Kisah Ketiga Pandemi: Akal Sehat

Salah satu tantangan wabah Covid 19 adalah diujinya akal sehat. Saya tersentak ketika kakak ipar bilang kalau di tempatnya orang-orang tak percaya dengan corona. 

"Ah, itu hanya akal-akalan pemerintah saja itu."

Saya meringis. 

Dan lebih meringis lagi ketika segera saja bilik-bilik whatsapp dipenuhi dengan ramuan ampuh pembasmi wabah. Saya membatin bahwa tidak hanya virus yang melanda bumi, namun ujian akal sehat ikut menyertai. 


Apakah ada konspirasi di antara helai-helai informasi yang berterbangan di luar dinding rumah? 

Entah.

Toh saya adalah emak yang sibuk dengan tiga anak yang masih sangat tergantung dengn perhatian saya. 

Andaikata saya tertarik, saya juga tidak punya cukup waktu menguliknya. 

Namun setidaknya, dua hal tidak boleh diabaikan, yaitu skeptis dan kritis. 


Pelajaran pertama saya tentang dua perkara ini dimulai ketika saya berusia lima tahun. Waktu itu kami sekeluarga pindah ke desa di punggung gunung yang tidak punya penerangan listrik. Saya yang terbiasa dengan lampu yang terang, segera ketakutan di malam hari. Betapa tidak, gelap gulita sempurna menyelimuti segala bentuk benda dan ruang. Cahaya lampu minyak yang redup, hanya menerangi radius satu meter saja. Ketika malam makin dingin dan bulan enggan memunculkan diri. Saya makin mengkerut. Barang-barang bawaan kami yang belum dibereskan terlihat seperti gundukan menakutkan. Dalam situasi mencekam itu, terdengarlah suara mengerikan dari luar rumah. 


Saya menangis. 

Papa mengambil senter, menyerahkan ke saya dan menyuruh saya pergi keluar. Saya harus memeriksa sumber suara menakutkan itu. Meski papa ada 3 meter di belakang, tapi saya yang berjalan di depan. Memandu perjanan mencari makhluk hutan bersuara seram. 

Setelah beberapa menit yang berat, suara seram itu ternyata berasal dari pohon besar. 

Papa menunjuk ke atas dahan terendah dan mengarahkan senter kesana. 


Di sanalah dua mata besar bersinar, tepat menatap saya yang seketika gentar. 

Namun saat papa menyenteri badannya, saya langsung lega. Itu adalah burung hantu yang selama ini hanya muncul di balik lembaran buku cerita. 


Itu adalah pelajaran pertama saya tentang berpikir kritis. Bahkan pada suatu yang menakutkan pun, jangan tinggalkan akal sehat. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga