Tumbuh Terbang Hingga Jauh

Tulisan 5 dari 10. Belajar menulis fiksi.


Dua blok di sebelah kiri adalah lapak penjual rakik kacang. Makanan bernama rakik ini semacam rempeyek dengan taburan kacang tanah di atasnya. Kutebak, juga diberikan irisan daun jeruk di adonannya, menilik rasa citrus yang kadang hadir dalam bungkus rakik itu.

Pak Limi namanya, ia yang membuat sendiri rakik kacang itu di kios kecilnya yang beraroma minyak goreng. Ia tidak pernah sendirian, selalu ada bantuan dari istri, tiga anak, dan dua keponakannya. Etek Maya, isttinya selalu membuatkan teh dengan irisan jeruk nipis untuk semua anggota keluarganya. Satu teko besar teh jeruk, tidak pernah absen dari meja kopi di depan kiosnya. Teh itu tidak hanya untuk suami dan anak-anaknya, tapi juga diperuntukkan bagi pembeli yang mencicipi rakik di sana. Rakik itu memang tidak dikemas sejak awal. Melainkan ditempatkan di plastik amat besar dan ditaruh berjejer di depan. Kelak ketika ada pembeli dan jumlah satuan beratnya disebutkan. Barulah Pak Limi atau Etek Maya membungkus rakik yang rentan pecah itu. 

Aku sering menghabiskan lima menit di sana. Kubeli sekilo rakik seraya menyesap teh sembari menunggu Pak Lami selesai menimbang. Aku telah lama menyadari bahwa siapapun yang menimbang rakik pesananku, ia selalu melebihkan barang dua atau tiga raup. 

"Mana Ibrahim?" tanyaku sambil melongok ke arah dalam kios. Sebab biasanya hanya Ibrahim, putra kedua mereka yang mengerti bahasaku. Dari sebanyak ini orang di terminal ini, hanya ia seorang kawanku untuk mengenang bahasa moyangku.

"Ia menyusul kakaknya, sudah selesai pula kuliahnya di sini." Ujar Pak Lami. 

Hatiku mencelos.

Sebelum akrab dengan Ibrahim, kakaknya si Rahmah yang sering datang ke toko bukuku. Rahmah tidak cakap berbahasa asing, tapi kemampuan dialektikanya mencengangkan. Aku dengan senang hati menghabiskan waktu untuk berdiskusi dengannya. Pemikirannya lari kesana kemari, jauh melampaui usianya. Ia yang mengingatkanku pada rekan-rekan profesorku. Dengan secangkir teh earl grey di tangan, kami dulu berdiskusi hingga larut. Rahmah yang membawa nuansa kenangan itu ke tanah ini. Ia bagai mutiara mustika bagi jiwaku yang makin menua. Ketika Pak Lami di suatu pagi bilang bahwa Rahmah mendapatkan beasiswa master degree di Princeton, aku menutup kios. Kukunci pintu. Aku bahkan tidak menggubris meski kudengar suara Rahmah memanggil entah berapa kali. Aku memang seorang tua yang egois. Tidak sanggup aku melepasnya menggapai impian, tapi dengan setia kubalas setiap suratnya. 

Dan kini Ibrahim, kawanku bercakap-cakap pun telah pergi.

"Ini surat Ibrahim, katanya ia tidak sanggup berpamitan denganmu," kata Etek Maya.

Kusimpan surat itu didalam kantong baju. Ujung mataku melihat ada anak-anak yang tidak kukenal di sudut dapur sana.

Pak Lami mengerti keherananku. "Itu si Melan dan adiknya Raga, anak adikku yang tinggal di Suliki. Sekarang mereka sekolaj Tsnawiyah di sini. Tapi pagi-pagi mereka bantu menggoreng rakik dulu." 

Kusesap teh yang tersisa di gelas. Kios rakik ini telah menumbuhkan banyak sarjana yang luar biasa. Entah berapa sebenarnya anak Pak Lami yang bertumbuh di antara wajan-wajan hitam penuh jelaga itu.  Kutinggalkan kiosnya yang riuh, kembali ke tokoku yang senyap. Aroma chrysanthemum menyapa begitu aku membuka daun pintu.

#Tumbuh

#Writober2021

#RBMENULISIPJAKARTA

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga