Kisah Tebing yang Membungkam Cita-Cita
Tapi kini mereka berada di posisi yang sulit. Tebing itu terlalu berbahaya.
Bahkan dengan segenap tim bekerjasama saling mengulurkan tangan. Tebing itu mustahil bisa mereka daki.
Tegang,.sungguh gawat situasi mereka.
Di tengah perjuangan itulah, salah satu pendaki kehilangan pegangan. Seperti kapas, ia melayang di ketinggian. Terus melayang hingga terhempas di jurang yang dalam.
Saya terkesiap, sigap mematikan tv dan menghambur ke kamar.
Tayangan barusan sungguh bikin galau. Saya menekankan kepala ke bantal. Berharap tayangan barusan bisa menghilang dari ingatan.
Papa yang menyadari situasi, melongok ke kamar.
"Apakah film barusan membuatmu kehilangan keinginan mendaki?" tanya Papa.
Pertanyaan yang telak.
Saya, di usia enam tahun, memang baru saja mengubur keinginan mendaki semua gunung yang ada di lima benua.
Papa mendampingi saya pulih dari film yang muram itu. Tapi saya tidak lagi pernah bisa mencintai tebing curam. Tanda bahaya segera meraung-raung di benak saya setiap kali melihat tebing yang berpeluang merenggut nyawa itu. Tapi setidaknya saya masih menyukai gunung, pohon dan roller coaster.
Kenangan pada almarhum papa membuat saya aware pada setiap tontonan yang dilihat putri-putri saya. Karena bisa jadi ada tayangan yang begitu membekas di hati.
Comments
Post a Comment