Posts

Showing posts from October, 2021

Kisah Tebing yang Membungkam Cita-Cita

Image
Raut wajah sekelompok remaja itu kini amat serius, sebab nyawa salah seorang teman mereka diujung tali. Kali ini dalam artian harfiah, karena ini bukanlah pengandaian belaka. Para remaja itu adalah penakluk level kecuraman tebing di pegunungan. Mereka meninggalkan rasa jeri pada ketinggian di sudut rumah. Dan hanya membawa segenap cinta pada alam. Mereka menikmati saat-saat menaklukan tebing licin dan curam, dan juga bergembira saat berhasil mencapai puncak.  Tapi kini mereka berada di posisi yang sulit. Tebing itu terlalu berbahaya. Bahkan dengan segenap tim bekerjasama saling mengulurkan tangan. Tebing itu mustahil bisa mereka daki.  Tegang,.sungguh gawat situasi mereka. Di tengah perjuangan itulah, salah satu pendaki kehilangan pegangan. Seperti kapas, ia melayang di ketinggian. Terus melayang hingga terhempas di jurang yang dalam. 

1 Bulan Saja Waktu Tersisa

Image
  Saya tidak bisa mencegah datangnya para tamu. Pertama kami merupakan sebuah keluarga besar, yang memiliki pendapat yang sama. Bahwa berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Entah apa yang terjadi, susah atau bahagia, namun yang namanya keluarga tetap kudu kumpul. Apalagi dalam momen kelahiran yang membawa nuansa gembira tiada tara. Sudah tentu dua keluarga besar akan bertemu di rumah sakit, dan nanti bakala berlanjut di rumah.  Selain keluarga, saya dan suami memiliki banyak teman dan relasi. Sebagian ya karena hubungan pekerjaan atau kesamaan aktivitas, tapi lainnya merupakan sahabat kami bercerita ngalor ngidur dan tertawa riang bersama. Sudah tentu pula mereka tidak akan tinggal diam, ketika bayi perempuan berpipi bulat lahir ke dunia.  Maka tak ayal lagi, ruang kamar Aisyah, segera dipenuhi pengunjung. Saya baik-baik saja dengan jumlah tamu yang banyak. Karena saya berpendapat, kesembuhan datang dari mata berbinar dan senyum yang mengembang. Akan tetapi, saya memerlukan waktu s

Belajar untuk Berjumpa

Image
  Anak-anak saya sudah begitu lama berada di rumah. Mereka bangun di pagi hari dengan perasaan yang biasa saja, tidak ada lonjakan semangat untuk bertemu teman. Juga tidak ada pembahasan riuh tentang ingin bawa bekal apa hari ini. Pun tidak pula kekhawatiran berjumpa dengan teman yang ngga asik. Mereka terlalu lama berada di bawah perlindungan atap rumah.  Benar bahwa anak-anak mengalami masa sekolah yang nyaman. Mereka mengawali hari dengan melaksanakan agenda pagi seperti sholat subuh, mandi pagi dan sarapan. Kemudian mereka tadarus bersama guru dan teman-temannya via zoom meeting. Begitu selesai, biasanya mereka akan main sejenak, atau ngemil dulu. Sebelum nanti masuk ke e-learning dan mulai belajar. Ruang belajar mereka sebagian via zoom, atau kadang ada materi berupa video yang perlu di- download atau dilihat di youtube channel . Biasanya semua materi itu diikuti dengan tugas-tugas. Ada yang harus dikirimkan di hari yang sama, namun sebagian diberikan waktu yang lebih panjang. Te

Karena Namaku Adalah Syam

 *BAGIAN TERAKHIR DARI 10 TULISAN WRITOBER2021 Namaku Syam. Anak tunggal yang mewarisi tiga lereng bukit dan tiga hamparan lembah. Konon di masa lampau, nenek moyang kami turun dari Gunung Sago dan beranak pinak. Lalu mereka membagi kepemilikan tanah dengan meniup segenggam kapas. Kelak sejauh mana biji kapas terbang dan kemudian tumbuh, itulah batas tanah mereka. Karena kapas itu melambung tinggi dibuaikan angin yang lena, maka akan jauh kapas terbang. Jauh pula rentang tanah warisanku. Selain itu, dikarenakan sejak dahulu kala, anak perempuan di keluarga ini hanya seorang saja di tiap generasinya, tanah ulayat kami utuh. Tidak pernah dibagi-bagi. Beban berat itu yang aku tanggungkan. Mengurusi tiga bukit yang penuh dengan pohon cassiavera dan kopi robusta. Ketika sudah saatnya menebang kayu manis, aku akan sibuk sekali mengatur para pekerja. Memastikan mereka benar-benar menebang pohon yang berdiameter dewasa. Juga memastikan mereka mengambil setiap rantingnya, karena setiap inci dar

Selamat Tinggal Syam

Tulisan 9 dari 10. Belajar menulis fiksi. Lima tahun yang lalu, aku sepenuhnya pensiun. Kegagalan operasi yang terakhir membuatku terpukul. Lalu kusadari aku telah kehilangan ketajaman analisis. Pengalaman berpuluh tahun di lapangan telah membuatku amat lelah. Entah bagaimana, aku melewatkan poin penting yang akhirnya membuat semua rencana berantakan. Kerugian materi tidak terhitung, karena ini melibatkan tiga negara sekaligus. Sebuah kegagalan yang membuat semua prestasi sebelumnya tidak berarti apa-apa. Tidak terhitung banyaknya operasi rahasia negara yang telah kulakukan. Untuk itu telah aku telah kehilangan nama asli dan juga kesempatan memiliki keluarga kecil. Namaku hanyalah sandi belaka, dan ketika kedua orangtuaku meninggal, hilang simpul terakhirku dengan yang namanya keluarga. Karena menikah terlihat mustahil dengan situasiku. Maka hanya Syam, satu-satunya perempuan yang ada di pikiranku ketika aku merindukan keluarga. Tapi Syam, sama sepertiku, kukira tidak lagi memiliki nam

Air

Tulisan 8 dari 10. Belajar menulis fiksi. Sebuah surat datang ke hadapanku. Tanganku bergetar melihat asal surat itu, sebab selain anaknya Lami, tidak ada lagi yang mengirimiku surat.  Sudah kukatakan sejak semula, aku adalah orang yang tidak terpakai lagi. Dan tidak ada yang membutuhkan namaku. Ketika pada sebuah surat, tertera nama lengkapku yang lain, tanganku kehilangan kontrolnya. Itu adalah identitas yang semestinya tidak boleh terkuak. Terlebih lagi, semestinya yang mengenali nama lengkapku yang itu, tidak akan tahu tentang Syam dan negeri asalnya ini. Bahkan Syam sendiri belum pernah kembali ke sini sejak usianya 3 tahun.  Bagaimana bisa ada orang yang tahu nama dan alamatku di sini. Di negara yang bahkan tak pernah terbayang akan kukunjungi. Hanya kekonyolanku sesaat yang membuatku memilih kampung kecil ini sebagai tempat menghabiskan sisa waktu. Aku, seorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Tidak banyak lagi yang kuinginkan. Malah sedapatnya aku perlu menghindar. Ke

Bak Minum Air Laut

Tulisan 7 dari 10. Belajar menulis fiksi. Hujan turun terlalu deras semalam. Para pemilik toko di sepanjang terminal telah bersiaga sedari hujan pertama turun. Mengingat tempo hari, hujan telah memasuki toko lebih dari mata kaki. Padahal jejeran ruko ini telah lebih tinggi satu meter dari terminal. Kali ini, hujan turun lebih deras dari sebelumnya.  Aku cemas akan barang-barang di dalam toko. Cemas akan air yang akan menyerbu masuk dari arah depan, dan juga kemungkinan atap yang bocor. Buku-buku yang ada di sini tidak akan bertahan pada hamburan air coklat sarat tanah dari pegunungan itu. Ataupun tampias hujan dari sana sini. Mereka rentan sekali.  Di tengah badai itu kuputuskan untuk menyeduh kopi yang kental. Betapapun kantuk datang, aku harus bertahan. Terlalu mahal harga yang harus kutanggung jika sampai ketiduran saat banjir menerjang. Kunikmati kopi pahit ini dengan rakik kacang, yang diantarkan Pak Lami sore ini. Bungkusan terakhir di pekan ini, katanya, karena semua rakik buata

Bak Pauh Dilayang

Tulisan 6 dari 10. Belajar menulis fiksi. Kutemukan ia duduk di taman seraya memegang surat. Aku terlalu sering mengamatinya hingga langsung tahu kalau surat itu dikirim dari Indonesia. Kepalaku berantakan saat melihat senyum yang terus melekat di wajahnya. Surat itu, mestilah berasal dari seorang yang disukainya. Aku memberanikan diri duduk di sampingnya, meski kutahu ini melanggar privacy -nya. Betapapun kami telah akrab, tapi melongok surat seseorang bukanlah hal yang baik. Untung bagiku, Syamsinar, perempuan dengan senyuman indah itu, juga adalah perempuan yang sangat baik hati. Ia melepas pandangannya dari kertas biru muda itu, dan menatapku. Hatiku terbang seketika. "Duduklah di dekatku," ucapnya dengan senyum yang masih terkembang. Aku menurut. Bahkan andai ia sedang ngomel-ngomel pun, aku tetap setia menemaninya. Apalagi ketika ia sedang bahagia. Meski sebenarnya aku telah lama penasaran, siapa pengirim semua surat yang datang sekali sebulan itu. "Dengarkanlah Ol

Tumbuh Terbang Hingga Jauh

Tulisan 5 dari 10. Belajar menulis fiksi. Dua blok di sebelah kiri adalah lapak penjual rakik kacang. Makanan bernama rakik ini semacam rempeyek dengan taburan kacang tanah di atasnya. Kutebak, juga diberikan irisan daun jeruk di adonannya, menilik rasa citrus yang kadang hadir dalam bungkus rakik itu. Pak Limi namanya, ia yang membuat sendiri rakik kacang itu di kios kecilnya yang beraroma minyak goreng. Ia tidak pernah sendirian, selalu ada bantuan dari istri, tiga anak, dan dua keponakannya. Etek Maya, isttinya selalu membuatkan teh dengan irisan jeruk nipis untuk semua anggota keluarganya. Satu teko besar teh jeruk, tidak pernah absen dari meja kopi di depan kiosnya. Teh itu tidak hanya untuk suami dan anak-anaknya, tapi juga diperuntukkan bagi pembeli yang mencicipi rakik di sana. Rakik itu memang tidak dikemas sejak awal. Melainkan ditempatkan di plastik amat besar dan ditaruh berjejer di depan. Kelak ketika ada pembeli dan jumlah satuan beratnya disebutkan. Barulah Pak Limi atau

Akar yang Menghunjam ke Tanah

Tulisan 4 dari 10. Belajar menulis fiksi. Kukira anak penjual sandal di sebelah adalah anak yang menjadi favoritku di sepenjuru terminal ini. Awalnya ia kerap main ke tokoku untuk mengisi TTS bersama. Ia kubiarkan duduk di meja kopiku. Kubiarkan juga ia mengambil cemilan yang kubeli tiap pagi. Tapi ia juga mengambil jajanan pasar yang paling aku sukai. Yaitu roti dengan selai berwarna kuning tua. Meski demikian, kubiarkan saja. Sama seperti halnya kubiarkan ia mengambil permen mint yang kumaksudkan untuk para pembeli. Lama-lama bahkan aku yang mengajaknya unuk tiduran di karpet sambil membaca buku. Terutama pada hari Senin. Ketika terminal dan pasar lengang sejadinya. Aku yang membiarkan hatiku menerimanya. Lama-lama kubiarkan ia mengambil seluruh hidupku. Ia yang menentukan kami akan main catur ataukah main congklak. Kadang ia mengatur kami akan makan siang di warung siapa. Ia juga yang membuat jam tidur siangku.  Namanya Andrea. Ia kini memiliki pengaruh atas situasi keuanganku. Beta

Terlalu Jauh Untuk Kembali

Tulisan 3 dari 10. Belajar menulis fiksi. Dua meter di depan sana, ada payung besar yang kuduga dulu berwarna oranye cerah. Tapi kini warnanya coklat, hanya sekilas saja warna aslinya muncul.  Tentu saja demikian.  Payung besar itu telah bertahun ditimpa derai hujan dan menahankan panas. Ia hanya dilipat rapi jika magrib akan menjalang. Dan keesokan pagi, jauh sebelum keriuhan terminal dimulai, ia juga sudah terkembang.  Di bawah payung itu, seorang ibu seukuran kakak perempuanku, duduk di tempat yang sempit. Ada semacam kotak besar di bawah payung itu. Di tengahnya ada lobang yang hanya pas untuk tiang payung dan ibu itu duduk berjualan. Di sekelilingnya, ditata berbagai kue dan roti, juga makanan tradisional masyarakat di sini.  Berbekal rasa penasaran, aku membeli beberapa makanan. Random , karena aku tidak mengerti apapun soal makanan tradisional. Satu-satunya yang kumakan sebelumnya adalah masakan istriku saja.  Di luar dugaan, rasanya ternyata enak.  Sehingga lapak kue itu lalu m

Bak Pimpiang di Lereng

Image
 Tulisan 2 dari 10. Belajar menulis fiksi. Toko buku ini, kuberi nama Kenang-kenangan. Berada di sebuah pasar kecil dekat depan terminal antar kota. Keberadaannya merupakan sebuah kontras. Bahwa ada toko kecil berlapis kayu coklat dengan banyak bunga kering menghiasi bagian depan. Di antara bunga itu kuletakkan dua buah kotak majalah bekas. Pintu toko merupakan kaca lebar yang licin tanpa debu sedikitpun. Pada pintu itu kugantungkan tulisan 'BUKA' yang kubuat sendiri. Toko  cozy  ini sangat janggal jika disandingkan dengan toko pakaian, warung soto, dan deretan toko lain yang riweuh dengan barang berserakan. Terminal dan pasar adalah dua muara kesibukan umat manusia. Sementara toko buku sejatinya adalah tempat waktu berhenti sejenak. Bahkan aroma bunga yang mengalun di dalamnya, hanya tercium samar saja.  Tentram. Tenang apa adanya. Entah kegilaan apa yang kulakukan saat menyewa toko kecil ini. Dan entah darimana datangnya ide dekorasi begini. Di kampung yang senantiasa disapa

Gema

Image
 Tulisan 1 dari 10. Belajar menulis fiksi. Perlahan kurapikan majalah bekas di kotak kayu yang ada di depan toko. Dua buah kotak yang penuh berisikan majalah remaja bekas. Majalah-majalah itu diantarkan kemari oleh anak yang telah bosan dengan bacaannya. Kemudian dibeli oleh anak yang uang jajannya tidak cukup untuk membeli majalah baru. Atau kadang, memang sengaja menunggu beli majalah bekas saja. Kuperhatikan, setidaknya ada 5 anak yang berpakaian bagus, tapi malah memilih beli majalah bekas.  Yah, setelah sekian lama banyak melamun di balik kaca toko, aku jadi paham setiap raut anak yang berhenti sejenak di depan tumpukan majalah. Bahkan aku telah membuat sebuah data statistik. Mari kusampaikan sekelumit pengamatanku. Bahwa dari 10 orang yang lewat di hari Senin, tidak seorangpun yang mampir. Sekadar melirikpun tidak. Sebab angkutan pedesaan di terminal ini tidak beroperasi pada hari Senin. Jangan tanyakan padaku sebabnya. Itu mestilah peraturan yang sudah ada dari sejak lama. Jika