Posts

Showing posts from 2022

Ketahanan Pangan Dari Sebatang Kacang Panjang

Image
Ketika masih tinggal di Baliak Parik, nyaris semua tanaman yang ada di sekitar rumah, ada di kategori edible. Tanaman yang tumbuh liar saja, merupakan tanaman yang bisa jadi bahan masakan. Bahkan jika berjalan di pematang sawah, ada semak tertentu yang bisa jadi partner sempurna bagi gulai ikan mas. Apabila jika terus berjalan arah ke hulu, kita akan berjumpa dengan keluarga pakis. Ia akan cocok sekali digulai dengan cabe rawit hijau. Lalu ada pucuk belukar tertentu yang bisa dikumpulkan dan jadi bahan rendang dedaunan. Ini masih di pinggiran hutan. Jika terus berjalan, akan banyak lagi vegetasi yang bisa masuk dalam wajan 😁 Ini baru yang tumbuh liar, belum sampai kita bahas ke yang sengaja ditanam. Di pinggiran kolam, Apa biasa menancapkan bambu panjang, yang jadi tempat merambat bagi keluarga kacang-kacangan. Akar kacang akan menjulur ke segenap penjuru pematang. Bagi kolam ikan, akar+akar akan memperkuat konstruksi pematang. Sehingga lebih kuat. Kelak jika hujan deras tiba, pemata

Ketika Bunga Tidak Lagi Seindah Dulu

Kala itu televisi di rumah kami masih hitam putih. Siarannya juga baru satu TVRI aja. Belum ada channel tv lain. Itupun aktifnya ngga sepanjang hari juga. Mungkin karena itu, setiap acara lalu menjadi berkesan. Terasa baru dan menarik. Yha, mungkin karena ngga ada pilihan. Terus juga terlalu banyak hal yang kami belum mengerti. Berhubung kami tinggal di desa nun jauh di punggung gunung, tentunya akses informasi tidak semudah yang tinggal di kota. Jadilah segala tayangan di tv terasa menakjubkan. Apalagi bagi kanak-kanak macam saya.  Sore itu, tv menayangkan agenda festival bunga di Pasadena. Entah dimana kota Pasadena, saya tidak tahu saat itu. Layar tv menunjukkan orang-orang sedang parade. Dengan cara yang sangat luar biasa. Itu adalah parade bunga. Semua kendaraan dilapisi bunga aneka ragam. Demikian juga orang yang terlibat dalam parade itu. Semuanya mengenakan kostum bertema bunga. Saat itu, hanya hitam putih belaka di layar kaca, namun saya sanggup menambahkan warna di benak, dan

Tentang Keinginan vs Kebutuhan

Saya kira, udah cukup mengajarkan anak-anak tentang wisdom perbelanjaan rumah tangga. Sebab sejak mereka kecil sudah ada aturan-aturan keluarga tentang masalah belanja. Pergi ke mall dalam konsep keluarga kami, bukanlah kategori rekreasi. Kalau jalan-jalan mah keluar kota, terus shopping di Malioboro. Eh itu mah sama aja jadinya yah  Hahaha...  Gini, gini.. jika ada niatan mau keluar buat belanja, segalanya mesti well planned. Pertama-tama perlu tahu dulu nih mau beli apa, terus ditimbang-timbang perlu beli atau engga. Apakah beneran butuh atau hanya kepengen saja. Ini beneran kami praktekkan sejak anak-anak masih balita. Ketika mereka minta beli majalah, saya beneran hanya menuju satu tempat selama di mall.  Terus pulang.  Apabila ada sesuatu yang menarik, saya akan ikutan mengapresiasi. Tapi tidak lantas dibeli, melainkan masuk ke agenda belanja berikutnya. Dengan catatan, kalau emang butuh. Anak-anak lalu tumbuh dengan style belanja seperti ini. Jarang sekali yang impulsif tetiba be

Saat Tekad Diuji

Tanggal 7 November, saya menuliskan  kisah tentang melupakan sesuatu yang penting Bahwa memang ada kalanya, kita lupa. Ya engga ada alasan sih sebenarnya. Di tengah banyaknya aplikasi yang membuat kita ngga lupa. Ada berbagai bentuk reminder yang bisa mengingatkan kita sesering mungkin. Bahkan kadang begitu annoying sampai kita ngga akan bisa lari dari itu. Tapi ya gitu.  Lupa itu manusiawi.  Bahkan Allah memberikan keringanan, puasa tidaklah batal jika kita lupa. Andai di tengah siang terik, kita berjumpa sebotol air dingin di kulkas. Niat hati mau mengambil sayuran yang sudah dipotong, eh malah jadi ambil air. Lalu saking hausnya, dalam hitungan detik, air itu sudah mengalir di tenggorokan yang kering. Baru kemudian kita tersadar.  "Ohiya, lagi puasa."  Meski dahaga telah sirna, namun pahala puasa tetap bilangannya. Karena Allah bermurah hati pada sisi kita yang pelupa. Maka kemaren itu, di tanggal 7, saya memancang tekad. Bahwa saya akan memaafkan sesiapa yang lupa. Simply

Lupa yang Sebenarnya Lupa

Tiga minggu yang lalu, saya menemani mama ke suatu arisan. Sebenarnya mama berangkat duluan, karena saya perlu ikut rapat wali murid di sekolahnya anak-anak. Saya baru bisa menyusul tiga jam setelah mama berangkat. Jadinya saya ketinggalan banyak cerita. Tapi ya tidak apa, karena ada mama yang ntar bisa bantu update kabar.  Salah satu kabar yang diobrolin mama pas kami pulang, adalah tentang undangan pernikahan. Undangan itu dari salah satu anggota arisan. Dan mama ingin sekali datang. Masalahnya, kami jarang bisa hadir di acara pernikahan. Resepsi biasanya digelar di hari Sabtu atau Minggu, hari dimana pak suami sibuk bekerja hingga malam. Sulit meminta waktu senggangnya untuk pergi kondangan.  Tapi kali ini beda. Menilik berbagai jadwal antara suami dan anak-anak, tanggal diadakannya resepsi itu pas banget lagi senggang. Udah gitu, gedung pernikahannya tidak jauh-jauh amat dari rumah.  Saya menandai tanggal, tanda bersiap untuk hadir. Namun malangnya, undangan itu menghilang entah di

Nyambung Kemana

 Saya memasuki periode dimana bahan obrolan nyaris selalu tentang anak mau lanjut sekolah kemana. Kalau saya ke sekolah anak-anak, entah karena rapat atau ada kegiatan siswa. Obrolan para ortu akan bermuara ke sekolah lanjutan untuk anak-anak.  Putri sulung saya berekolah di sekolah swasta tidak.jauh dari rumah. Saking deketnya, ngga nyampe sekilo jaraknya. Bahkan saya dan anak usia tiga tahun, biasa jalan kaki ke sekolah. Kini sudah memasuki tahun keenam di sekolah itu.  Meskipun yayasan ini punya sekolah lanjutan bahkan hingga tingkat akademi, namun engga berarti lulusannya akan terus di sana. Mayoritas malah keluar dari yayasan tersebut. Pada suatu rapat wali murid, kepala sekolahnya cerita kalau sebagian besar lulusan melanjutkan ke sekolah negeri.  Ooww... Ya ngga papa, tiap orang tua punya pertimbangan sendiri tentang sekolah anaknya.  Bagi saya, ada beberapa poin pemikiran tentang sekolahnya Atya.  1. Selaras dengan value keluarga. Saya memikirkan bahwa sekolah yang tepat untuk

Kisah Skincare di Rumah Kami

Di samping sumur, tempat warga desa mandi, tumbuh sebatang pohon nangka. Pohonnya lumayan tinggi, hingga bisa menaungi area sumur. Daunnya benar-benar rindang sampai memblokir cahaya matahari sepenuhnya. Selaras dengan banyaknya daun yang tumbuh, maka banyak jua yang menguning dan gugur. Daun yang berguguran itulah yang sering berserakan di area sumur.  Daun nangka yang baru rontok itu sering dipungut kaum ibu. Setelah tulang daun dibuang, daun itu akan diremas di telapak tangan hingga agak hancur. Lalu terus digosok-gosok sampai beneran halus. Ketika sudah halus, daun tadi digosokkan ke wajah.  Entah siapa yang memulai, namun kebanyakan perempuan di desa kami melakukan hal itu. Agaknya ini adalah proses eksfoliasi khas pedesaan. Karena daun nangka bersifat kesat. Itu saja alasannya. Tidak ada unsur pertimbangan kandungan zat segala macam. Namun tak urung saya yang masih remaja kala itu, ikut pula mencobanya. Selain aksi mengikis kulit mati dengan daun yang menguning. Memakai bedak ber

Cerita tentang Diri Sendiri

Kiranya saya tumbuh dalam suasana engga boleh pamer. Tidak elok, gitu katanya. Kalaupun kita punya kemampuan sesuatu, tapi ya dilihat-lihat dulu kalau mau diumumkan. Terlebih di tempatku besar, biasanya yang maju di depan adalah para orang tua yang mumpuni dalam ilmu maupun praktek hidup. Sehingga kemampuannya sudah melampaui siapapun. Remaja auto jiper pokoknya. Dan kalaupun punya skill yang menyamai, akan kena dalam pasal pengalaman. Intinya, saya biasa mendengar dan mengamati belaka. Demikian juga tentang berpendapat. Hanya orang dewasalah yang pendapatnya di dengarkan.  Seingat saya dalam keluarga besar, ya begini ini. Jika keluarga besar berkumpul, kami anak-anak dan remaja akan tersingkir dari ruang tengah. Ketika para orang dewasa berembuk tentang suatu hal pelik. Kami akan ngeriung di teras samping, kami ngobrol dan ngemil sampai rapat penting di dalam rumah telah selesai. Sedikitpun kami tidak tahu pembahasan di dalam sana. Sudah barang tentu tidak ada yang menanyakan pendapat

Alpukat dan Segala Perbedaan

Tidak banyak jenis buah yang saya nikmati di masa kecil.  Pisang adalah jenis buah yang paling sering ada di rumah. Soalnya desa kami adalah desa penghasil pisang. Jika kita berada di daerah ketinggian, lalu memandang jauh ke bawah, maka hamparan daun pisang terlihat sejauh mata memandang. Engga usah jauh-jauh deh. Apabila kita membuka pintu depan, segera saja mata menangkap pohon pisang dengan buahnya. Jadinya pisang nyaris selalu ada di rumah. Untungnya pisang yang tumbuh di desa, punya citarasa yang legit. Daging buahnya pulen dan enak sekali. Menyenangkan sekali memakan pisang, yang tidak kenal waktu santap ini.  Selain pisang, buah desa lainnya semacam jambu, kuweni, atau kedondong, tidak pas di perut saya yang pengidap gerd sejak belia. Ya biasanya tetap dimakan sedikit, karena penasaran. Tapi udahannya meraung-raung kesakitan. Jadi buah-buahan dengan rasa asam yang tinggi, biasanya saya skip.  Terus karena di desa yang akses transportasinya tidak lancar, tidak banyak pula jenis

Bagai Air Terjun yang Menghamburi Kepala Begitu Saja (Part 2)

Kelanjutan catatan belajar tentang  arus listrik kemaren, saya mendadak jadi perlu berpikir keras.  Saya adalah anak lama. Produk dari sebuah pembelajaran sistem hafalan. Terlebih saya adalah anak kampung yang jauh di pelosok negeri. Selain buku paket standar dari dinas pendidikan, tidak ada lagi sumber ilmu lainnya. Maka saya menghafal karena dua alasan. Pertama karena memang suka menghafal akibat kurang kerjaan, dan karena itu satu-satunya cara selamat dari ujian. Saya tentu saja bisa menghafal segala teori tentang listrik. Termasuk urusan seri dan paralel. Tapi ketika putri sulung bertanya, apakah rangkaian seri lebih baik daripada paralel?  Saya tercenung.  Lalu menyadari bahwa saya sama sekali tidak paham konsepnya.  Betapa yang saya punya hanyalah hafalan semata, sampai saya tidak bisa paraphrasing dengan kalimat sendiri. Hiks.. bahkan setelah saya menjadi lebih besar, lebih paham dan mengerti cara belajar yang lebih baik. Saya tidak juga mencari tahu perkara kelistrikan ini. Li

Bagai Air Terjun yang Menghamburi Kepala Begitu Saja

Di awal tahun ajaran ini, saya menyepakati satu metode belajar dengan anak-anak. Karena anak-anak sudah di penghujung sekolah dasar, terus saya merasa belajar sebelumnya kurang efektif.  1. Malam hari, anak-anak belajar materi yang akan dipelajari esok hari. Take note tentang apa yang perlu ditanyakan ke bu guru besok.  2. Keesokan harinya, anak-anak belajar di sekolah. Mereka bisa berdiskusi dengan teman, memecahkan soalan dan, tanya ke bu guru tentang materi yang belum dikuasai. Saya meminta mereka untuk mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh, terus pakai adab belajar dan bergembira selama di sekolah.  3. Sepulang sekolah, anak-anak bercerita ke bunda tentang pelajaran hari itu.  Sounds well prepared khan ya..  Saya kira ini metode belajar yang membuat ilmu tidak punya celah sedikitpun untuk kabur. Melainkan terserap sepenuhnya oleh anak.  Utuh. Idealnya begitu.  Bagaimana tidak, jika sudah dibaca tuntas, lalu coba dipahami sendiri, sembari take notes tentang pelajaran yang tidak d

Kisah Tukang Sayur

Kembali ke rumah lama kami, saat saya SD, saya menyadari kalau kami tidak pernah beli sayur.  Ini maksudnya sayur mentah yah.. kalau slrg ini khan saya sering beli dua ikat kangkung, atau satu labu siam, atau sekantong jamur tiram, dan sebagainya.  Waktu kecil dulu, saya dan seisi desa, ngga ada tuh yang beli sayur.  Ya gimana, namanya juga desa. Segala kebutuhan dapur nyaris semuanya dipenuhi sendiri dari kebun. Warung di desa kami,.kalaupun menjual bahan masakan, sebatas ikan kering saja. Mungkin karena kami jauh dari kota, atau ya memang warga desa butuhnya hanya itu-itu saja. Sebab inti dari perdagangan adalah supply demand khan ya.. jadi penjual yang paham selera pembeli, akan menyesuaikan. Ayam dan ikan segar biasanya milik sendiri. Bagi yang tidak leluasa memelihara ayam, akan beli pada tetangga. Atau menunggu saat ada hari pekan mingguan. Kalau membutuhkan daging sapi, mau tidak mau harus meluncur ke kota dulu.  Lalu saya meninggalkan desa, menuju perantauan dan lama tidak pern

Berangkat ke Sekolah

Mari kita sebut namanya Ibu L. Pada suatu, ia minta ijin pada mama yang saat itu menjadi kepala sekolah pada SD di kaki gunung. Ibu L.bilang gini, "Ibuk jangan marahin anak saya ya kalau pas nyampe di sekolah, bajunya kotor."  Mama tidak langsung mengerti. Sehingga ibu L menjelaskan lebih lanjut.  Ia mengisahkan tentang rumahnya yang berada di punggung gunung. Rumahnya yang menjadi pembatas antara lahan perkebunan penduduk desa dan hutan rimba raya. Artinya jika diukur dari sekolahan, anaknya adalah siswa terjauh. Perkara jauh aja sudah sedemikian valid. Apalagi jika membahas tentang faktor situasi di jalan. Jika di masa sekarang, orang berjibaku dengan kemacetan. Bayangkan anak-anak ibu L, keluar dari rumahnya sehabis subuh. Mereka melintasi jalanan yang ada di hutan. Kiranya kita semua mahfum tentang jalanan di dalam hutan. Bahkan jalan setapak pun bukan. Mereka semata bisa sampai sekolah, sudah merupakan prestasi yang luar biasa. Bayangkan banyaknya semak belukar yang dili

Karena Aurora Tidak Ada di Langit Jakarta

Suasana sepi dan dingin pada sebuah kampung di punggung gunung, pas sekali untuk membaca buku. Saya seringkali menghabiskan sesiangan bersama buku-buku perpustakaan SD. Untunglah, saat saya kecil, pemerintah mengirimkan banyak buku bacaan ke sekolah kami. Saya jadi bisa berkelana ke banyak negeri. Salah satunya, saya sempat main ke Batang. Gegara membaca kisah tentang anak yang menanam pepaya. Perjalanannya sangat panjang. Berulangkali jatuh bangun, gagal bercocok tanam dengan berbagai sebab. Tapi ia bertahan dengan gigih, hingga akhirnya berhasil. Ini tidak urung membuat saya bertanya-tanya apakah di Batang beneran banyak pohon pepaya. Karena waktu itu belum ada google, pertanyaan saya tadi hanya menggantung begitu saja.  Baru kemudian berpuluh tahun lamanya, ia berjumpa jawabannya. Saat itu saya di tengah perjalanan menuju kota Semarang. Kami melewati pantura, sebab tol cipali masih belum ada kala itu. Jadi setelah keluar di tol  Cikampek, kami menyusuri jalanan perlahan. Lalu setela

Timbangan

Sudah empat bulan ini, berat badan Ara tidak ada peningkatan. Arah jarum timbangan setia yerus pada angka yang sama. Barang sekilopun engga ada bergeser. Petugas posyandu memberikan saya peringatan. Bahwa semestinya berat Ara berada di titik yang sedikit di atas angka yang sekarang.  Saya mengerti. Saya paham membaca grafik pertumbuhan berat anak.  Masalahnya, saya penasaran banget nget... Entah kemana perginya nasi yang jumlahnya dua kali lipat porsi bunda itu. Bahkan kalau kita ke restoran, bayi hampir tiga tahun ini, telah dipesenin satu menu sendiri. Saking banyak yang bisa masuk perut kecilnya. Ia bisa dengan tenang, duduk menghabiskan hidangannya. Tentang menu makanan, Ara suka makan dengan apa saja, terutama ikan asin, dan sayuran. Juga suka meski ada rada pedas-pedasnya dikit. Termasuk rendang, yang saya kenalkan dengan sengaja sebagai anak rantau. Karena terbiasa dengan hidangan spicy, Ara jadi suka jenis nasi selain nasi putih, kayak nasi kebuli, nari mandi atau nasi kuning.

Nilai dalam Rumah

 "Kami ngga temenan ama dia."  Ucap sekelompok anak di lingkungan rumah, mengacu pada saya yang emang ngga main-main keluar rumah. Saya yang ngga sengaja mendengar omongan itu, berlalu begitu saja.  Pulang. Lalu kembali ke kegiatan sehari-hari. Saya masih SD saat itu, dan memang aslinya ngga banyak teman. Pertama karena Apa melarang saya main keluar rumah, atau main ke rumah tetangga, atau melakukan hal yang tidak bermanfaat. Terus yang kedua, ada banyak buku bacaan yang menarik dalam rumah. Dimana saya merasa bahwa berdiam dalam rumah adalah sebuah kesenangan tersendiri. Ketiga, mungkin saya nya yang memilih tetap di rumah saja. Bahkan ketika Apa tidak lagi membatasi saya. Ketika sekarang saya besar, seringkali saya menemukan bahwa saya tengah berada di luar sebuah circle.  Alias engga diajak.  Saya tahu ada banyak hal yang terjadi di sekeliling, hal seru, dan saya sengaja tidak diikutsertakan. Entah kenapa, setiap kali berada pada posisi tersebut, saya tidak merasa sedih se

Ijin

Balai Kesehatan Ibu dan Anak itu selalu ramai. Pasiennya tidak hanya kaum ibu dan kanak-kanak. Sebab itu satu-satunya tempat berobat di kampung kami. Apalagi puskesmas terletak agak jauh, dan hanya aktif di jam kerja. Kasus-kasus darurat yang terjadi di hari libur, akan ditangani oleh BKIA.  Halaman BKIA itu berbutir kerikil yang bersih. Luas dan menyenangkan sebagai tempat bermain. Halaman yang luas itu memang ada gunanya. Pada hari tertentu, parkiran itu akan penuh. Oh iya, BKIA ini hanya punya satu tenaga medis. Yaitu seorang bidang yang tinggal di bagian belakang bangunan BKIA.  BKIA ini adalah satu-satunya tetangga yang saya miliki. Kika saya keluar rumah, di depan rumah ada gundukan tanah berumput yang dikelilingi pagar putih. Itu adalah area main kelinci. Lalu di sebelah kiri, terletaklah BKIA yang saya sebut-sebut di awal. Bu bidan dan pasien-pasiennya adalah tetangga terdekat saya. Hiks Sebab di sebelah kanan, adalah gedung TK dengan seluncuran besar di halamannya yang luas. A

Beberes yang Engga Beres-beres

Kampus tempat saya kuliah, berjarak lumayan jauh dari rumah. Andai naik bus, dengan kecepatan normal, perlu tiga atau empat jam lamanya. Kemudian setelah sampai di perhentian bus, saya perlu nyambung naik ojek sebelum beneran sampai rumah. Saya biasanya pulang sekali sebulan. Kadang kalau saya pulang ke rumah sehabis kuliah siang, bisa-bisa sampai rumah udah malam. Kadang malah malam banget kalau lama menunggu bus sebelumnya.  Hanya saja betapapun larutnya saya nyampe rumah, tetap saja saya akan beberes rumah dulu. Setelah salam orang tua dan menaruh barang-barang di kamar, saya akan segera mulai bekerja. Dimulai dengan mengangkut peralatan makan yang kotor ke tempat cuci piring, lalu mengumpulkan semua sampah-sampah. Setelah berkeliling rumah mengumpulkan sampah, saya akan mengembalikan barang-barang ke tempatnya. Sering saya terlalu capek, sehingga segala pernak pernik kecil semacam paku, peniti dan printilan halus lainnya, saya masukan aja ke satu kotak, lalu kotaknya masuk laci. In

Kalimat Tanya yang Tidak Baik Ditanyakan

 Biasanya jam sembilan pagi adalah jam yang paling asik di rumah. Yang ke sekolah dan yang kerja di luar, sudah berangkat. Tanaman sudah selesai diurus, dalam artian disiram, dipupuk, trimming, atau sekedar diperiksa apakah bebas hama. Andai pagi itu sempat belanja keperluan dapur, bahan-bahannya juga selesai disiapkan. Tinggal menunggu dimasak saja jelang waktu makan siang nanti. Jam segini, segala cucian sudah menempati jemuran. Pun alat makan tadi pagi juga telah rapi bersih di rak cuci piring. Intinya, ini adalah jam bebas sesaat.  Saya biasanya mengaduk kopi di cangkir, pada jam segini. Lalu mengunyah sebungkus kecil biskuit, atau ngemil jagung rebus. Di saat inilah seringnya ketemu mama di meja makan. Karena mama akan istirahat usai jalan pagi, sebelum nanti lanjut sholat dhuha. Di sinilah berbagai topik random bermanfaat muncul dan dibahas dengan seru. Kadang engga jelas, kadang malah serius banget.  Nah hari ini kami membahas tentang arisan dan pertanyaan-pertanyaan yang sebaik

Kisah Bawang Merah

Ceritanya, bawang merah yang habis dibeli di pasar, dikupas dan disimpan di kulkas. Seharusnya itu stok buat seminggu. Etapi baru beberapa hari, kok akarnya banyak yang tumbuh. Udah gitu akarnya pamjang dan subur. Langsung saja saru kotak bawang yang numbuh tanpa sengaja itu ditransfer ke raised bed. Sebelahan sama pokcoy yang duluan tumbuh subur. Setiap hari,  bawang ini berkembang pesat. Segera setelah dipindah, sudah langsung mulai muncul tunasnya. Lalu kemudian makin besar, lalu tetiba saja sudah ada rumpun bawang merah yang besar di sana. Kliatannya semudah itu.  Tapi kenyataannya jauh lebih rumit dan melibatkan waktu yang panjang.  Kisaran dua puluh lima tahun sebelumnya saya telah menanam merah bersama orang tua. Proses tanam-rawat-panen adalah sebuah proses yang kompleks. Pertama-tama perlu paham dulu situasi yang dibutuhkan si bawang merah. Meliputi kondisi tanah, tekstur, kandungan hara, ketinggian, suhu, kadar paparan sinar matahari dan juga intensitas hujan. Andai hal-hal i

Kerjaan yang Membahagiakan

 Suatu ketika, pada suatu hari kerja yang terlalu menguras tenaga. Saya menempelkan wajah di kaca jendela bus. Well, memang tidak higienis sih in ya, tapi ya kalau lagi galau gitu, kan ngga kepikiran juga. Saya lalu sibuk memperhatikan aktivitas yang sangat beragam di luar sana. Sementara bus merangkak lambat di jalanan yang macet, saya menyaksikan berbagai parade kegiatan orang-orang.  Sebagian besar adalah pekerja semacam saya yang pulang dengan style masing-masing. Ada yang kabel headset melekat di telinga, lalu melangkah nyaman di pedestrian yang nyaman. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk ritmis. Tentunya ia tengah menikmati lagu yang hanya berkumandang di telinganya. Ia adalah jenis karyawan yang pulang berjalan kaki. Ini sama kayak saya dulu, saat masih ngekos di benhil. Lalu ada juga yang setengah berlari, dengan bawaan yang digenggam erat. saya bisa menebak dengan nyaris akurat bahwa ia pastilah tengah berlari menuju stasiun kereta Sudirman. Soalnya ada jadwal kereta yang per

Segala Sesuatu yang Berhenti di dalam Dinding Rumah

Keterbatasan waktu membuat saya jarang scrolling medsos. Biasanya kalau FB, saya menuliskan status yang panjang, lalu ditinggal. Paling keesokan harinya baru bisa lihat FB kembali. Kalau IG, biasanya saya buka kalau perlu like agenda-agenda komunitas, terus juga like postingan suami. Sementara twitter, adalah tempat saya lama menyepi. Hanya saja twitter ini saya hanya follow orang tertentu yang isi tulisannya engga ada yang julid hahaha.. juga orang yang saya follow tidak ada yang hobi ngegosip.  Makanya ketika suami tanya beneran ya trending di twitter itu tentang pasangan yang lagi KDRT.  Saya langsung bengong.  "Ah iya ya, ngga tau juga sih."  Padahal saya lagi buka twitter.  Facebook adalah ruang yang sulit saya kontrol. Soalnya fitur follow baru belakangan ini saya ketahui. Terus juga males memilah satu satu siapa yang mau difollow, dan siapa yang cukup friend tapi engga follow postingannya.  Jadinya timeline FB saya beragam.  Kalaupun saya punya banyak waktu di sosmed,

Memeluk Senja (final story)

Mama punya impian yang lalu menemukan titik ideal dalam mewujudkannya. Saya sempat memyinggung tentang tipping ppin. Yang tentunya engga sehebat kisah-kisah yang disebut di buku Tipping Point. Bahkan mungkin engga ada apa-apanya. Akan tetapi bagi saya tetap saja itu luar biasa.  Sampai sekarang saya masih sering merinding memikirkan betapa ada masa ajaib tersebut. Mama telah memikirkan bagaimana cara agar impiannya bisa terwujud. Mama bingung bagaimana cara memulainya. Lalu booom... tetiba ada aja momen keajaiban. Momen di mana semesta memberikan ruang agar kita mengambil kesempatan baik itu. Betapa menakjubkan momen itu.  Lalu kemudian setelah berjalan, Mama lalu dihinggapi kegelisahan baru. Mama memikirkan kurangnya dukungan pada pekerjaan mama. Untungnya saya udah duluan berkecimpung dengan orang-orang yang beragam cara pandang dan karakternya. Oh ya tentu saja mama telah lebih duluan akrab dalam masyarakat. Namun ada pola yang berbeda. Mama hadir di masyarakat selalu dalam posisi y

Hari Yang Selalu Terlupakan

Entahlah, saya merasa ada semacam paradoks dalam diri saya. Saya senang mengingat masa lampau. Bahkan teman-teman di komunitas udah tahu banget kalau saya suka mendongengkan kisah-kisah di masa silam. Saya merasa pengalaman di masa lampau bagus buat dijadikan refleksi diri. Lalu jadi panduan bersikap di masa mendatang. Setidaknya jadi cermin agar tidak mengulang kesalahan yang sama.  Bagi saya, kenangan masa lalu terlalu menarik buat diabaikan. Kadang jika saya di tengah perjalanan, lalu memandang ke luar jendela, benak saya telah melayang ke masa lampau. Fragmen demi fragmen lalu diputar ulang. Saya melihat lagi segala peristiwa masa lampau. Lalu hal-hal penting seakan bersinar agar saya lebih memperhatikan. Terbentuklah mutiara-mutiara hikmah, yang kemudian saya raup dan peluk dengan erat.  Segala kisah masa lampau itu sering saya tuangkan pada berbagai tulisan. Juga sering saya sebut-sebut di berbagai seminar atau zoom meeting. Ini yang bikin teman-teman saya hafal banget dengan sty

Memeluk Senja (13)

Sebuah perubahan bisa berlangsung perlahan. Andai ada seseorang berbuat kebaikan secara konsisten, dan ia menginspirasi banyak orang. Sehingga orang lain lantas mengikuti jejak langkahnya. Orang tersebut lalu menginspirasi pula, sehingga makin luas kaitan kebaikan tersebut. Dalam jangka waktu yang lama, perubahan akan terjadi. Ia biasanya sesuatu yang stabil karena telah teruji oleh waktu.  Akan tetapi perubahan bisa terjadi drastis dan sistematis jika berada di posisi yang tepat.  Itulah yang tepatnya dialami oleh mama. Persis di saat mama menunggu momentum perubahan, ia datang begitu saja. Ketika nagari kami yang akan mengikuti lomba tingkat provinsi, mama telah langsung terlibat. Terlebih mama telah punya pengalaman banyak dalam bidang ini. Bukankah dulu mama yang turun ke nagari-nagari di berbagai kecamatan, memandu mereka agar siap saat penilaian nanti. Maka ketika nagari kami ikut, mama langsung berkontribusi. Meski tidak lagi menjadi pengurus PKK akan tetapi mama telah kaya deng

Memeluk Senja (12)

Saya membeli buku yang berjudul Tipping Point di Gramedia. Sebuah buku putih dengan gambar satu buah korek api di depannya. Lalu ada tulisan: "Bagaimana Hal-hal Kecil Berhasil Membuat Perubahan Besar"  Saya segera tertarik.  Ketika baca bagian belakangnya, saya tidak punya pilihan lain selain membawanya ke kasir. Buku ini kemudian menyita perhatian saya, karena ia berkisah tentang kasus-kasus menarik dan apa pembelajaran yang diambil di dalamnya. Buku ini menceritakan bagaimana sebuah gagasan yang dimunculkan pada waktu dan strategi yang tepat, dan kemudian membuat perubahan besar. Menyikapi  keluhan mama saya berpikir jangan-jangan yang mama perlukan adalah sebuah tipping point. Mama memiliki unsur-unsur terhadap sebuah perubahan. Ada kegelisahan yang dibarengi tekad ingin memberikan solusi. Terus juga ada ilmu yang bisa diterapkan. Lebih keren lagi, ada waktu yang lapang dan dana yang cukup jika diperlukan. Mama siap mengawal perubahan.  Tapi terhadap pertanyaan sederhana m