Karena Namaku Adalah Syam

 *BAGIAN TERAKHIR DARI 10 TULISAN WRITOBER2021

Namaku Syam.

Anak tunggal yang mewarisi tiga lereng bukit dan tiga hamparan lembah. Konon di masa lampau, nenek moyang kami turun dari Gunung Sago dan beranak pinak. Lalu mereka membagi kepemilikan tanah dengan meniup segenggam kapas. Kelak sejauh mana biji kapas terbang dan kemudian tumbuh, itulah batas tanah mereka. Karena kapas itu melambung tinggi dibuaikan angin yang lena, maka akan jauh kapas terbang. Jauh pula rentang tanah warisanku. Selain itu, dikarenakan sejak dahulu kala, anak perempuan di keluarga ini hanya seorang saja di tiap generasinya, tanah ulayat kami utuh. Tidak pernah dibagi-bagi.

Beban berat itu yang aku tanggungkan. Mengurusi tiga bukit yang penuh dengan pohon cassiavera dan kopi robusta. Ketika sudah saatnya menebang kayu manis, aku akan sibuk sekali mengatur para pekerja. Memastikan mereka benar-benar menebang pohon yang berdiameter dewasa. Juga memastikan mereka mengambil setiap rantingnya, karena setiap inci dari pohon itu sangat berharga. Pada salah satu celah bukit, terdapat mata air yang sangat besar, nyaris menyerupai air terjun. Dulunya kunikmati sendiri, bahkan kubuatkan pondok kecil agar aku bisa bermalam di samping hamburan air. Sehingga derunya bisa mengobati deru hatiku yang tidak kunjung padam. Tapi kini mata air itu telah menjadi sumber energi ke listrik microhidro, yang membuat kampung kecil kami menyala terang untuk pertama kalinya. 

Di salah satu sisi bukit kini ramai, karena  orang-orang jadi berdatangan. Menjadikan mata air personal ini menjadi tempat wisata. Kuijinkan saja dengan sebuah persyaratan ketat yang tidak seorangpun boleh membantahnya. Bahwa kawasan milikku tidak boleh diubah sedikitpun kecuali hanya untuk keperluan listrik. Itu sebabnya hanya ada saluran air dengan tembok beton, dan gardu sederhana bercat putih bersih. Tidak kubolehkan satu saung pun berdiri. Juga pengunjung tidak boleh makan dam minum di tanahku. Sudah cukup mereka mengambil ketentramanku, jangan pula merusak kesuburan tanah milik moyangku. Apalagi mengganggu tumbuhan yang ada di sepanjang dinding celah bukit. 

Berkat keputusan itu, aku sempurna dijauhi. Lengkap sudah julukanku selama ini. Dari remaja yang nerd, yang menyukai buku daripada bedak dan lipstik, sampai ke orang gila yang naik kapal berbulan-bulan demi mengejar ilmu ke negara di benua nun jauh. Ketika aku dipaksa pulang. Berhari-hari aku tidak keluar dari balik air terjun. Ini yang kemudian memunculkan sebutan dukun yang kejam padaku. Terutama ketika aku keluar dari sana dengan mata merah menyala dan pipi yang cekung. 

Wahai, tidakkah mereka tahu bahwa impianku tengah diambil paksa, dan hatiku sakit mengingat orang yang kucintai tidak akan pernah kutemui. Jika tidak pada derai air terjun, pada siapa kusamarkan derai air mata yang menghambur tidak tertahankan..

Ketika Mak Tando menjemputku di kampus, ia bagai seorang asing di selasar berlorong tinggi. Ia berbicara singkat, dan membawaku pulang tanpa memberiku kesempatan menulis pesan. Bahkan kami langsung berlayar pada sore itu juga. Perjalanan satu bulan kembali ke tanah air, kuhabiskan dengan merenung di geladak. Tidak kurang dari lima kali banyaknya, sempat aku hendak menerjunkan diri di kegelapan samudera. Tapi terbayang wajah lembut bundo. "Bundo menyuruhmu pulang," gumam Mak Tando di kampus. 

Aku Syam, perempuan yang keras. Aku telah menjadi bagian dari rahasia negara ini. Aku menjalani banyak hal yang tidak terbayangkan rumitnya. Sesuatu yang hanya dibahas oleh segelintir orang tertentu. Kepergianku ke luar negeri ditutup oleh alasan kuliah master tentu saja, tapi ada misi lain yang kujalani. Yang untunglah sudah selesai dengan gemilang. Karena aku adalah Syam. 

Jika aku tidak segera pulang, itu karena aku terlanjur jatuh cinta di taman. Betapapun aku keras kepala, terhadap cinta aku tetaplah perempuan sederhana. Seharusnya ia yang memintaku untuk bersamanya. Pantang bagiku mendahului terungkapnya perasaan. Lalu kuputuskan untuk terus di dekatnya, sambil menunggu. 

Menurut cerita orang-orang tua, aku terlahir pada Minggu malam, ketika bulan penuh bertengger di puncak langit. Konon katanya itu pertanda lahirnya anak yang tangguh dan tidak kenal rasa takut. Tapi nyatanya, pada permintaan ibu, aku senantiasa tunduk. Itu sebabnya dengan lesu, kuikuti Mak Tando dalam diam. 

Dengan diam pula, kulalui masa berpuluh tahun. Makin jelas pula sangkaan orang padaku. Betapa aku telah menuntut ilmu kebatinan hingga jika aku mengayunkan tunjuk pada sebuah batang kelapa, buah kelapa akan langsung berguguran. Tidak sedikit orang yang meminta obat padaku. Semua kujawab dengan tatapan dingin.

Wahai, tidak adakah yang bertanya tentang rumitnya fisika padaku? Atau bertanya detil kisah kelam para pemimpin dunia yang telah tumbang?

Tentu saja tidak ada. Petualanganku adalah jalan yang senyap. Bahkan bunda yang kucintai, tidak pernah tahu. Sampai akhir hayat beliau melihatku sebagai putri yang lembut dan elok laku. Yang tidak akan pernah keluar rumah jika azan magrib berkumandang.

Hanya Laila, anak sepupuku yang tahu bahwa bagiku matematika itu persoalan yang amat mudah. Itu pula alasannya ia main ke rumahku setiap hari. Kadang ia bermalam di rumahku berhari-hari. Apabila ia ada di dekatku, susah payah kutahan lidahku. Agar jangan sampai tumpah semua kisah lamaku padanya. Ini bukanlah perkara yang gampang. Karena Laila, anak yang amat manis dan riang itu, sangat pandai berbicara. Terutama ia pandai mengajuk hatiku dan membuatku bisa tersenyum. 

Sore ini, wajah bulatnya berkabut, dan seperti ibunya, ia jago ngomel-ngomel berkepanjangan.

Setelah menaiki tangga dan melangkahi ambang pintu, ia mengucap salam dan menemukan keberadaanku di dekat jendela. Ia mencium punggung tanganku sebelum melanjutkan gerutunya yang terputus. Lamat-lamat kutangkap ia menyebut tentang buku, anak lelaki yang ganjen dan majalah yang robek. Ah, ini dinamika gadis yang beranjak remaja, pikirku. Aku kembali sibuk menarik tali di tanganku yang secara sistematis membunyikan ribuan lonceng kecil di lima penjuru sawah yang menguning. Burung-burung kecil segera mengangkasa. Kaget dengan lonceng yang tiba-tiba nyaring berdentang. Melihat mereka terbang tinggi, tak ayal hatiku perih kembali. Alangkah mudahnya hidup burung, aku membatin dengan getir. Ketika perlu pergi, ia pergi begitu saja.

"Etek, lihatlah ini, tidak satupun etek tanggapi masalahku," rengek Laila menempel di bahuku.

Aku kembali ke bumi. 

Kurengkuh kepalanya dengan satu tangan. Bahagialah Laila, ucapku dalam hati, nikmati masa muda ini sebaik-baiknya.

"Etek tadi dengar tidak kalau Laila bertengkar saat membeli majalah." 

Aku manggut-manggut. 

Duhai Laila, etekmu ini mengatasi masalah yang dua ratus kali lebih pelik. Bahkan etekmu juga yang menyelamatkan nyawa menteri kita yang diujung tanduk. 

"Etek, om bule yang dulu menjaga toko buku, jauh lebih baik. Entah kenapa ia pergi. Sekarang anak angkat Pak Lami yang bandel itu yang disana." 

Aku menoleh, mengawasi wajah Laila yang gusar. Nasib padi yang menguning kuserahkan begitu saja pada kawanan burung pipit yang terlalu menyukai bulir bernas itu. 

"Etek tidak pernah menanggapi ceritaku, kan sudah kubilang, om yang di toko buku itu ganteng meski sudah tua. Terus ia juga suka bercerita."

"Ada toko buku di pasar? Bukannya lapak majalah bekas saja?" tanyaku menyelidik. 

Laila merengut. Ia berlari ke ujung rumah gadang dan berjinjit mengambil pigura foto. 

"Etek memang tidak peduli dengan semua yang Laila ceritakan, foto ini kan di depan toko buku."

Kucermati foto yang sudah menempel di dinding selama lima tahun ini. Saat kudekatkan ke cahaya di jendela, bukan wajah riang Laila dan teman-teman perempuannya yang mengambil perhatianku. Tapi di sana. Ada papan nama toko bertuliskan Kenang-kenangan. Dan ada tulisan kecil di bawahnya, untuk Syam.

Kuraih tali kendali lonceng, kudentangkan ia sekuat tenaga. Kuharapkan suara dentingnya akan sampai ke segenap lembah di dunia ini. Karena lelaki yang menyukai buku klasik itu juga menyukai lembah dan aliran sungai. Hanya aku tidak habis pikir, kenapa ia memilih penantian yang jemu di terminal. Kenapa ia tidak menelusuri rimba raya ini untukku.

Lonceng berdentang kembali sahut menyahut. Kali ini kukirimkan harapan. Kelak ia akan menyadari bahwa terminal bukanlah pilihan terbaik dalam menemukan seseorang. 

Aku adalah Syam, perempuan yang lahir di bawah purnama. Konon anak yang lahir di saat itu akan menjadi seorang yang tabah dan tidak berputus asa. 

#derana

#writober2021

#RBMIBUPROFESIONALJAKARTA

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga