Bak Pimpiang di Lereng

 Tulisan 2 dari 10. Belajar menulis fiksi.


Toko buku ini, kuberi nama Kenang-kenangan. Berada di sebuah pasar kecil dekat depan terminal antar kota. Keberadaannya merupakan sebuah kontras. Bahwa ada toko kecil berlapis kayu coklat dengan banyak bunga kering menghiasi bagian depan. Di antara bunga itu kuletakkan dua buah kotak majalah bekas. Pintu toko merupakan kaca lebar yang licin tanpa debu sedikitpun. Pada pintu itu kugantungkan tulisan 'BUKA' yang kubuat sendiri. Toko cozy ini sangat janggal jika disandingkan dengan toko pakaian, warung soto, dan deretan toko lain yang riweuh dengan barang berserakan. Terminal dan pasar adalah dua muara kesibukan umat manusia. Sementara toko buku sejatinya adalah tempat waktu berhenti sejenak. Bahkan aroma bunga yang mengalun di dalamnya, hanya tercium samar saja. 

Tentram.

Tenang apa adanya.

Entah kegilaan apa yang kulakukan saat menyewa toko kecil ini. Dan entah darimana datangnya ide dekorasi begini. Di kampung yang senantiasa disapa hujan tiap sore, toko berdinding kayu sungguh merupakan ide yang buruk. Belum lagi ratusan buku di dalamnya, yang rentan akan kelembaban. 

Pagi ini ungkapan yang kudengar kemaren dari Uda Sati, pemilik warung soto di sebelah kembali terngiang.

 "Bak Pimpiang di Lereng" adalah sebutan untuk seseorang yang plin plan. Pimpiang katanya adalah tumbuhan yang berbatang langsing dengan daun yang halus. Kebanyakan tumbuh di perbukitan. "Bayangkanlah sebatang bambu,"  kata Uda Sati yang bersusah payah menerangkan padaku. "Mirip bambu, tapi ia rapuh." Tandasnya. 

Aku mengangguk, meski tidak mengerti. 

Tapi aku menangkap sedikit maksud Uda Sati. Pimpiang ini kalau ditiup angin, gampang banget berubah arah kemiringan. Jika angin bertiup ke barat, maka condong pula ia ke barat. Jika angin bertiup sebaliknya, ia pun turut ikut. 

Kurasa aku pun sudah seperti pimpiang. Jika Uda Sati memutar lagu gamat Minang tempo dulu, hatiku larut dalam kesedihan. Padahal hanya sepertiga artinya yang kuketahui. Begitu pula jika Uni Ida di belakang menyetel lagu dangdut, jemariku turut mengetuk cangkir kopi.

Mungkin aku memang sengaja. Toko buku di terminal merupakan sebuah paradoks yang dimaksudkan demikian. Aku ingin berada di keramaian, sekaligus ingin menyendiri.


#SUARA

#RBMIPJAKARTA

#IBUPROFESIONALJAKARTA

#WRITOBER2021

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga