Posts

Showing posts from February, 2022

Kabar Kematian

Sore ini kabar duka datang dari sahabat mama, teman SMP mama tepatnya. Teman mama berpulang siang ini. Saya sempat beberapa kali bertemu beliau. Tapi di sebanyak pertemuan itu, saya tidak banyak mengenal beliau. Hanya karena sahabat mama, tetap saja terasa ada rongga yang tercipta.  Mama bilang, sebelum berangkat ke Jakarta kemaren, mama sempat bertemu dengan temannya ini. Kemudian bermaafan dan saling merelakan. Mama mengenang dengan sedih.  Saya tercekat.  Hari-hari belakangan ini rasanya kita perlu sering bermaafan. Sebab tidak tahu apakah kita akan berjumpa lagi.  Saya teringat dulu di awal menikah, saat saya sering nge-gas ke suami. Apabila ada yang kurang berkenan, saya bakalan vokal sekali menentang. Biasa, dulu belum bisa berkomunikasi dengan luwes. Tapi meskipun sering berbeda pendapat, saya paling takut jika saya berpisah dari suami ketika kami masih marahan. Takut kalau-kalau meninggal sebelum mendapat ridho suami. Ini akhirnya terus kebawa sampai seterusnya. Bahkan sampai k

Kisah Tangan yang Tak Sampai

 Idealnya, ketika ada tetangga atau kerabat yang memerlukan bantuan, kita berada dalam kondisi siap membantu. Pengennya begitu. Seharusnya mah begitu adanya. Pas orang butuh bantuan kita masak-masak untuk acara yang agak besar, kita punya kelapangan waktu untuk membantu. Saat ada tetangga yang butuh ke dokter segera, kita bisa gercep mengantarkan. Apabila ada yang berkaitan dengan uang, pas ada yang butuh untuk bayar sekolahan, kita bisa aja bantuin. Langsung transfer ke sekolahnya.. aamiin.. semoga kelak bisa sampai ke titik itu.  Hanya saja nyatanya saya masih jauhhh banget dari situasi ideal itu. Ini kepikiran saat ngobrol dengan mama. Gegara ada yang kita anggap kok rada kebablasan. Sekali dua kali dibantu tapi kesininya malah jadi merugikan kita. Hiks.. Kadang sampai di tahap kita speechless ngga tahu lagi mau komen apa. Padahal sebenarnya kita juga ada saat lagi ngos ngosan. Apa kalanya saya meminta anak-anak bersabar jika keinginannya ditunda dulu. Atau kadang manyun ngga jelas

Pertanyaan Salah Alamat

Sedari awal saya sudah tahu bahwa situasi ini akan terjadi. Saya amatlah paham. Bagaimana mungkin saya tidak mengerti berapa tinggi level komunalnya masyarakat skala kecil yang berpusar di sekeliling hidup saya. Entah itu perihal pohon pisang yang kematangan di pohon, atau tentang saya yang lama tidak membeli gamis baru. Saya sebenarnya tidak terlalu masalah dengan intervensi lintas dapur begini. Karena sudah terbiasa sedari kecil.  Kecuali perkara anak.  Saya tidak paham, darimana datangnya asumsi bahwa saya tengah menunggu kedatangan anak laki-laki.  Ketika putri pertama lahir, saya menatap mama yang sangat bahagia. Beliau memeluk Atya yang dibungkus rapat dalam bedong. Lalu beliau berujar, "Alhamdulillah, lah basambuang keturunan mama." Ini mengacu kepada pola matrilineal yang dipakai di tanah Minangkabau. Bahwa anak perempuan akan meneruskan nama marga, penjaga rumah gadang dan harato pusako. Memiliki cucu perempuan bagi mama, berarti jalur keturunan mama telah berlanjut.

Kisah Bahagia yang Tidak Tertukar

Dulu sekali saat masih kuliah, saya pernah ngobrolin tentang serunya dunia perkuliahan dengan mama. Persis saat itu pula seorang teman SD saya yang tidak melanjutkan kuliah lewat di depan rumah. Terus saya bilang ke mama, bahwa saya merasa kasihan pada teman itu karena tidak merasakan seperti apa warna warni dunia kuliah karena nasibnya kurang beruntung. Mama terdiam sebentar dan berujar "Tapi kita kan ngga tau beruntungnya orang atau tidak, siapa tahu dia adalah orang yang berbahagia dengan kondisinya, kalimat barusan malah bisa dikategorikan sombong." Saat itu saya tidak membantah mama, tapi di dalam hati saya teteup merasakan gelombang jumawa sebagai anak kuliah dan teteup kasian dengan teman yang tadi yang sehari-hari sibuk mengurus keluarganya. Tahun-tahun lalu berlalu dan saya sudah bekerja di kota lain dan (masih) belum menikah. Saat saya pulang kampung, saya lalu bertemu dengan teman tadi dengan dua balita lucu menggemaskan. Teman saya tadi terlihat ceria, dia tampak

Kisah Mata yang Menatap Hangat

Pekan ini tugas sekolah anak-anak asik semua kelihatannya. Mulai dari bebikinan video diskusi sampai ke pengalaman mengamati peta bermenit-menit hingga mata pegel. Selain itu putri sulung saya juga memiliki tugas yang menarik, yaitu menjawab pertanyaan gurunya tentang dirinya sendiri.  "Bunda, apa gunanya memiliki tujuan hidup?" Whoaa... Saya seketika jatuh cinta pada pertanyaan itu.  Itu adalah jenis pertanyaan yang ngga bisa dijawab dengan sepeminuman kopi saja. Melainkan meliputi renungan dan diskusi yang panjang. "Sebenarnya kakak udah paham dengan arti tujuan hidup, kita udah sering banget bahas ini. Meski ya emang ngga disebutin kalau itu arti tujuan hidup sih. Tapi kalau bunda bercerita lagi, kakak bakal ngeh kalau ini udah sering kita bahas." Duh, kalimat awalannya aja udah panjang.. hihi..  Sudut mata saya menangkap sosok mama di arah kanan, dan terpikir sebuah ide pengembangan obrolan.  "Ini kira-kira kayak nenek kita Kak, begitu nenek pensiun, nenek

Kisah Telepon yang Hening

Saat itu ada paket Rp.25.000 sehari untuk seharian telpon. Paket yang menyelamatkan kerinduan perantau baru kayak saya. Biasanya saya membeli paket ini di hari libur. Lalu saya akan menghabiskan waktu seharian itu untuk telponan dengan keluarga atau kawan lama. Lengkap sudah segala berita dari kampung halaman saya terima. Mulai dari pohon petai yang berbunga lebat hingga ke kambing yang melahirkan. Juga kabar tentang bayi-bayi yang baru lahir atau rumah baru yang dibangun menggantikan sawah di tepi jalan. Saya menyukai saat-saat menghabiskan paket hemat telpon itu. Tapi itu terhenti ketika saya memiliki bayi. Ketika saya memiliki putri, saya merasa seluruh waktu saya lalu berpusat kepadanya. Saya hanya belajar sesuatu yang berkaitan dengan perkembangannya. Saya ikuti seminar yang terkait parenting, juga ikut milis dan Facebook Group tentang menyusui dan tumbuh kembang anak. Demikian juga dengan buku, cover buku yang tertangkap pandangan pertama adalah yang mengandung kata bayi atau ana

Kisah Pohon Jambu yang Merana

Di sudut masjid Mujahidin, terdapat kolam ikan yang seringnya tidak digenangi air. Karena selokan yang mengalir di dekat masjid itu, seringkali tidak mengalirkan air sama sekali. Seisi dasar kolam dipenuhi semak liar belaka. Apabila sudah lama tidak ada gotong royong membersihkan pekarangan masjid, semak di dalam kolam akan membuncah keluar.  Bagi kami kanak-kanak yang riang gembira, perkara kolam yang rimbun oleh belukar tidaklah masalah sama sekali. Kami tetap saja berlarian sehabis giliran mengaji. Semak yang meninggi kami anggap hutan belantara yang memperkaya keindahan fairy world dalam imajinasi anak-anak.  Namun yang paling menarik adalah sebatang pohon jambu di salah satu sudut kolam. Batang jambu biji itu seingat saya tidak pernah bertumbuh besar. Ketika saya sudah lancar mengaji, tingginya tetap segitu saja. Batangnya hanya setinggi dada orang dewasa, namun daunnya lebat memenuhi tiap cabangnya. Hanya saja jarang sekali ia menampakkan buahnya.  Perihal ia tidak bertumbuh besa

Kisah Kaki yang Lelah

Namanya toko buku Sari Anggrek. Ia terletak di ujung jalan Permindo, di tengah keramaian kota Padang. Jalan Permindo sendiri adalah jalur favorit mahasiswa dan anak muda pada umumnya. Di sana ada berbagai toko pakaian, kebutuhan jarian, warnet, salon dan juga toko buku dan stationery. Di antara semuanya, toko Sari Anggrek yang paling memikat saya. Setidaknya saya akan mampir sekali sepekan, untuk membeli keperluan alat tulis dan juga melihat-lihat buku bacaan menarik.  Ketika itulah saya paling meras merana. Sebab koleksi bukunya ingin sekali saya pindahkan ke kamar kost an kecil. Minimal saya ingin membawa sepelukan buku ke rumah. Dan kemudian menghabiskan malam dengan menenggelamkan kepala di balik lembaran buku. Tapi dengan kantong mahasiswa pas-pasan seperti saya, itu tentulah hanya impian belaka. In fact, saya tidak pernah membeli buku apa-apa. Semasa kuliah, saya hanya membaca buku-buku perpustakaan kampus dan perpustakaan daerah.  Akan tetapi tak urung saya melanjutkan hubungan

Kisah Hati yang Iri

Seorang saudara mampir pagi ini ke rumah. Kami berbincang ringan saja awalnya, tapi lalu entah kenapa menyebut perkara rasa iri. Dia berkata bahwa untunglah di keluarga kita engga ada yang namanya rasa iri, engga seperti orang-orang lain. Entah kenapa, saya merasa ini kalimat yang bersayap. Meski demikian, saya diam saja, tidak tahu harus menanggapi apa. Juga tidak kepikiran untuk bertanya lebih jauh. Tapi tidak urung saya menyimpan penasaran dalam hati, mengingat saya tengah renovasi rumah. Apakah ketika saya butuh tambahan ruang untuk 3 anak gadis, lalu menjadi trigger rasa iri? Bukankah selama ini saya sudah sangat low profile, dengan tidak pernah punya agenda shopping apapun. Bahkan setahun bisa berlalu tanpa saya punya baju baru. Hanya karena simply ngga kepikiran aja punya baju baru. Saya juga tidak pernah posting apa- apa di medsos yang sekiranya mengundang rasa iri. Sebagian besar malahan berisi saya yang mentertawakan diri sendiri.  Moreover, ketika saya berhasil membeli segal

Growing Up in Low Risk Environment

Saya suka doodling.  Dulu. Tepatnya waktu gabut selepas kuliah, jelang pergi merantau. Apabila saya sudah selesai membereskan rumah, mengurus tanaman dan menyapa keluarga bebek, saya lalu kehilangan keseruan. Padahal matahari masih belum meninggi. Saat itulah saya menyibukkan diri dengan menggambari apa saja. Persis kerjaan saya waktu kanak-kanak. Mama yang melihat 'mahakarya' saya itu, lantas memberikan kesempatan berkembang. Mama meminta saya menuliskan kata mutiara di sepanjang selasar sekolah dengan corak yang bakal disukai anak SD.  Saya gembira. Karena bisa menyalurkan hobi dengan benar. Selain itu, saya bisa lega sebab tidak akan ada yang mencela karya saya. Ini termasuk perkara penting waktu itu. Karena kemampuan menggambar saya sebenarnya hanyalah pengakuan diri semata. Saya bahkan tidak pernah mengikuti lomba menggambar apapun, dan tetap saja tulisan tangan saya hanya lebih baik sedikit dari cakar ayam.  Tapi membuat karya di sekolah, saya merasa nyaman. Karena itulah

Kaji Lama yang Senantiasa Relevan

Perkara larangan Apa, yang paling utama bagi saya adalah larangan ngomongin orang. Ini berkaitan pula dengan larangan tidak boleh main ke rumah tetangga. Larangan yang akhirnya mewarnai karakter. Andai saya ditemui saat duduk menunggui pesawat yang delay sekian jam. Saya hanyalah calon penumpang yang menumpas jemu dengan menenggelamkan wajah pada sebuah buku. Atau mungkin menatapi hirup pikuk di kejauhan sembari pikiran melayang entah kemana. Saya bukanlah orang yang akan senyum dan menyapa ramah seorang yang duduk tidak jauh dari saya dan kemudian mengajaknya ngobrol. Bahkan andai ada yang menyapa saya duluan, ada kemungkina 60 % bahwa saya akan menjawab sekadarnya lalu kembali pada kedalaman buku, atau melayang bersama lamunan.  Saya terlalu sering sendirian, tanpa ngegosip dengan teman atau tetangga. Larangan Apa terlalu kuat mengikat. Sebab saya tahu niat baik di sebalik larangan yang sulit itu. Betapa tidak. Lingkungan tempat tinggal saya sungguh sangat komunal. Dimana segala hal