Belajar untuk Berjumpa

 


Anak-anak saya sudah begitu lama berada di rumah. Mereka bangun di pagi hari dengan perasaan yang biasa saja, tidak ada lonjakan semangat untuk bertemu teman. Juga tidak ada pembahasan riuh tentang ingin bawa bekal apa hari ini. Pun tidak pula kekhawatiran berjumpa dengan teman yang ngga asik. Mereka terlalu lama berada di bawah perlindungan atap rumah. 

Benar bahwa anak-anak mengalami masa sekolah yang nyaman. Mereka mengawali hari dengan melaksanakan agenda pagi seperti sholat subuh, mandi pagi dan sarapan. Kemudian mereka tadarus bersama guru dan teman-temannya via zoom meeting. Begitu selesai, biasanya mereka akan main sejenak, atau ngemil dulu. Sebelum nanti masuk ke e-learning dan mulai belajar. Ruang belajar mereka sebagian via zoom, atau kadang ada materi berupa video yang perlu di- download atau dilihat di youtube channel. Biasanya semua materi itu diikuti dengan tugas-tugas. Ada yang harus dikirimkan di hari yang sama, namun sebagian diberikan waktu yang lebih panjang. Terutama untuk tugas yang menantang kreativitas anak-anak.

Saya melihat anak-anak menemukan kenyamanan tersendiri. Mereka leluasa bisa ngemil kapan saja, atau menempeli bayi yang baru mandi. Yang terakhir ini yang paling mereka suka. Kedua kakak ini memiliki kesempatan yang penuh untuk selalu berdekatan dengan adik bayi yang menggemaskan. Jika menilik waktu yang habis selama pandemi, kami mendapati bahwa kami banyak kruntelan di kasur bersama bayi berpipi bulat.

Semuanya terasa nyaman dan menyenangkan.

Sampai ada rangkaian sosialisasi dari pihak sekolah tentang PTM terbatas bagi para siswa. Whoaaa.. guncangan baru menggoyang ketentraman ruangan yang beraroma bedak bayi. Bagi saya, ada beberapa peer penting. Yang terutama adalah menyiapkan anak-anak untuk beneran paham prosedur kesehatan yang ideal di sekolah. Lalu saya perlu menyiapkan seragam dan sepatu baru untuk mereka. Soalnya dua tahun di rumah membuat keduanya tumbuh tinggi dan membesar ☺ dan sejalan dengan itu, ukuran kaki pun bertambah dua nomor. Tentu saja mereka perlu sepatu sekolah yang baru. 

Persoalan saya selesai dengan sekejap. Tinggal pergi ke pasar dan membeli segala printilan kebutuhan sekolah. 

Tapi anak-anak memiliki persoalan sendiri. Mereka ternyata memiliki kekhawatiran yang tidak saya duga. Yaitu khawatir tidak punya teman. 
Olala.. 
Tentu saja demikian. 
Mereka selama ini mendasarkan persahabatan dengan main bareng, tertawa dan berbagi keseruan sepanjang waktu bersekolah. Berbeda dengan saya yang tetap bisa menjalin relasi via online. Anak-anak ternyata membutuhkan interaksi langsung. Atau malah jangan-jangan hubungan saya dan teman-teman yang begitu dangkal. Sehingga jadi tidak begitu berasa meski lama tidak tatap muka.
Hiks.. 
Yang jelas, kedua putri saya merasa gamang ketika hendak kembali memasuki gerbang sekolah.

"Teman kakak udah ngga ada Nda," keluh putri pertama dengan hampa.
"Ada dong, teman-teman di kelas 3 dulu khan tetap teman juga." 
Saya mencoba menenangkan. 
"Tapi ia pasti sudah punya teman baru," jawabnya dengan nada penuh ragu. 
Saya menatapnya dengan sedih. 

Tidak banyak yang bisa saya sampaikan, selain janji bahwa saya akan menanti kepulangannya dari sekolah. Dan akan menyiapkan telinga dan hati untuk melerai laranya sepulang sekolah nanti.

Hanya dua jam saja sebenarnya masa sekolah di kala transisi ini. Tapi itu dua jam yang cukup lama, untuk saya memikirkan betapa anak-anak menanggung dampak yang besar. 

Benar bahwa pembelajaran yang dirangkum oleh sekolah, tetap bisa mereka dapatkan. Karena gurunya sangat interaktif, dan intens mendampingi. Akan tetapi mereka tidak hanya memerlukan materi akademik. Ada pembelajaran yang mereka temukan dari perjumpaan dengan sahabat di koridor. Bahkan ada pembelajaran yang diperoleh ketika seorang teman iseng mendorongmu di lapangan bola. Interaksi sosial membangun jiwa anak-anak, tidak hanya sekadar seseruan belaka. 

Saya teringat masa-masa saya di Sekolah Dasar. Saat saya bermain lari-larian hingga baju basah oleh keringat. Kadang bermain lompat tali, hingga saya kadang amazing sendiri akan kemampuan saya melompat di kala belia. Terus ada masa saya ikut 'diadili' di kantor Kepsek gegara saya membela anak yang dibully. Juga ada masa saya merasa sedih, karena ngga diajak ngobrol. Kesemuanya membentuk simpul-simpul kesadaran sosial. 

Ketika anak-anak saya pulang dari sekolah, saya melihat mata yang berbinar cerah. Bahkan sebelum mereka membuka kata, saya telah bahagia. Dan mengirimkan doa agar pandemi ini segera sirna. Agar anak-anak bisa kembali bergandengan tangan dan tertawa cekikikan di antrean kasir ibu kantin.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga