Selamat Tinggal Syam

Tulisan 9 dari 10. Belajar menulis fiksi.

Lima tahun yang lalu, aku sepenuhnya pensiun. Kegagalan operasi yang terakhir membuatku terpukul. Lalu kusadari aku telah kehilangan ketajaman analisis. Pengalaman berpuluh tahun di lapangan telah membuatku amat lelah. Entah bagaimana, aku melewatkan poin penting yang akhirnya membuat semua rencana berantakan. Kerugian materi tidak terhitung, karena ini melibatkan tiga negara sekaligus. Sebuah kegagalan yang membuat semua prestasi sebelumnya tidak berarti apa-apa. Tidak terhitung banyaknya operasi rahasia negara yang telah kulakukan. Untuk itu telah aku telah kehilangan nama asli dan juga kesempatan memiliki keluarga kecil. Namaku hanyalah sandi belaka, dan ketika kedua orangtuaku meninggal, hilang simpul terakhirku dengan yang namanya keluarga. Karena menikah terlihat mustahil dengan situasiku. Maka hanya Syam, satu-satunya perempuan yang ada di pikiranku ketika aku merindukan keluarga. Tapi Syam, sama sepertiku, kukira tidak lagi memiliki nama aslinya. Aku bahkan tidak bisa menebak status kewarganegaraannya saat ini. Aku sudah lama menebak bahwa ia telah sejak awal kuliah bergabung dengan salah satu badan spionase. Segala tindak tanduknya yang kuamati lekat, pas dengan dugaanku. Tentu saja tidak pernah kuungkapkan padanya, sudah banyak novel yang menceritakan orang yang menghilang akibat mengetahui hal yang tidak boleh diketahui. Meski demikian, aku memujanya setinggi langit. Di dalam hati tentunya. Di mata Syam, aku adalah seorang yang mengejar ilmu habis-habisan.

Syam juga alasanku belajar tentang Indonesia. Kupelajari negara dan budayanya yang kompleks ini. Semakin aku merindukan Syam, semakin kubenamkan kepalaku pada semua informasi tentang Indonesia. Syam sendiri menghilang di tanun kedua kuliah. Tidak ada jejak tersisa. Syam tidak punya teman akrab. Terhadap kami semua menyapa dengan ringan, tapi ia tidak pernah membagikan hal penting dalam hidupnya. Bahkan aku yang merasa paling dekat dengan Syam, mendadak merasa tidak tahu apa-apa. Selain bahwa impiannya yang sangat tinggi dan matanya yang selalu bersinar terang. 

Entah, bisa jadi bukan semua operasi rahasia ini yang membuatku tidak pernah menikah. Tapi mungkin Syam, yang tidak pernah hilang dari kepalaku. 

Maka ketika aku pensiun, sepotong peribahasa yang pernah disebut Syam di taman, membawaku ke kota ini. Dengan cepat kuatur hidupku sedemikian rupa agar Syam mudah menemukanku. 

Syam bercerita tentang terminal yang menjadi muara satu-satunya bagi semua orang. Sehingga kuputuskan menetap di tempat yang membuatku bisa menatap terminal sepanjang siang. Lima tahun ini, sebagian besar waktu kuhabiskan untuk menatap jendela kaca besar. Semua nomor angkutan dan rutenya telah kuhafalkan semua, juga semua wajah sopir dan keneknya. Aku juga akrab dengan semua penghuni kios di pasar ini. Bahkan aku hafal kebiasaan mereka. Uda Sutan dan istrinya memilih tabungan emas ketimbang menabung di bank. Uni Rania, penjual gado-gado di belakang sana hanya makan satu kali sehari, dan itu harus berbentuk nasi. Itu sebabnya pada pukul satu siang, warungnya akan ditutup sebentar. Ia akan pergi ke rumah makan Ajo Indra di pinggir terminal arah utara. Hidupku ternyata nyaman sekali semenjak mendarat di sini. Terlalu mudah bagiku mengambil simpati mereka. Seorang bule tua yang sendirian, jauh dari negara asal, selalu diterima dengan senyum ramah.

Syam tahu kalau aku suka buku klasik. Andai Syam merindukanku, seharusnya ia mengasosiasikan buku dan elemen tentang buku dengan kehadiranku. Kupikir seharusnya Syam tahu bahwa keberadaan kios buku klasik, tidaklah lazim di terminal kecil ini. Syam suka bunga. Jadi bunga di depan kios ini, harusnya menarik pandangan Syam apabila ia turun dari sebuah bis.

Terakhir, Syam tahu kepiawaianku dalam design grafis. Mata jeli Syam seharusnya mampu menebak gaya khas tulisanku. Ia terlalu banyak melihatku. Seharusnya Syam tahu. Setidaknya itu harapanku. Semoga Syam masih hidup. Itu harapan terbesarku. 

Surat beberapa hari yang lalu itu berasal dari apprentice-ku. Tentang masa lalu yang tidak tuntas. Dan aku harus kembali untuk menyelesaikannya. PERINTAH MUTLAK, tegas dituliskannya. Tidak perlu kutanyakan kenapa ia bisa menemukanku. Aku melatihnya dengan keras, ia bahkan  sanggup menemukanku di kota kecil ini. Kecuali mungkin Syam, karena ia lebih lihai bersembunyi.

Dua jam cukup untukku mengemasi barang yang kuperlukan, dan menghubungi pemilik kios. Terakhir aku menyerahkan kunci pada Pak Lami. Aku mengatur agar anak Pak Lami membeli kios ini dan mempertahankannya. Karena belakangan kusadari kalau kios ini adalah satu-satunya toko buku di kabupaten ini. Pak Lami dan istrinya sedih menatap kedalaman mataku. Tapi sebagai orang tua yang anaknya berada jauh di luar negeri, keduanya telah terbiasa. Batas benua tidak lagi menjadi sumber kegalauan bagi mereka. 

"Pulang kesini jika perlu pulang." kata Pak Lami mengiringi langkahku. 

Aku, pak tua berusia 71 tahun, kini memasuki belantara baru. Tidak bisa kupastikan apa yang akan terjadi kali ini. Seperti layaknya mengharungi rimba raya, hanya yang waspada yang akan berhasil melewati rintangannya. 

Selamat tinggal Syam, telah kutunggu dirimu lima tahun. Mungkin engkau memang hanya ada di kenanganku saja. 


#Jenggala

#WRITOBER2021

#RBMIPJAKARTA

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga