Air

Tulisan 8 dari 10. Belajar menulis fiksi.

Sebuah surat datang ke hadapanku. Tanganku bergetar melihat asal surat itu, sebab selain anaknya Lami, tidak ada lagi yang mengirimiku surat. 

Sudah kukatakan sejak semula, aku adalah orang yang tidak terpakai lagi. Dan tidak ada yang membutuhkan namaku. Ketika pada sebuah surat, tertera nama lengkapku yang lain, tanganku kehilangan kontrolnya. Itu adalah identitas yang semestinya tidak boleh terkuak. Terlebih lagi, semestinya yang mengenali nama lengkapku yang itu, tidak akan tahu tentang Syam dan negeri asalnya ini. Bahkan Syam sendiri belum pernah kembali ke sini sejak usianya 3 tahun.  Bagaimana bisa ada orang yang tahu nama dan alamatku di sini. Di negara yang bahkan tak pernah terbayang akan kukunjungi.

Hanya kekonyolanku sesaat yang membuatku memilih kampung kecil ini sebagai tempat menghabiskan sisa waktu. Aku, seorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Tidak banyak lagi yang kuinginkan. Malah sedapatnya aku perlu menghindar. Kecuali mungkin tentang Syam, aku masih menunggunya di sini. Orang kebanyakan tidak akan sanggup menanggung beban yang kubawa sejak dewasa. Telah kulakukan hal-hal yang jauh di luar kesanggupan manusia normal. Dan kini, di masa senja, yang kuinginkan hanyalah menghanyutkan diri pada arus kenangan.

Namaku, yang sebenar-benar asli, sudah menghilang. Setidaknya kupikir begitu hingga surat ini datang. Ketika tanganku berhenti bergetar, alih-alih takut, aku malah terbakar antusias. 

Mungkin memang layaknya air, tidak tahan untuk diam begitu saja, melainkan terus mengalir. 


#AIR

#WRITOBER2021

#RBMENULISIPJAKARTA

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga