Posts

Showing posts from November, 2022

Ketahanan Pangan Dari Sebatang Kacang Panjang

Image
Ketika masih tinggal di Baliak Parik, nyaris semua tanaman yang ada di sekitar rumah, ada di kategori edible. Tanaman yang tumbuh liar saja, merupakan tanaman yang bisa jadi bahan masakan. Bahkan jika berjalan di pematang sawah, ada semak tertentu yang bisa jadi partner sempurna bagi gulai ikan mas. Apabila jika terus berjalan arah ke hulu, kita akan berjumpa dengan keluarga pakis. Ia akan cocok sekali digulai dengan cabe rawit hijau. Lalu ada pucuk belukar tertentu yang bisa dikumpulkan dan jadi bahan rendang dedaunan. Ini masih di pinggiran hutan. Jika terus berjalan, akan banyak lagi vegetasi yang bisa masuk dalam wajan 😁 Ini baru yang tumbuh liar, belum sampai kita bahas ke yang sengaja ditanam. Di pinggiran kolam, Apa biasa menancapkan bambu panjang, yang jadi tempat merambat bagi keluarga kacang-kacangan. Akar kacang akan menjulur ke segenap penjuru pematang. Bagi kolam ikan, akar+akar akan memperkuat konstruksi pematang. Sehingga lebih kuat. Kelak jika hujan deras tiba, pemata

Ketika Bunga Tidak Lagi Seindah Dulu

Kala itu televisi di rumah kami masih hitam putih. Siarannya juga baru satu TVRI aja. Belum ada channel tv lain. Itupun aktifnya ngga sepanjang hari juga. Mungkin karena itu, setiap acara lalu menjadi berkesan. Terasa baru dan menarik. Yha, mungkin karena ngga ada pilihan. Terus juga terlalu banyak hal yang kami belum mengerti. Berhubung kami tinggal di desa nun jauh di punggung gunung, tentunya akses informasi tidak semudah yang tinggal di kota. Jadilah segala tayangan di tv terasa menakjubkan. Apalagi bagi kanak-kanak macam saya.  Sore itu, tv menayangkan agenda festival bunga di Pasadena. Entah dimana kota Pasadena, saya tidak tahu saat itu. Layar tv menunjukkan orang-orang sedang parade. Dengan cara yang sangat luar biasa. Itu adalah parade bunga. Semua kendaraan dilapisi bunga aneka ragam. Demikian juga orang yang terlibat dalam parade itu. Semuanya mengenakan kostum bertema bunga. Saat itu, hanya hitam putih belaka di layar kaca, namun saya sanggup menambahkan warna di benak, dan

Tentang Keinginan vs Kebutuhan

Saya kira, udah cukup mengajarkan anak-anak tentang wisdom perbelanjaan rumah tangga. Sebab sejak mereka kecil sudah ada aturan-aturan keluarga tentang masalah belanja. Pergi ke mall dalam konsep keluarga kami, bukanlah kategori rekreasi. Kalau jalan-jalan mah keluar kota, terus shopping di Malioboro. Eh itu mah sama aja jadinya yah  Hahaha...  Gini, gini.. jika ada niatan mau keluar buat belanja, segalanya mesti well planned. Pertama-tama perlu tahu dulu nih mau beli apa, terus ditimbang-timbang perlu beli atau engga. Apakah beneran butuh atau hanya kepengen saja. Ini beneran kami praktekkan sejak anak-anak masih balita. Ketika mereka minta beli majalah, saya beneran hanya menuju satu tempat selama di mall.  Terus pulang.  Apabila ada sesuatu yang menarik, saya akan ikutan mengapresiasi. Tapi tidak lantas dibeli, melainkan masuk ke agenda belanja berikutnya. Dengan catatan, kalau emang butuh. Anak-anak lalu tumbuh dengan style belanja seperti ini. Jarang sekali yang impulsif tetiba be

Saat Tekad Diuji

Tanggal 7 November, saya menuliskan  kisah tentang melupakan sesuatu yang penting Bahwa memang ada kalanya, kita lupa. Ya engga ada alasan sih sebenarnya. Di tengah banyaknya aplikasi yang membuat kita ngga lupa. Ada berbagai bentuk reminder yang bisa mengingatkan kita sesering mungkin. Bahkan kadang begitu annoying sampai kita ngga akan bisa lari dari itu. Tapi ya gitu.  Lupa itu manusiawi.  Bahkan Allah memberikan keringanan, puasa tidaklah batal jika kita lupa. Andai di tengah siang terik, kita berjumpa sebotol air dingin di kulkas. Niat hati mau mengambil sayuran yang sudah dipotong, eh malah jadi ambil air. Lalu saking hausnya, dalam hitungan detik, air itu sudah mengalir di tenggorokan yang kering. Baru kemudian kita tersadar.  "Ohiya, lagi puasa."  Meski dahaga telah sirna, namun pahala puasa tetap bilangannya. Karena Allah bermurah hati pada sisi kita yang pelupa. Maka kemaren itu, di tanggal 7, saya memancang tekad. Bahwa saya akan memaafkan sesiapa yang lupa. Simply

Lupa yang Sebenarnya Lupa

Tiga minggu yang lalu, saya menemani mama ke suatu arisan. Sebenarnya mama berangkat duluan, karena saya perlu ikut rapat wali murid di sekolahnya anak-anak. Saya baru bisa menyusul tiga jam setelah mama berangkat. Jadinya saya ketinggalan banyak cerita. Tapi ya tidak apa, karena ada mama yang ntar bisa bantu update kabar.  Salah satu kabar yang diobrolin mama pas kami pulang, adalah tentang undangan pernikahan. Undangan itu dari salah satu anggota arisan. Dan mama ingin sekali datang. Masalahnya, kami jarang bisa hadir di acara pernikahan. Resepsi biasanya digelar di hari Sabtu atau Minggu, hari dimana pak suami sibuk bekerja hingga malam. Sulit meminta waktu senggangnya untuk pergi kondangan.  Tapi kali ini beda. Menilik berbagai jadwal antara suami dan anak-anak, tanggal diadakannya resepsi itu pas banget lagi senggang. Udah gitu, gedung pernikahannya tidak jauh-jauh amat dari rumah.  Saya menandai tanggal, tanda bersiap untuk hadir. Namun malangnya, undangan itu menghilang entah di

Nyambung Kemana

 Saya memasuki periode dimana bahan obrolan nyaris selalu tentang anak mau lanjut sekolah kemana. Kalau saya ke sekolah anak-anak, entah karena rapat atau ada kegiatan siswa. Obrolan para ortu akan bermuara ke sekolah lanjutan untuk anak-anak.  Putri sulung saya berekolah di sekolah swasta tidak.jauh dari rumah. Saking deketnya, ngga nyampe sekilo jaraknya. Bahkan saya dan anak usia tiga tahun, biasa jalan kaki ke sekolah. Kini sudah memasuki tahun keenam di sekolah itu.  Meskipun yayasan ini punya sekolah lanjutan bahkan hingga tingkat akademi, namun engga berarti lulusannya akan terus di sana. Mayoritas malah keluar dari yayasan tersebut. Pada suatu rapat wali murid, kepala sekolahnya cerita kalau sebagian besar lulusan melanjutkan ke sekolah negeri.  Ooww... Ya ngga papa, tiap orang tua punya pertimbangan sendiri tentang sekolah anaknya.  Bagi saya, ada beberapa poin pemikiran tentang sekolahnya Atya.  1. Selaras dengan value keluarga. Saya memikirkan bahwa sekolah yang tepat untuk

Kisah Skincare di Rumah Kami

Di samping sumur, tempat warga desa mandi, tumbuh sebatang pohon nangka. Pohonnya lumayan tinggi, hingga bisa menaungi area sumur. Daunnya benar-benar rindang sampai memblokir cahaya matahari sepenuhnya. Selaras dengan banyaknya daun yang tumbuh, maka banyak jua yang menguning dan gugur. Daun yang berguguran itulah yang sering berserakan di area sumur.  Daun nangka yang baru rontok itu sering dipungut kaum ibu. Setelah tulang daun dibuang, daun itu akan diremas di telapak tangan hingga agak hancur. Lalu terus digosok-gosok sampai beneran halus. Ketika sudah halus, daun tadi digosokkan ke wajah.  Entah siapa yang memulai, namun kebanyakan perempuan di desa kami melakukan hal itu. Agaknya ini adalah proses eksfoliasi khas pedesaan. Karena daun nangka bersifat kesat. Itu saja alasannya. Tidak ada unsur pertimbangan kandungan zat segala macam. Namun tak urung saya yang masih remaja kala itu, ikut pula mencobanya. Selain aksi mengikis kulit mati dengan daun yang menguning. Memakai bedak ber

Cerita tentang Diri Sendiri

Kiranya saya tumbuh dalam suasana engga boleh pamer. Tidak elok, gitu katanya. Kalaupun kita punya kemampuan sesuatu, tapi ya dilihat-lihat dulu kalau mau diumumkan. Terlebih di tempatku besar, biasanya yang maju di depan adalah para orang tua yang mumpuni dalam ilmu maupun praktek hidup. Sehingga kemampuannya sudah melampaui siapapun. Remaja auto jiper pokoknya. Dan kalaupun punya skill yang menyamai, akan kena dalam pasal pengalaman. Intinya, saya biasa mendengar dan mengamati belaka. Demikian juga tentang berpendapat. Hanya orang dewasalah yang pendapatnya di dengarkan.  Seingat saya dalam keluarga besar, ya begini ini. Jika keluarga besar berkumpul, kami anak-anak dan remaja akan tersingkir dari ruang tengah. Ketika para orang dewasa berembuk tentang suatu hal pelik. Kami akan ngeriung di teras samping, kami ngobrol dan ngemil sampai rapat penting di dalam rumah telah selesai. Sedikitpun kami tidak tahu pembahasan di dalam sana. Sudah barang tentu tidak ada yang menanyakan pendapat

Alpukat dan Segala Perbedaan

Tidak banyak jenis buah yang saya nikmati di masa kecil.  Pisang adalah jenis buah yang paling sering ada di rumah. Soalnya desa kami adalah desa penghasil pisang. Jika kita berada di daerah ketinggian, lalu memandang jauh ke bawah, maka hamparan daun pisang terlihat sejauh mata memandang. Engga usah jauh-jauh deh. Apabila kita membuka pintu depan, segera saja mata menangkap pohon pisang dengan buahnya. Jadinya pisang nyaris selalu ada di rumah. Untungnya pisang yang tumbuh di desa, punya citarasa yang legit. Daging buahnya pulen dan enak sekali. Menyenangkan sekali memakan pisang, yang tidak kenal waktu santap ini.  Selain pisang, buah desa lainnya semacam jambu, kuweni, atau kedondong, tidak pas di perut saya yang pengidap gerd sejak belia. Ya biasanya tetap dimakan sedikit, karena penasaran. Tapi udahannya meraung-raung kesakitan. Jadi buah-buahan dengan rasa asam yang tinggi, biasanya saya skip.  Terus karena di desa yang akses transportasinya tidak lancar, tidak banyak pula jenis