Pandemi - Kisah Pertama: Kita Baik-baik Saja, Insya Allah

Bahwa orang Minangkabau suka merantau, ini sudah jamak dipahami. Tak terbilang banyaknya tetangga saya yang meninggalkan kampung. Ketika saya kecil, saya tidak menyukai konsep merantau ini karena kampung jadi sepi. Hanya orang tua dan kanak-kanak yang ada di kampung kami. Sepanjang jalanan terasa senyap, apalagi ketika bunga kuning yang tumbuh liar, telah meruak ke jalanan. Pertanda sudah perlu dilakukan goro warga. Saya juga tidak suka ketika setelah lebaran, kami lalu bertangis-tangisan dengan sanak saudara yang tinggal jauh di seberang laut. Apalagi saat itu masih jarang orang yang bepergian dengan pesawat. Kota Jakarta terasa sangat jauh, tidak terjangkau. 


Namun demikian saya sendiri yang memutuskan merantau ketika berusia 24 tahun. Dan sejak itu saya merasa jarak memendek dengan drastis.

Jika di masa kecil, saya mengeluhkan betapa luasnya dunia, dan betapa jauhnya sanak saudara. Begitu saya bisa bepergian dengan kereta api dan pesawat, jarak jadi punya defenisi tersendiri. 


Jarak dan waktu menjadi relatif.


Saya tersentak memahami petuah tetua.


Karatau Madang Dihulu

Babuah Babungo Balun

Marantau Bujang Dahulu

Dikampuang Paguno Balun


Merantau dahulu, menemukan pemahaman hidup agar kelak bermanfaat diri bagi orang ramai.


Saya jelas belum sampai di tahap bermakna bagi sekitar. Hanya saya memahami bahwa merantau memberikan konsep hidup yang baru yaitu: Change - Agility. 


Seorang perantau dengan kesadaran penuh meninggalkan kampung halamannya yang nyaman dan tenteram. Kemudian pergi menuju dunia antah barantah, entah apa yang akan dihadang. 

Perantau juga akan mengkalkulasikan langkahnya, Apakah cukup bekal beras yang dibawa di kampung? 

Siapa induak samang tempat bersandar jika berada di perantauan? 

Kemana ilmu yang dimiliki ini akan dibawa agar terpakai? 


Lalu setelah segala strategi itu, masih saja tidak jelas apa yang akan ditempuh. Maka perantau yang sukses adalah penyintas yang berpengalaman. Sudah teruji kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan. 

Makin jauh rantau, makin besar pula tantangan yang dihadapi. 


Ketika pandemi melanda negeri, saya melihat dengan pandangan seorang perantau. 

Rantau telah berganti, saya hanya perlu menyesuaikan diri. 

Alih-alih mengeluhkan beban belajar online, terhadap anak-anak yang kini di rumah, saya melihatnya sebagai kesempatan saya memberikan pemahaman dengan waktu yang lapang.

Saya bisa bermain dengan mereka kapan saja, bisa membaca atau memasak bersama. 


Kemudian ketimbang mengeluhkan perkara perekonomian yang menggoyang sendi rumah, saya lebih memilih untuk segera melihat ke depan, dengan segera membuat strategi baru.

Entah saya akan lulus dari ujian kali ini, rantau kali ini luas dan belum dikenali.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga