Ibu Rumah Tangga Bahagia

Saya sering melihanya dengan topi biru di atas jilbabnya. Bisa jadi terpal yang terbentang sehasta di atas kepalanya, tidak cukup untuk menahan panas kala siang tiba. Antara saya dengannya, sudah terbentuk semacam kesepahaman yang unik. 

Ia paham sekali dengan bacaan yang saya perlukan setiap kali saya mampir di lapaknya. Ketika saya masih tinggal sendirian ngekost di bilangan Benhil, saya memerlukan 3 jenis majalah. Dan ia tahu persis jenis majalah saya sukai. Begitu saya menikah dan kemudian bersiap menyambut momongan, ia memberikan beberapa alternatif bacaan baru. Kiranya ia mengerti bahwa saya tengah butuh bacaan baru. Lantas rentang waktu sekali lagi berganti, anak-anak saya mulai belajar membaca. Ia pun menyodorkan bahan bacaan baru, yaitu majalah anak-anak. Ia, ibu penjual majalah di belokan kota BNI, telah menjadi teman baik dalam beberapa periode hidup saya. 

Lapak majalah itu adalah kepingan puzzle terakhir yang melengkapi lembaran kehilangan yang saya genggam saat pulang dengan kereta terakhir hari itu. 

Saya kehilangan karir, mentor, sahabat dan masa-masa seru di sepanjang kisah bekerja di salah satu perusahaan BUMN itu. Tak ayal, saya akan merindukan semuanya. Bahkan termasuk ibu penjual jajanan pasar di dekat gerbang masuk, bubur ayam bang Toro, Toko Roti Delicious, rekan OB dan segala hal yang berputar di kantor. Saya akan kehilangan pertemanan khas para perempuan pekerja dengan blazer rapi.


Perasaan setengah hampa itu yang terus mewarnai hari-hari setelah saya berpindah ranah kerja. Saya kini telah berada di rumah, namun kenangan saya belum jua beralih.


Namun, di lain pihak saya tidak sedetikpun lupa betapa saya amat menginginkan situasi sekarang ini. 


Perahu berlayar di bawah awan

Camar bernyanyi sahut menyahut

Ditetapkan sudah satu tujuan

Pantang perahu berbalik surut


Camar melayang tiada menjejak

Suasana indah tiada terkira

Jika ingin menjadi ibu yang bijak

Diri sendiri haruslah bahagia


Apabila dalam tiap aksi perlu sebuah pemicu, untunglah saya memiliki motor pemicu yang luar biasa. Ketika saya resign dari pekerjaan yang saya tekuni 11 tahun itu, ada dua hal utama yang ingin saya raih. Ini yang membuat saya tidak berlama-lama menggenggam lembaran kehilangan. Melainkan segera saya taruh sebagai sebuah kenangan berharga dan kemudian siap memulai catatan baru.


Tujuan pertama dari perpindahan ranah kerja ini, adalah untuk menemani anak-anak.   Serius, itu saja alasannya. 

Karena ada sekeping kenangan yang tidak kunjung hilang dari ingatan. Kenangan saat saya menginap di rumah seorang teman, dan menghabiskan malam senyap itu dengan perasaan sedih. Rumah teman yang saya maksud itu berada di tengah areal persawahan nan luas. Tidak ada listrik yang melintasi sawah-sawah itu, pun tidak banyak orang yang lalu lalang. Sempurna sudah untuk suasana belajar tanpa distraksi. Ketika setengah jam berlalu, dengan kami yang serius menekuni buku pelajaran, ibunda teman saya datang menghampiri. Beliau duduk menemani. 

Hanya menemani begitu saja.

Tidak ada instruksi apa-apa, tidak pula bertanya tentang apapun.

Beliau hanya tersenyum dan duduk bersama kami.

Bahkan ketika malam makin larut, bahu lelahnya pun melorot karena lelah mencangkul di sawah. Tapi beliau tidak ingin beranjak tidur.

Dengan setia menemani hingga semua peer selesai dan buku pelajaran telah dirapikan.


Kenangan didampingi saat belajar itu yang membuat tekad saya bulat. Bahwa kelak saya akan duduk menemani anak-anak saya.


Perjalanan belajar menemani anak membawa saya pada suatu hal yang istimewa. Bahwa mendidik anak memiliki ruang lingkup yang luas dan butuh ilmu yang dalam. Benar bahwa mendampingi secara harfiah adalah hadir secara fisik di dekat anak. Akan tetapi banyak proses yang menyertainya. Saya lalu belajar bagaimana anak perlu digugah cara berpikir kritis. Anak perlu dibimbing mencari sumber informasi yang relevan, berpikir logis, bertahan untuk terus objektif dan bersikap skeptis. Belum lagi jika menghadapi tantangan komunikasi. Adalah sebuah kerja panjang untuk melatihkan anak cara menjadi pendengar yang baik, dan lebih susah lagi mengajar cara mengajukan pertanyaan yang tepat. Tak kurang dari belasan poin struktur berpikir yang perlu dilatihkan semenjak dini.

Saya berpotensi untuk limbung.

Sebagai ibu yang terkaget-kaget dengan banyaknya bekal yang perlu disiapkan. Ada badai tsunami informasi dan ada kegelisahan yang butuh disalurkan dalam berbagai diskusi intens.


Tapi ternyata tidak.


Perjalanan belajar malah membuat saya jadi bahagia. 

Karena saya berjumpa komunitas Ibu Profesional yang didirikan dan dikembangkan oleh Bunda Septi Peni Wulandani. Struktur pembelajaran saya yang dibangun sejak kecil, dibongkar habis untuk kemudian direkonstruksi. Saya belajar dengan cara paling nyaman dan paling tepat dengan diri sendiri. Ini yang lalu membuat ilmu terasa seru. 

Don't teach me, I love to learn. 

Saya lalu menjelajahi setiap pelosok ilmu dengan mata berbinar.

Kemudian setiap ilmu yang didapat juga akan segera beralih bentuk. Karena ilmu mestilah diamalkan agar ia benar-benar bermanfaat.

Kelak ketika tuntas dipraktekkan, ilmu lalu beralih bentuk menjadi pengalaman. Tibalah saatnya ia dibagikan, agar orang lain pun beroleh manfaat.

Insya Allah.


Bukan saja ilmu yang saya peroleh, namun juga sebuah keluarga.

Ekosistem belajar yang asyik, tidak hanya memerlukan guru yang tepat. Tapi juga rekan belajar yang supportif dan menyenangkan. Ini yang saya temukan di dalam komunitas. Saya belajar ilmu yang saya perlukan dalam mengasuh anak, namun secara tidak langsung belajar bermasyarakat dalam lingkup kecil. Saya pun belajar bagaimana menjadi bagian berguna dari sebuah komunitas. Sungguh sebuah perjalanan yang menarik.


Ini baru bagian pertama, segalanya sudah jadi seasyik ini. Belum lagi bagian kedua, dimana saya beralih ranah dengan alasan mengejar passion. 

Adalah suami yang mengingatkan bahwa saya sesungguhnya memiliki sebuah passion yang terlupakan. Tenggelam di dalam rutinitas pekerja kantoran di ibukota. Saya bahkan tidak menyadari bahwa itu adalah passion saya. 

Sungguh malang. 

Bahwa saya melewatkan sekian tahun lamanya tanpa tahu apa yang saya suka. Passion menulis bagi saya adalah kenangan lama, ketika saya senang menulis puisi di dahan pohon kersen, atau mereka-reka sebuah cerpen seraya menunggu datangnya angkutan pedesaan. 

Menulis adalah kebiasaan masa lalu yang saya abaikan. Hiks..


Bekerja dari rumah lalu memungkinkan saya untuk mengejar lagi passion yang tertinggal jauh di belakang. 

Saya jemput dengan hangat layaknya kawan lama yang terpisah jauh. 

Di komunitas Ibu Profesional pula saya bertemu tempat mengembangkan passion dengan nyaman. Karena adanya Rumah Belajar (Rumbel) Menulis dan Kelas Literasi Ibu Profesional (KLIP). Saya terpana dengan luasnya khasanah ilmu yang diperlukan dalam pengembangan passion menulis. Saya tercengang atas banyaknya aspek ilmu yang belum saya tahu. Dan saya berkesempatan mengasah diri dengan seru bersama teman-teman. 


Dengan adanya dua faktor itu, saya sebenarnya tidak sempat menghitung perkara bahagia atau tidak bahagia. 

Karena sepanjang hari, mata selalu berbinar.

Karena sepanjang pekan, ada tantangan baru yang memanti untuk ditaklukkan.

Saya, Ibu Rumah Tangga yang bahagia dengan keseharian, dan bangga karena memilih rumah sebagai ranah bekerja yang menyenangkan.


#darirumahuntukdunia

#sayembaracatatanperempuanKIP2021

#konferensiibupembaharu2021

#ibuprofesional

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga