Nasi Panas dan Lemak Sapi

Hanya tinggal sedikit lagi, kita akan sampai di atas puncak gunung. Tinggal beberapa belokan saja, maka akan sampailah di puncak Gunung Sago yang merupakan salah satu dari Tri Arga. Tri Arga mengacu pada tiga gunung di Sumatera Barat, yaitu gunung Merapo, gunung Singggalang dan Gunung Sago. Di sanalah Apa menanam tembakau untuk pertama kalinya. Ketika tembakau berada di puncak pertumbuhannya, daun tembakau yang lebar terhampar hijau di lereng gunung yang dinginnya sungguh menusuk tulang.

Saya hanya kesini setiap akhir pekan, mengingat butuh tiga jam pendakian untuk sampai ke ladang. Begitu sampai, saya sudah biasanya membeku terlebih dahulu. Bahkan sebelum mengerjakan apa-apa. Saking dinginnya udara di perkebunan itu. Tak jarang kabut membungkus segenap dedaunan sehingga saya kesulitan mencari sosok Apa. 

Saya masih sangat belia ketika Apa berladang di gunung. Satu-satunya pekerjaan yang bisa saya lakukan di sana adalah memetik cabe rawit. Apa telah menanam puluhan cabe rawit di sela tanaman tembakau. Saya mengingat dalam kenangan bahwa satu pohon cabe rawit akan memerlukan waktu setengah jam agar bisa dipanen dengan menyeluruh. Saking lebatnya buah cabe di sebatang pohon. Jangan tanya semua tanaman lain, mereka juga tumbuh subur di tengah suhu yang amat dingin itu. 

Apa hanya berladang satu kali periode saja di Gunung Sago, karena berikutnya Apa sudah kembali fokus mengelola lahan pertanian warisan nenek. Namun dalam kurun waktu singkat itu saya menyimpan memori tak terkalahkan oleh sebanyak apapun hal baru. 

Saya ingat aroma tanah yang hitam legam dan gembur karena humus. Saya ingat aroma rumput yang dicabut dan di taruh di antara galangan. Saya juga hafal setiap jenis tumbuhan liar yang kami lewati setiap kali naik gunung. Semua vegetasi gunung telah menghuni ruang-ruang kenangan. 

Demikian juga suasana dapur di gunung. Apabila matahari sudah meninggi, mama akan memasak nasi di tungku api. Kami numpang menggunakan rumah milik sahabat Apa yang ladangnya bersebelahan dengan kami. Asap dan kehangatan api di tungku juga turut memanaskan kayu api yang disusun rapi di atas para-para. Kayu itu biasanya akan lembab jika ditaruh begitu saja di halaman. Namun dengan berada di dapur, kayunya akan tetap kering dan bisa dipergunakan setiap saat. Di sela-sela susunan kayu bakar itu, tergantung beberapa lemak sapi. Bagian luarnya sudah mengering karena udara hangat dari tungku. Lemak itulah sumber kegembiraan kami ketika makan siang nanti.

Saat nasi diangkat dari tungku, uapnya akan mngepul dan sontak menyebarkan wangi nasi yang sedap. Nasi yang berasal dari panenan tahun kemaren. Bulirnya putih sempurna. Apa akan mengambil sepotong lemak sapi dan memanaskan ujungnya di bara api yang tersisa di tungku. Ujung lemak mulai meleleh, dan meneteskan minyak. Tetesan lemak sapi itu yang kemudian ditampung dengan sepiring nasi hangat. 

Whoaaa... Aroma daging sapi dan nasi hangat berpadu memenuhi pondok bambu sederhana itu. Itu adalah makanan yang istimewa buat kami kanak-kanak yang ikut ke hutan. Sementara orangtua biasanya menggunakan lemak sapi ke dalam campuran sambalado. 

Nikmat tak terkira. 

Karena kami hanya berkesempatan makan daging sapi dua kali setahun saja ketika hari raya tiba, maka lemak sapi jadi makanan yang mengingatkan pada kegembiraan lebaran. Sepiring nasi sederhana itu juga menghangatkan badan. 

Masalahnya hanya satu, seusai makan, sisa lemak akan tersisa di langit-langit mulut. Meninggalkan rasa tebal. 

Tapi saya mengingat, setelah makan dan mencuci piring, saya sudah kembali berlarian di ladang. Sepenuhnya lupa dengan lemak sapi.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga