Orang Tua yang Seru


Siang hari pukul 12 siang, semua teman-teman sekelas berhamburan pulang ke rumah masing-masing. Sementara saya melangkah pelan menuju ruang guru. Sebab di salah satu pojokan ruang guru, ada meja kerja mama. Namun saya tertegun di balik pintu. Karena mama dan ibu guru lainnya ngobrolin tentang saya. 
Hmm.. menarik ini, pikir saya. 
Karena selama ini para guru telah menjadi orang tua yang saya cintai dan hormati, saya tidak keberatan diobrolin.
"Tadi di bawah jendela ada B ngobrol sama A, katanya B, dia ngga akan pacaran seumur hidup kalau bukan sama anak kita." 
Apaaah... 
'Anak kita' yang perempuan bagi para ibunda guru di dalam sana tak ayak mengacu ke saya belaka. Karena putri-putri guru lainnya masih kecil-kecil.
Waduh.. 
Ini juga, anak-anak laki kok beraninya ngomongin saya di belakang, kedengeran bu guru pula. Kalau berani sini ngomong langsung. 
Tapi ya mereka ini tidak akan ada yang berani ngomong langsung sih. Telanjur keder karena saya sering galak. Dan juga karena saya berpotensi besar mengadukan segalanya ke ruangan guru.

Saya melangkah ringan ke ruangan. Mama dan ibu guru lainnya tersenyum lebar melihat saya. 
Saya juga. 
Urusan saya menjadi bahan obrolan di bawah jendela bagi teman laki-laki sekelas pun berlanjut.
Sejauh ini saya oke.
Tapi tidak lama.
Saat salah satu ibu guru meledek saya, dan guru lainnya ikut tertawa.
Saya kesel, di dalam hati saja tentunya.
Wajah saya memerah, dan saya kabur pulang, batal pulang bersama mama.
Keesokan harinya, dan esoknya lagi, saya menjauhi ruangan guru.
Karena saya merasa dikhianati.
Pikiran kanak-kanak saya memutuskan bahwa tidak apa jika saya dibahas segimana gimananya, asal kita berada di satu bidang yang sama. Namun ketika saya ditaruh di bidang lain dan dilihat sebagai bahan ledekan, rasanya kok ya ngga asik.
Saya pun ngambek.

Itu adalah sepenggal kisah di masa SD. 

Kisah yang kalau saya ingat-ingat sekarang, rasanya kok receh banget. 
Dalam pikiran saya yang udah dewasa ini, kok ya cemen banget sih waktu itu. Apaan sih kok ya dimasukan hati banget. Kok ya bisa lari pulang sambil menahan air mata. Apa ngga bisa waktu itu diobrolin baik-baik.

Etapi jika dikenang lagi perasaan lama itu, rasanya sungguh tidak tertanggungkan. Saya sebagai anak kelas 5 SD, sungguh tidak rela diledek pacaran sama B. 
Hati rasanya berat.
Saya jadi makin ketus pada B dan siapapun teman laki-laki lainnya. Agar tidak terbentuk celah yang mengindikasikan bahwa saya menyukai sesiapa. Resiko ditertawakan ternyata sulit bagi saya. Dan digosipin pacaran adalah hal yang tidak tertanggungkan bagi diri saya yang 11 tahun.

Kenangan lama ini yang saya panggil ketika putri saya menginjak usia 11 tahun. Ia kini menjalani beberapa hal yang senada dengan saya. Maka saya berusaha meraih lagi perasaan lama saya, agar saya yang dewasa ini tidak melukai jiwa kristal miliknya.

Anak dan orang dewasa punya versi masing-masing dalam melihat sebuah kejadian. Jangan sampai terjemahan versi saya, membuat saya gagal mendengarkan terjemahan versi putri jelang remaja saya. Jangan sampai sesuatu yang menurut saya sebuah kebaikan malah tampil di mata anak sebagai sebuah pengkhianatan. Seharusnya tidak demikian. Menjadi orang tua yang seru sekaligus on track ternyata sesulit itu.
Bismillah.
Semoga Allah memudahkan langkah saya menjadi ortu seru nan bijaksana.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga