salah satu bagian yang dibahas adalah tentang pengelolaan sampah. Pihak penilai memberikan apresiasi pada tata kelola sampah yang apik. Sehingga dari pusat nagari hingga rumah paling ujung di punggung gunung, tidak ditemukan sepotong sampah. Bahkan saat hari pasar digelar di balai (alun-alun), sampah tetap bisa dikelola dengan sangat baik. Tidak lebih dari satu jam setelah pasar usai, balai telah bersih kinclong. Bahkan sehelai daun kering pun tidak bisa ditemukan. Namun petugas dari provinsi tersebut menyayangkan belum adanya kegiatan komposting di kampung kami. Mereka menyarankan agar sampah dipilah dan kemudian sampah organik bisa diproses mandiri agar menjadi kompos.  Mama saya, selain pernah menjadi pengurus PKK Kabupaten, juga aktif di lingkup kampung, sehingga beliau juga hadir saat ini. Dengan sigap mama dan pemuka nagari lain

I am Small & Perfect

Image
Ruang belanja sayur mayur via online telah beberapa kali saya gunakan. Saya senang mengulik laman aplikasi kang sayur online itu. Karena tampilan foto sayur dan buah yang segar, sungguh sangat memanjakan mata. Berkat aplikasi ini juga, saya jadi menambah pengetahuan tentang nama sayuran yang tidak lazim saya jumpai sehari-hari. Kang sayur online , sangat membantu saat saya tidak leluasa keluar rumah. Saya tetap bisa masak tanpa perlu gusar dan memaksakan diri ke pasar. Senangnya. Dari pengalaman belanja itu, ada satu hal yang menarik. Aplikasi belanja itu memiliki menu IMPERFECT !  Whoaaa, sayuran macam mana yang imperfect itu?  Saya kira ibu penasaran seperti saya akan auto klik, meski sayuran untuk masak besok, sudah komplit di keranjang belanja.  Di sanalah berada tomat imut itu, dengan seraut senyum pula. Lengkap dengan caption:  "Saya imperfect , ukuran saya kecil tapi saya tetap manis dan bergizi." Saya tersenyum. Terpengaruh dengan garis senyum si tomat imut. Ini se

Kisah Tukang Parabot

Pada pekan pertama tinggal di kota, saya takjub dengan banyaknya bebunyian di sekeliling rumah. Begitu subuh berakhir, bebunyian pertama diawali oleh panggilan para tukang roti, tahu Bandung, susu murni, dan kang sayur tahap 1. Tukang roti terutama, memiliki nyanyian sendiri-sendiri. Begitu matahari sedikit beranjak, lain lagi panggilannya. Parade tukang sayur tahap 2 pun dimulai, demikian juga ada penjual ikan keliling. Dalam senyap itu, melangkah pula mbok jamu dengan keranjang jamu yang sudah dipastikan berat banget itu.  Ketika siang nyaris datang, ragam jualan makin banyak. Kini muncul tukang rujak, es krim, dan buah potong. Lewat pula tukang sayur tahap terakhir. Yang merupakan andalan ibu-ibu yang tadi melewatkan pertemuan kang sayur 1 dan 2. Di bawah terik sinar matahari itu juga, melangkah tegap bapak yang memanggul bale-bale bambu. Tidak banyak suaranya yang keluar. Hanya sesekali saja. Mungkin karena beban berat yang dipikulnya. Betapa tidak, satu bale-bale saja udah berat b

Kisah Tebing yang Membungkam Cita-Cita

Image
Raut wajah sekelompok remaja itu kini amat serius, sebab nyawa salah seorang teman mereka diujung tali. Kali ini dalam artian harfiah, karena ini bukanlah pengandaian belaka. Para remaja itu adalah penakluk level kecuraman tebing di pegunungan. Mereka meninggalkan rasa jeri pada ketinggian di sudut rumah. Dan hanya membawa segenap cinta pada alam. Mereka menikmati saat-saat menaklukan tebing licin dan curam, dan juga bergembira saat berhasil mencapai puncak.  Tapi kini mereka berada di posisi yang sulit. Tebing itu terlalu berbahaya. Bahkan dengan segenap tim bekerjasama saling mengulurkan tangan. Tebing itu mustahil bisa mereka daki.  Tegang,.sungguh gawat situasi mereka. Di tengah perjuangan itulah, salah satu pendaki kehilangan pegangan. Seperti kapas, ia melayang di ketinggian. Terus melayang hingga terhempas di jurang yang dalam. 

1 Bulan Saja Waktu Tersisa

Image
  Saya tidak bisa mencegah datangnya para tamu. Pertama kami merupakan sebuah keluarga besar, yang memiliki pendapat yang sama. Bahwa berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Entah apa yang terjadi, susah atau bahagia, namun yang namanya keluarga tetap kudu kumpul. Apalagi dalam momen kelahiran yang membawa nuansa gembira tiada tara. Sudah tentu dua keluarga besar akan bertemu di rumah sakit, dan nanti bakala berlanjut di rumah.  Selain keluarga, saya dan suami memiliki banyak teman dan relasi. Sebagian ya karena hubungan pekerjaan atau kesamaan aktivitas, tapi lainnya merupakan sahabat kami bercerita ngalor ngidur dan tertawa riang bersama. Sudah tentu pula mereka tidak akan tinggal diam, ketika bayi perempuan berpipi bulat lahir ke dunia.  Maka tak ayal lagi, ruang kamar Aisyah, segera dipenuhi pengunjung. Saya baik-baik saja dengan jumlah tamu yang banyak. Karena saya berpendapat, kesembuhan datang dari mata berbinar dan senyum yang mengembang. Akan tetapi, saya memerlukan waktu s

Belajar untuk Berjumpa

Image
  Anak-anak saya sudah begitu lama berada di rumah. Mereka bangun di pagi hari dengan perasaan yang biasa saja, tidak ada lonjakan semangat untuk bertemu teman. Juga tidak ada pembahasan riuh tentang ingin bawa bekal apa hari ini. Pun tidak pula kekhawatiran berjumpa dengan teman yang ngga asik. Mereka terlalu lama berada di bawah perlindungan atap rumah.  Benar bahwa anak-anak mengalami masa sekolah yang nyaman. Mereka mengawali hari dengan melaksanakan agenda pagi seperti sholat subuh, mandi pagi dan sarapan. Kemudian mereka tadarus bersama guru dan teman-temannya via zoom meeting. Begitu selesai, biasanya mereka akan main sejenak, atau ngemil dulu. Sebelum nanti masuk ke e-learning dan mulai belajar. Ruang belajar mereka sebagian via zoom, atau kadang ada materi berupa video yang perlu di- download atau dilihat di youtube channel . Biasanya semua materi itu diikuti dengan tugas-tugas. Ada yang harus dikirimkan di hari yang sama, namun sebagian diberikan waktu yang lebih panjang. Te

Karena Namaku Adalah Syam

 *BAGIAN TERAKHIR DARI 10 TULISAN WRITOBER2021 Namaku Syam. Anak tunggal yang mewarisi tiga lereng bukit dan tiga hamparan lembah. Konon di masa lampau, nenek moyang kami turun dari Gunung Sago dan beranak pinak. Lalu mereka membagi kepemilikan tanah dengan meniup segenggam kapas. Kelak sejauh mana biji kapas terbang dan kemudian tumbuh, itulah batas tanah mereka. Karena kapas itu melambung tinggi dibuaikan angin yang lena, maka akan jauh kapas terbang. Jauh pula rentang tanah warisanku. Selain itu, dikarenakan sejak dahulu kala, anak perempuan di keluarga ini hanya seorang saja di tiap generasinya, tanah ulayat kami utuh. Tidak pernah dibagi-bagi. Beban berat itu yang aku tanggungkan. Mengurusi tiga bukit yang penuh dengan pohon cassiavera dan kopi robusta. Ketika sudah saatnya menebang kayu manis, aku akan sibuk sekali mengatur para pekerja. Memastikan mereka benar-benar menebang pohon yang berdiameter dewasa. Juga memastikan mereka mengambil setiap rantingnya, karena setiap inci dar

Selamat Tinggal Syam

Tulisan 9 dari 10. Belajar menulis fiksi. Lima tahun yang lalu, aku sepenuhnya pensiun. Kegagalan operasi yang terakhir membuatku terpukul. Lalu kusadari aku telah kehilangan ketajaman analisis. Pengalaman berpuluh tahun di lapangan telah membuatku amat lelah. Entah bagaimana, aku melewatkan poin penting yang akhirnya membuat semua rencana berantakan. Kerugian materi tidak terhitung, karena ini melibatkan tiga negara sekaligus. Sebuah kegagalan yang membuat semua prestasi sebelumnya tidak berarti apa-apa. Tidak terhitung banyaknya operasi rahasia negara yang telah kulakukan. Untuk itu telah aku telah kehilangan nama asli dan juga kesempatan memiliki keluarga kecil. Namaku hanyalah sandi belaka, dan ketika kedua orangtuaku meninggal, hilang simpul terakhirku dengan yang namanya keluarga. Karena menikah terlihat mustahil dengan situasiku. Maka hanya Syam, satu-satunya perempuan yang ada di pikiranku ketika aku merindukan keluarga. Tapi Syam, sama sepertiku, kukira tidak lagi memiliki nam

Air

Tulisan 8 dari 10. Belajar menulis fiksi. Sebuah surat datang ke hadapanku. Tanganku bergetar melihat asal surat itu, sebab selain anaknya Lami, tidak ada lagi yang mengirimiku surat.  Sudah kukatakan sejak semula, aku adalah orang yang tidak terpakai lagi. Dan tidak ada yang membutuhkan namaku. Ketika pada sebuah surat, tertera nama lengkapku yang lain, tanganku kehilangan kontrolnya. Itu adalah identitas yang semestinya tidak boleh terkuak. Terlebih lagi, semestinya yang mengenali nama lengkapku yang itu, tidak akan tahu tentang Syam dan negeri asalnya ini. Bahkan Syam sendiri belum pernah kembali ke sini sejak usianya 3 tahun.  Bagaimana bisa ada orang yang tahu nama dan alamatku di sini. Di negara yang bahkan tak pernah terbayang akan kukunjungi. Hanya kekonyolanku sesaat yang membuatku memilih kampung kecil ini sebagai tempat menghabiskan sisa waktu. Aku, seorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Tidak banyak lagi yang kuinginkan. Malah sedapatnya aku perlu menghindar. Ke

Bak Minum Air Laut

Tulisan 7 dari 10. Belajar menulis fiksi. Hujan turun terlalu deras semalam. Para pemilik toko di sepanjang terminal telah bersiaga sedari hujan pertama turun. Mengingat tempo hari, hujan telah memasuki toko lebih dari mata kaki. Padahal jejeran ruko ini telah lebih tinggi satu meter dari terminal. Kali ini, hujan turun lebih deras dari sebelumnya.  Aku cemas akan barang-barang di dalam toko. Cemas akan air yang akan menyerbu masuk dari arah depan, dan juga kemungkinan atap yang bocor. Buku-buku yang ada di sini tidak akan bertahan pada hamburan air coklat sarat tanah dari pegunungan itu. Ataupun tampias hujan dari sana sini. Mereka rentan sekali.  Di tengah badai itu kuputuskan untuk menyeduh kopi yang kental. Betapapun kantuk datang, aku harus bertahan. Terlalu mahal harga yang harus kutanggung jika sampai ketiduran saat banjir menerjang. Kunikmati kopi pahit ini dengan rakik kacang, yang diantarkan Pak Lami sore ini. Bungkusan terakhir di pekan ini, katanya, karena semua rakik buata

Bak Pauh Dilayang

Tulisan 6 dari 10. Belajar menulis fiksi. Kutemukan ia duduk di taman seraya memegang surat. Aku terlalu sering mengamatinya hingga langsung tahu kalau surat itu dikirim dari Indonesia. Kepalaku berantakan saat melihat senyum yang terus melekat di wajahnya. Surat itu, mestilah berasal dari seorang yang disukainya. Aku memberanikan diri duduk di sampingnya, meski kutahu ini melanggar privacy -nya. Betapapun kami telah akrab, tapi melongok surat seseorang bukanlah hal yang baik. Untung bagiku, Syamsinar, perempuan dengan senyuman indah itu, juga adalah perempuan yang sangat baik hati. Ia melepas pandangannya dari kertas biru muda itu, dan menatapku. Hatiku terbang seketika. "Duduklah di dekatku," ucapnya dengan senyum yang masih terkembang. Aku menurut. Bahkan andai ia sedang ngomel-ngomel pun, aku tetap setia menemaninya. Apalagi ketika ia sedang bahagia. Meski sebenarnya aku telah lama penasaran, siapa pengirim semua surat yang datang sekali sebulan itu. "Dengarkanlah Ol

Tumbuh Terbang Hingga Jauh

Tulisan 5 dari 10. Belajar menulis fiksi. Dua blok di sebelah kiri adalah lapak penjual rakik kacang. Makanan bernama rakik ini semacam rempeyek dengan taburan kacang tanah di atasnya. Kutebak, juga diberikan irisan daun jeruk di adonannya, menilik rasa citrus yang kadang hadir dalam bungkus rakik itu. Pak Limi namanya, ia yang membuat sendiri rakik kacang itu di kios kecilnya yang beraroma minyak goreng. Ia tidak pernah sendirian, selalu ada bantuan dari istri, tiga anak, dan dua keponakannya. Etek Maya, isttinya selalu membuatkan teh dengan irisan jeruk nipis untuk semua anggota keluarganya. Satu teko besar teh jeruk, tidak pernah absen dari meja kopi di depan kiosnya. Teh itu tidak hanya untuk suami dan anak-anaknya, tapi juga diperuntukkan bagi pembeli yang mencicipi rakik di sana. Rakik itu memang tidak dikemas sejak awal. Melainkan ditempatkan di plastik amat besar dan ditaruh berjejer di depan. Kelak ketika ada pembeli dan jumlah satuan beratnya disebutkan. Barulah Pak Limi atau

Akar yang Menghunjam ke Tanah

Tulisan 4 dari 10. Belajar menulis fiksi. Kukira anak penjual sandal di sebelah adalah anak yang menjadi favoritku di sepenjuru terminal ini. Awalnya ia kerap main ke tokoku untuk mengisi TTS bersama. Ia kubiarkan duduk di meja kopiku. Kubiarkan juga ia mengambil cemilan yang kubeli tiap pagi. Tapi ia juga mengambil jajanan pasar yang paling aku sukai. Yaitu roti dengan selai berwarna kuning tua. Meski demikian, kubiarkan saja. Sama seperti halnya kubiarkan ia mengambil permen mint yang kumaksudkan untuk para pembeli. Lama-lama bahkan aku yang mengajaknya unuk tiduran di karpet sambil membaca buku. Terutama pada hari Senin. Ketika terminal dan pasar lengang sejadinya. Aku yang membiarkan hatiku menerimanya. Lama-lama kubiarkan ia mengambil seluruh hidupku. Ia yang menentukan kami akan main catur ataukah main congklak. Kadang ia mengatur kami akan makan siang di warung siapa. Ia juga yang membuat jam tidur siangku.  Namanya Andrea. Ia kini memiliki pengaruh atas situasi keuanganku. Beta

Terlalu Jauh Untuk Kembali

Tulisan 3 dari 10. Belajar menulis fiksi. Dua meter di depan sana, ada payung besar yang kuduga dulu berwarna oranye cerah. Tapi kini warnanya coklat, hanya sekilas saja warna aslinya muncul.  Tentu saja demikian.  Payung besar itu telah bertahun ditimpa derai hujan dan menahankan panas. Ia hanya dilipat rapi jika magrib akan menjalang. Dan keesokan pagi, jauh sebelum keriuhan terminal dimulai, ia juga sudah terkembang.  Di bawah payung itu, seorang ibu seukuran kakak perempuanku, duduk di tempat yang sempit. Ada semacam kotak besar di bawah payung itu. Di tengahnya ada lobang yang hanya pas untuk tiang payung dan ibu itu duduk berjualan. Di sekelilingnya, ditata berbagai kue dan roti, juga makanan tradisional masyarakat di sini.  Berbekal rasa penasaran, aku membeli beberapa makanan. Random , karena aku tidak mengerti apapun soal makanan tradisional. Satu-satunya yang kumakan sebelumnya adalah masakan istriku saja.  Di luar dugaan, rasanya ternyata enak.  Sehingga lapak kue itu lalu m

Bak Pimpiang di Lereng

Image
 Tulisan 2 dari 10. Belajar menulis fiksi. Toko buku ini, kuberi nama Kenang-kenangan. Berada di sebuah pasar kecil dekat depan terminal antar kota. Keberadaannya merupakan sebuah kontras. Bahwa ada toko kecil berlapis kayu coklat dengan banyak bunga kering menghiasi bagian depan. Di antara bunga itu kuletakkan dua buah kotak majalah bekas. Pintu toko merupakan kaca lebar yang licin tanpa debu sedikitpun. Pada pintu itu kugantungkan tulisan 'BUKA' yang kubuat sendiri. Toko  cozy  ini sangat janggal jika disandingkan dengan toko pakaian, warung soto, dan deretan toko lain yang riweuh dengan barang berserakan. Terminal dan pasar adalah dua muara kesibukan umat manusia. Sementara toko buku sejatinya adalah tempat waktu berhenti sejenak. Bahkan aroma bunga yang mengalun di dalamnya, hanya tercium samar saja.  Tentram. Tenang apa adanya. Entah kegilaan apa yang kulakukan saat menyewa toko kecil ini. Dan entah darimana datangnya ide dekorasi begini. Di kampung yang senantiasa disapa

Gema

Image
 Tulisan 1 dari 10. Belajar menulis fiksi. Perlahan kurapikan majalah bekas di kotak kayu yang ada di depan toko. Dua buah kotak yang penuh berisikan majalah remaja bekas. Majalah-majalah itu diantarkan kemari oleh anak yang telah bosan dengan bacaannya. Kemudian dibeli oleh anak yang uang jajannya tidak cukup untuk membeli majalah baru. Atau kadang, memang sengaja menunggu beli majalah bekas saja. Kuperhatikan, setidaknya ada 5 anak yang berpakaian bagus, tapi malah memilih beli majalah bekas.  Yah, setelah sekian lama banyak melamun di balik kaca toko, aku jadi paham setiap raut anak yang berhenti sejenak di depan tumpukan majalah. Bahkan aku telah membuat sebuah data statistik. Mari kusampaikan sekelumit pengamatanku. Bahwa dari 10 orang yang lewat di hari Senin, tidak seorangpun yang mampir. Sekadar melirikpun tidak. Sebab angkutan pedesaan di terminal ini tidak beroperasi pada hari Senin. Jangan tanyakan padaku sebabnya. Itu mestilah peraturan yang sudah ada dari sejak lama. Jika

Ibu Rumah Tangga Bahagia

Saya sering melihanya dengan topi biru di atas jilbabnya. Bisa jadi terpal yang terbentang sehasta di atas kepalanya, tidak cukup untuk menahan panas kala siang tiba. Antara saya dengannya, sudah terbentuk semacam kesepahaman yang unik.  Ia paham sekali dengan bacaan yang saya perlukan setiap kali saya mampir di lapaknya. Ketika saya masih tinggal sendirian ngekost di bilangan Benhil, saya memerlukan 3 jenis majalah. Dan ia tahu persis jenis majalah saya sukai. Begitu saya menikah dan kemudian bersiap menyambut momongan, ia memberikan beberapa alternatif bacaan baru. Kiranya ia mengerti bahwa saya tengah butuh bacaan baru. Lantas rentang waktu sekali lagi berganti, anak-anak saya mulai belajar membaca. Ia pun menyodorkan bahan bacaan baru, yaitu majalah anak-anak. Ia, ibu penjual majalah di belokan kota BNI, telah menjadi teman baik dalam beberapa periode hidup saya.  Lapak majalah itu adalah kepingan puzzle terakhir yang melengkapi lembaran kehilangan yang saya genggam saat pulang den

Naik Tingkat

Rumah sunyi senyap. Ayahanda yang sedang sakit, berbaring di kamar sendirian. Saya sendirian di dapur, mengemasi piring dan sendok. Satu persatu piring lebar itu saya bungkus dengan plastik dan menyimpannya di lemari. Entah kapan peralatan sebanyak ini akan terpakai lagi. Uda, yang baru beberapa hari  bergabung sebagai menantu di rumah ini, juga sibuk beberes di ruang depan. Saat itulah bumi berguncang. Bukan hanya sekadar metafora, namun rumah sempurna berayun kencang seiring dengan kerangka rumah berderak hebat. Saya terhuyung, lepas sudah piring di tangan. Dalam kekagetan itu, saya hanya teringat pada apa. Apa adalah panggilan saya untuk ayahanda. Untungnya uda juga berpikiran sama. Berdua kami berjuang melangkahkan kaki menuju kamar apa. Ini tidak segampang biasanya, mengingat badan kami terhuyung ke kiri dan kanan, mengikuti ayunan lempeng bumi.  Apa telah duduk di kasurnya, wajahnya penuh rasa cemas. Saya dan uda memeluk apa, dan memapah beliau keluar rumah. Apa lalu memandu kami

Kenangan Ramadan - Suara Kepala Desa

Apabila hari itu adalah hari raya balimau, maka pada malam harinya adalah malam pertama sholat tarawih. Saya mengenang masjid Mujahidin yang senyap akan seketika ramai. Masjid di masa kanak-kanak saya itu terletak di ujung desa. Jika hendak menuju masjid, kami perlu menuruni jalanan yang kadang licin bila hujan. Sehingga perlu berhati-hati sekali.  Masjid di malam tarawih pertama selalu meriah. Tikar plastik sampai digelar sampai belakang. Jika biasanya di bulan lain hanya dua shaf saja, di bulan Ramadan akan sampai ke barisan belakang. Begitu magrib usai, masyarakat sudah berdatangan. Dan menggelar sajadah masing-masing. Juga saya dan keluarga.  Bagi saya yang masih kecil waktu itu, sebenarnya sukar untuk berdiri lama-lama waktu sholat tarawih. Sehingga begitu sholat witir selesai, rasanya lega sekali. Selain sholat tarawih, di malam awal Ramadan itu, kepala desa kami juga memberikan banyak wejangan serta pengumuman terkait pelaksanaan ibadah Ramadan. Tapi sekarang setiap fragmen masa

Kenangan Ramadan - Balimau

Saya lahir dan besar di Situjuah, sebuah daerah dimana ada tiga hari rayo. Pertama hari rayo balimau. Kedua hari rayo idul fitri dan yang ketiga adalah hari rayo haji.  Hari raya yang pertama, adalah hari menjelang bulan Ramadan. Tradisi di kampung kami, setiap keluarga dan sahabat akan saling berkunjung dan saling bermaafan. Sehingga di tiap rumah akan menyediakan makanan seperti layaknya lebaran idul fitri. Ketika sanak saudara berkumpul, tentunya hidangan lengkap akan disediakan. Tak kurang pula kue-kue kering untuk menemani sesi ngobrol-ngobrol di ruang tamu. Biasanya mama juga memasak rendang, sekalian untuk stok makanan di bulan puasa nanti. Selain kunjungan silaturrahim ini, ada tradisi lain yang namanya poi balimau. Secara harfiah: Poi = pergi Balimau = mandi keramas dengan menggunakan irisan daun pandan dan jeruk (limau) Tujuannya adalah menyucikan diri sebelum datangnya bulan Ramadan. Prakteknya, ini menjadi ajang jalan-jalan ke sumber mata air,  air terjun, pantai, danau ata

Bainai

Kali ini saya pengen cerita tentang kenangan bainai. Sudah umum dikenal bahwa Malam Bainai adalah bagian dari adat pernikahan di Sumatera Barat. Tapi ini bukan tentang prosesi Malam Bainai yang ingin saya obrolin, karena saya sendiri tidak terlalu paham mengenai prosesi ini. Alasan utamanya karena di kampung saya, malam bainai tidak lazim diadakan, pun saya sendiri tidak menjalani malam bainai ini saat menikah. Namun saya ingin menceritakan kegiatan bainai di masa kecil saya. Jadi... dulu itu (saat usia SD kelas 3 atau 4 kira-kira) saya dan teman-teman sering sekali bainai. Bainai ini lebih karena seru-seruan aja sih sebenarnya, entah kenapa lagi tren aja pada masa itu di antara teman-teman. Kalau abis belajar bersama, kami lalu sibuk menumbuk daun inai dan rame-rame pakai inai di kuku. Trus besoknya tanding-tandingan kuku paling merah di sekolah. Tentunya yang paling bagus merahnya adalah pemenangnya.. Sungguh masa kecil yang luar biasa... Sementara yang lain tandingan nilai paling ba

Patri

Suara Anneth dalam lagu: Mungkin hari ini, hari esok atau nanti, mengalun di kanal youtube. "Mungkin hari ini hari esok atau nanti Berjuta memori yang terpatri dalam hati ini Mungkin hari ini hari esok atau nanti Tak lagi saling menyapa Meski ku masih harapkanmu" 🎶🎶🎶🎶🎶 Begitu bait lagu usai, Atya bertanya: "Apa itu terpatri, Bunda?" Seperti biasa, tiap kali anak-anak memperlakukan saya bagai wikipedia, saya perlu terdiam dulu. Memastikan apakah saya benar paham dengan arti kata yang dimaksud. Sebab saya berpeluang menyesatkan pemahaman anak-anak. Bisa repot urusannya jika saya keliru informasi. Tapi pada kata "patri" saya terdiam lebih dari 3 detik. Saya terlanjur pulang ke desa bersuhu dingin, Kubang Bungkuak, dan mendapati saya memegang majalah Bobo. Dalam cerpennya dikisahkan tokoh pendukung yang sering melintas di depan rumah. Ia adalah seorang tukang patri. Di desa saya tidak ada yang namanya tukang patri. Itu adalah jenis pekerjaan yang tidak ad

Cinta Berubah Cara

Hari ini uda jauh dari rumah, sejak kemaren malam uda sudah nginap di Puncak. Pasalnya akad nikah pagi ini akan dilangsungkan di hotel Amarilis, tidak akan kekejar jika berangkat dari rumah. Sungguh terlalu beresiko jika demikian. Seorang mc profesional tidak akan mempertaruhkan acara pernikahan seseorang pada traffic yang tidak menentu. Belum lagi dengan adanya sistem buka tutup jalur di Puncak. Akan lebih baik jika uda nginep di atas sekalian, agar besok pagi bisa bekerja dengan leluasa. Saya lalu melepas uda dengan harapan bahwa uda tidak akan mengantuk hingga sampai hotel. Setelah bekerja seharian lalu dilanjut nyetir sendiri, saya dihinggapi cemas di setiap detik perjalanan uda.   Begitu uda berangkat, hujan deras turun mengguyur bumi. Intensitasnya terus meningkat bahkan hingga subuh. Hanya ada suara derai hujan hingga pagi hari tiba.  Gerimis tetap ada mewarnai pagi ini. Sama resahnya dengan telpon pagi dari uda. Uda bercerita tentang banjir di banyak wilayah dan tentang truk pe

Miana

 #Pandemi #Kisahkelima Pada desa yang baru kami tempati, apa membeli sebidang tanah, tidak jauh dari rumah. Apa lalu menanam pisang, cabe rawit, ubi jalar dan tanaman lainnya. Saya seketika menyukai kebun sayuran itu. Tanahnya yang coklat muda dan halus, serta rindangnya pohon alpukat membuat saya betah bermain di sana. Selain itu saya menyukai perjalanan menuju ke kebun, karena ada petakan tanah yang kurang terurus namun disana tumbuh tanaman yang menakjubkan.  Ia memiliki daun selebar telapak tangan bayi, dengan warna yang tidak lazim dimiliki dedaunan di seantero desa ini. Warna dominannya adalah hijau muda. Warna yang akan mengingatkanmu pada segelas jus alpukat di siang hari yang terik. Berbaur harmonis dengan warna hijau yang tenteram itu, adalah warna pink muda dan kuning yang ceria. Saya takjub membayangkan semua warna kesukaan saya bisa berpadu begitu indahnya di selembar daun.  Maka setiap kali saya ke kebun, saya tak lupa melirik rimbunan daun menakjubkan itu. Saya tak henda

Sampah untuk Tetangga

 Rumah kami di kampung memiliki halaman yang luas. Halaman samping dan halaman belakang ditanami pohon kakao dan beberapa pohon buah. Biasanya Tek Eda secara berkala akan mengatur seseorang untuk membersihkan sekitar rumah dan merapikan sampah-sampah dedaunan. Sesi bersih-bersih pekarangan ini biasanya satu bulan sekali atau kadang malah dua bulan sekali. Adik yang tinggal di rumah kami tidak banyak menghasilkan sampah sehari-hari. Praktis tumpukan sampah di halaman samping tidaklah banyak dan mayoritas sampah kami berupa dedaunan kering belaka. Pada hari kedua mudik di kampung halaman, saya membuang sampah ke samping rumah. Olala kok ya banyak sekali tumpukan sampahnya. Penasaran, saya dekati sampah-sampah itu. Ini jenis sampahnya jelas bukan berasal dari rumah kami, karena ada sampah popok sekali pakai dan minuman kotak dan botol yang tidak pernah saya beli. Ini berarti ada yang menitipkan sampahnya pada kami. Well... ya tinggal diselesaikan aja kan yah. Sederhana saja, saya cukup me

Kisah Keempat Pandemi: Hal yang Baru

Saya terpikirkan ibu-ibu di kantin sekolahnya anak-anak.  Di deretan booth jajanan itu, pertama-tama ada booth favorit anak-anak. Di sana ada semua makanan yang tidak bisa ditolak, ada puding jelly, bakso goreng, nugget, pentol ayam, mie dan banyak lagi. Di sebelahnya ada penjual soto dan lontong sayur. Nah lanjutt kembali ada booth favorit berikutnya, yang menjual segala minuman dingin. Ia akan dikerumuni di segala waktu. Entah kenapa kedua putri saya suka es di sepanjang waktu. Beda sama bundanya yang suka teh hangat.  Banyak lagi tempat jualan kesukaan anak-anak. Mungkin penjualnya sudah melakukan survey pasar dulu, terhadap makanan yang disukai anak. Tak kurang dari 100 jenis makanan ada di sana. Dan tidak hanya kesukaan para murid, juga ibu bapak yang menunggui anak di sekolah bisa jajan juga. Saya sendiri suka makan bakwan malang tanpa dikasih kecap atau sambal. Rasanya kuah kaldu gurih jadi ketutupan saos dan kecap. Jadilah saya suka duduk di depan booth Bakwan Malang tiap kali

Kisah Ketiga Pandemi: Akal Sehat

Salah satu tantangan wabah Covid 19 adalah diujinya akal sehat. Saya tersentak ketika kakak ipar bilang kalau di tempatnya orang-orang tak percaya dengan corona.  "Ah, itu hanya akal-akalan pemerintah saja itu." Saya meringis.  Dan lebih meringis lagi ketika segera saja bilik-bilik whatsapp dipenuhi dengan ramuan ampuh pembasmi wabah. Saya membatin bahwa tidak hanya virus yang melanda bumi, namun ujian akal sehat ikut menyertai.  Apakah ada konspirasi di antara helai-helai informasi yang berterbangan di luar dinding rumah?  Entah. Toh saya adalah emak yang sibuk dengan tiga anak yang masih sangat tergantung dengn perhatian saya.  Andaikata saya tertarik, saya juga tidak punya cukup waktu menguliknya.  Namun setidaknya, dua hal tidak boleh diabaikan, yaitu skeptis dan kritis.  Pelajaran pertama saya tentang dua perkara ini dimulai ketika saya berusia lima tahun. Waktu itu kami sekeluarga pindah ke desa di punggung gunung yang tidak punya penerangan listrik. Saya yang terbiasa

Kisah Kedua Pandemi: Setengah Isi

Pandemi COVID 19 jelas-jelas sudah ada tanpa bisa dielakkan. Wabah jenis baru ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Tanpa ada yang bisa merasa aman. Penyakit yang muncul kali ini tidak hanya merepotkan bidang kesehatan. Melainkan menggoyahkan semua sendi kehidupan. Ruang-ruang kerja segera berubah. Sebagian berpindah ke ranah online, sebagian terhenti begitu saja. Sebut saja bu kantin yang menjual bakwan Malang di sekolah. Begitu anak-anak belajar dari rumah, bu kantin stop berjualan. Bangku-bangku panjang naik ke atas meja kantin yang berjejer. Kantin terbuka yang biasanya ramai oleh kesibukan makan siang dan ngemil, seketika senyap.  Aktivitas berhenti begitu saja.  Bahkan anak-anak belum sempat mengemasi barang-barang di loker.  Di rumah, suasana berubah drastis. Pangkalan ojek dekat rumah yang biasanya terdiri dari 7 opang tetap, kini hanya ada satu orang saja. Bang Nata masih setia duduk beberapa jam setiap pagi, lalu kemudian pulang. Kadang ia tidak membawa seorang

Pandemi - Kisah Pertama: Kita Baik-baik Saja, Insya Allah

Bahwa orang Minangkabau suka merantau, ini sudah jamak dipahami. Tak terbilang banyaknya tetangga saya yang meninggalkan kampung. Ketika saya kecil, saya tidak menyukai konsep merantau ini karena kampung jadi sepi. Hanya orang tua dan kanak-kanak yang ada di kampung kami. Sepanjang jalanan terasa senyap, apalagi ketika bunga kuning yang tumbuh liar, telah meruak ke jalanan. Pertanda sudah perlu dilakukan goro warga. Saya juga tidak suka ketika setelah lebaran, kami lalu bertangis-tangisan dengan sanak saudara yang tinggal jauh di seberang laut. Apalagi saat itu masih jarang orang yang bepergian dengan pesawat. Kota Jakarta terasa sangat jauh, tidak terjangkau.  Namun demikian saya sendiri yang memutuskan merantau ketika berusia 24 tahun. Dan sejak itu saya merasa jarak memendek dengan drastis. Jika di masa kecil, saya mengeluhkan betapa luasnya dunia, dan betapa jauhnya sanak saudara. Begitu saya bisa bepergian dengan kereta api dan pesawat, jarak jadi punya defenisi tersendiri.  Jarak

Membina Diri

 Belakangan ini saya lagi suka nonton film "Guruku Sayang" yang ditayangkan DAAI Drama di youtube channel. Diceritakan seorang anak yang bernama Mei Jin, ingin menjadi guru, berusaha keras belajar agar bisa mencapai cita-citanya tersebut. Tidak cukup hanya belajar saja, karena ia perlu meyakinkan orang tuanya agar ia bisa melanjutkan sekolah.  Singkat cerita Mei Jin berhasil menjadi guru di sebuah sekolah dasar. Impiannya tercapai sudah. Ia menyambut tantangannya dengan penuh semangat. Berbagai kondisi anak didik pun dialaminya. Peran guru tidak hanya sebagai pendidik di sekolah, namun seorang yang mengayomi dan membesarkan hati anak. Tak jarang guru Mei Jin menghabiskan waktu di luar jam mengajar untuk mengurus anak- anak didiknya. Sebagai anak guru di sebuah desa, kisah guru Mei Jin di drama tersebut terasa related sekali. Karena mama saya juga memiliki banyak pengalaman serupa itu.  Selain ceritanya yang menarik dan mengingatkan saya pada masa kanak-kanak. Hati saya terpau

Rumah nan Rapi

 Setiap keluarga memiliki value yang berbeda dengan keluarga lain. Tatanan nilai dan prioritas tiap keluarga lalu menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga tersebut. Ini bukanlah tentang value keluarga kami, namun tentang bagaimana kami memandang kebutuhan harian di keluarga. Jika kelangsungan keluarga dalam sehari dibagi menjadi beberapa kategori, maka akan ada kategori anak, rumah bersih dan rapi, makanan sehat dan pakaian yang rapi. Dari kategori-kategori itu muncullah prioritas tertentu. Yang tentu saja akan berbeda di tiap keluarga. Saya dan suami klop dalam hal ini. Kita akan mengutamakan urusan anak terlebih dahulu. Apabila saya hanya memiliki sedikit waktu, maka berbagai urusan anak-anak yang lebih dahulu diselesaikan. Ketika pandemi terjadi, dan anak-anak belajar secara.online di rumah. Prioritas terhadao anak jadi makin menguat.  Di pagi hari, saya akan memasak dua atau tiga masakan secara cepat. Karena anak- anak perlu makanan yang padat gizi sebelum memulai belajar. Kemudian s

Semoga Panjang Usia

Saya menemani uda di dapur. Saya telah selesai mengiris seledri, daun bawang, tomat, bawang merah dan bawang putih, juga telah menyiapkan ayam suwir, kecap, garam. Karena nasi goreng hendaknya menggunakan nasi yang dingin, saya juga telah menuang beberapa sendok nasi di atas tampah. Kini saatnya saya menyingkir dan membiarkan uda menguasai area di depan kompor. Uda memulainya dengan membuat tiga buah telur ceplok setengah matang. Atya tidak menyukai kuning telur, sehingga tidak perlu membuatkan telur ceplok untuknya.  Setelah ketiga telur sukses ditata di piring kecil,uda akan langsung menuangkan bawang merah iris ke wajan. Kemudian mengaduknya dengan semangat hingga berwarna keemasan. Saatnya uda menyingkirkan bawang ke pinggir wajan. Saya mengawasi uda tanpa niat ingin mempelajari perkara membuat nasi goreng. Biarlah uda saja yang menguasai resep yang satu ini.  Saat itulah uda menyebut tentang ulang tahun saya. "Oh, ini tanggal 8 ya?" Tanya saya memastikan. Sejurus kemudia

Nasi Panas dan Lemak Sapi

Hanya tinggal sedikit lagi, kita akan sampai di atas puncak gunung. Tinggal beberapa belokan saja, maka akan sampailah di puncak Gunung Sago yang merupakan salah satu dari Tri Arga. Tri Arga mengacu pada tiga gunung di Sumatera Barat, yaitu gunung Merapo, gunung Singggalang dan Gunung Sago. Di sanalah Apa menanam tembakau untuk pertama kalinya. Ketika tembakau berada di puncak pertumbuhannya, daun tembakau yang lebar terhampar hijau di lereng gunung yang dinginnya sungguh menusuk tulang. Saya hanya kesini setiap akhir pekan, mengingat butuh tiga jam pendakian untuk sampai ke ladang. Begitu sampai, saya sudah biasanya membeku terlebih dahulu. Bahkan sebelum mengerjakan apa-apa. Saking dinginnya udara di perkebunan itu. Tak jarang kabut membungkus segenap dedaunan sehingga saya kesulitan mencari sosok Apa.  Saya masih sangat belia ketika Apa berladang di gunung. Satu-satunya pekerjaan yang bisa saya lakukan di sana adalah memetik cabe rawit. Apa telah menanam puluhan cabe rawit di sela t