Posts

Showing posts from September, 2022

Hari Yang Selalu Terlupakan

Entahlah, saya merasa ada semacam paradoks dalam diri saya. Saya senang mengingat masa lampau. Bahkan teman-teman di komunitas udah tahu banget kalau saya suka mendongengkan kisah-kisah di masa silam. Saya merasa pengalaman di masa lampau bagus buat dijadikan refleksi diri. Lalu jadi panduan bersikap di masa mendatang. Setidaknya jadi cermin agar tidak mengulang kesalahan yang sama.  Bagi saya, kenangan masa lalu terlalu menarik buat diabaikan. Kadang jika saya di tengah perjalanan, lalu memandang ke luar jendela, benak saya telah melayang ke masa lampau. Fragmen demi fragmen lalu diputar ulang. Saya melihat lagi segala peristiwa masa lampau. Lalu hal-hal penting seakan bersinar agar saya lebih memperhatikan. Terbentuklah mutiara-mutiara hikmah, yang kemudian saya raup dan peluk dengan erat.  Segala kisah masa lampau itu sering saya tuangkan pada berbagai tulisan. Juga sering saya sebut-sebut di berbagai seminar atau zoom meeting. Ini yang bikin teman-teman saya hafal banget dengan sty

Memeluk Senja (13)

Sebuah perubahan bisa berlangsung perlahan. Andai ada seseorang berbuat kebaikan secara konsisten, dan ia menginspirasi banyak orang. Sehingga orang lain lantas mengikuti jejak langkahnya. Orang tersebut lalu menginspirasi pula, sehingga makin luas kaitan kebaikan tersebut. Dalam jangka waktu yang lama, perubahan akan terjadi. Ia biasanya sesuatu yang stabil karena telah teruji oleh waktu.  Akan tetapi perubahan bisa terjadi drastis dan sistematis jika berada di posisi yang tepat.  Itulah yang tepatnya dialami oleh mama. Persis di saat mama menunggu momentum perubahan, ia datang begitu saja. Ketika nagari kami yang akan mengikuti lomba tingkat provinsi, mama telah langsung terlibat. Terlebih mama telah punya pengalaman banyak dalam bidang ini. Bukankah dulu mama yang turun ke nagari-nagari di berbagai kecamatan, memandu mereka agar siap saat penilaian nanti. Maka ketika nagari kami ikut, mama langsung berkontribusi. Meski tidak lagi menjadi pengurus PKK akan tetapi mama telah kaya deng

Memeluk Senja (12)

Saya membeli buku yang berjudul Tipping Point di Gramedia. Sebuah buku putih dengan gambar satu buah korek api di depannya. Lalu ada tulisan: "Bagaimana Hal-hal Kecil Berhasil Membuat Perubahan Besar"  Saya segera tertarik.  Ketika baca bagian belakangnya, saya tidak punya pilihan lain selain membawanya ke kasir. Buku ini kemudian menyita perhatian saya, karena ia berkisah tentang kasus-kasus menarik dan apa pembelajaran yang diambil di dalamnya. Buku ini menceritakan bagaimana sebuah gagasan yang dimunculkan pada waktu dan strategi yang tepat, dan kemudian membuat perubahan besar. Menyikapi  keluhan mama saya berpikir jangan-jangan yang mama perlukan adalah sebuah tipping point. Mama memiliki unsur-unsur terhadap sebuah perubahan. Ada kegelisahan yang dibarengi tekad ingin memberikan solusi. Terus juga ada ilmu yang bisa diterapkan. Lebih keren lagi, ada waktu yang lapang dan dana yang cukup jika diperlukan. Mama siap mengawal perubahan.  Tapi terhadap pertanyaan sederhana m

Memeluk Senja (11)

Image
Setiap aksi perubahan berasal dari kegelisahan. Hati yang gelisah akan situasi janggal yang terjadi di sekitar adalah turning point sebuah aksi. Pada titik tertentu, hati yang berempati pada sesuatu yang tidak pas, akan berusaha mencari jalan keluarnya. Inilah benih dari sebuah gerakan kebaikan yang kelak akan mengubah kejadian sejarah. Jalan keluar ini biasanya unik dan mampu menggoyang sebuah kemapanan.  Mama menemukan kegelisahannya pada tiap hari Selasa pagi. Itu adalah hari pengambilan sampah untuk jalur rumah kami. Pada pagi Selasa itu, akan ada lima orang petugas yang berkeliling dengan mobil bak. Mereka akan bekerja dengan sigap. Dengan lincah dan sistematis, mereka mengosongkan bak sampah di depan rumah warga. Seketika itu, segala ragam sampah dalam bak plastik abu-abu, beralih ke dalam bak. Lantas setelah bergabung dengan keseluruhan sampah warga, mereka akan melanjutkan perjalanan ke tempat pembuangan sampah. Inilah sumber kegelisahan itu. Bahwa aneka sampah itu, mulai dari

Memeluk Senja (10)

Image
Ketika kami dulu tinggal di rumah dinas, orang tua saya menggali lobang yang cukup  besar untuk menampung sampah. Ukurannya sekitar 3x3 meter. Lumayan besar dan dalam juga memang. Ke dalam lubang itulah segala sampah dimasukan. Mulai dari sampah rumah tangga dari dapur, plastik dan kertas bekas atau sampah dedaunan yang saya sapu di tiap sore hari. Nanti sekali seminggu, sampah-sampah itu dibakar sekaligus. Setelah beberapa saat menyala, apinya padam dan menyisakan abu. Sampah tadi lenyap berganti tumpukan abu di dasarnya. Tapi tidak lama, sebab sampah baru berdatangan lagi. Kadang dari kertas yang salah ketik, atau bungkus minyak goreng. Kadang dedaunan yang tak henti berjatuhan atau sisa makanan.  Kala itu belum ada manajemen sampah yang menjangkau masyarakat desa. Batasannya cukup agar tidak mengganggu kenyamanan umum, itu saja. Lalu tiap warga punya cara sendiri-sendiri dalam menyelesaikan urusan sampahnya.  Bahkan kami sendiri punya cara berbeda, ketika akhir pekan tinggal di ruma

Memeluk Senja (9)

Image
  Covid 19 memberikan warna yang kuat pada dunia. Dampaknya ikut mengguncang rumah kami. Oh tidak, saya tidak akan membahas bagaimana perubahan yang mesti dihadapi negeri ini kala pandemi. Karena ini kisah tentang mama, maka ceritanya tentang mama yang terhalang pandemi.  Pengajian ibu-ibu di lingkup RT kami seketika terhenti. Mama dan 78 teman lansia langsung menyetop semua kegiatan berkumpul. Aktivitas rutin yang penuh kehangatan itu lantas berhenti begitu saja tanpa kepastian. Mama dan semua temannya menunggu entah bisa bertemu, entah tidak. Lalu saya menutup pagar cluster, memutus hubungan mama dengan dunia luar. Di cluster kami, hanya para suami yang keluar masuk bekerja atau berbelanja. Dunia senyap dari aktivitas, sekaligus dunia berduka atas kehilangan. Satu per satu teman lansia mama berpulang. Kabar dukanya singgah di grup whatsapp. Duka yang bertimpa, silih berganti setiap harinya. Praktis segala kegiatan mama hanya di rumah saja. Kecuali di pagi hari saat kami semua berjemu

Memeluk Senja (8)

Image
Saya baru menyadari bahwa banyak catatan tentang kisah pensiun mama yang belum saya tuliskan.  Recap cerita sebelumnya, mama awalnya aktif di PKK kabupaten. Mama lantas menikmati proses belajar hal baru, berkomunikasi dengan cara baru dan mendapatkan banyak pengalaman baru. Kemudian semua kegembiraan itu ditinggal.  Mama lalu tinggal bersama kami di perantauan dan beradaptasi dengan suasana baru. Ini mestilah tidak mudah bagi seorang lansia. Betapapun sunyi rumah kampung, bagi mama rumahnya adalah yang terbaik. Belum lagi mengingat almarhum Apa dimakamkan di belakang rumah kami. Sehingga mama bisa mengunjungi makam kapanpun mama mau. Selain itu pekarangan yang luas memungkinkan mama berkebun kecil-kecilan di rumah. Sampai bisa menjual sedikit-sedikit. Jika mama menanam seledri, biasanya sampai belasan polybag. Dengan perawatan yang bagus, semuanya bisa tumbuh dengan maksimal. Paling berapalah kebutuhan mama akan seledri. Mama juga tidak selalu membuat sop atau nasi goreng. Maka mama sa

Memeluk Senja (7)

Image
Setelah buanyaaak banget obrolan, menimbang ini itu dan segala konsekuensi, mama pun hijrah ke Jakarta. Mama mengurus surat jalan untuk mengurus perpindahan KTP, juga mengalihkan dana pensiun. Selain itu juga mengatur beberapa hal. Mama bersiap untuk menempuh perjalanan baru.  Setelah di Jakarta, mama sehari-hari banyak membaca, menulis dan bermain dengan cucu. Oh ya tentu juga mama yang suka memasak, menghabiskan banyak waktu di dapur.  Biasanya kalau malam hampir usai, saat saya selesai menyelesaikan berbagai kerjaan mendesak, saya lalu bisa ngobrol dengan mama. Ini kegiatan yang rutin kami lakukan. Rasanya seperti kembali ke masa lampau, saat saya curhat segala hal ke mama sampai berjam-jam. Bedanya dulu saya menceritakan tentang kuliah dan segala keseruannya, namun sekarang tentang tantangan di tempat kerja.  Nanti di akhir pekan, saya akan membawa mama jalan-jalan. Bukan ke mall karena saya ngga terlalu suka ke mall kalau tidak ada yang perlu dibeli.  Terus jalan-jalannya kemana d

Kisah Akhir Pekan

Dulu semasa SD, akhir pekan bermakna keluarga kami akan utuh. Ada beberapa saat lamanya keluarga kami terpisah. Mama mengajar di suatu desa, sementara Apa mengurus lahan pertanian kami di tempat lain. Sebenarnya sih kalau sekarang ini, berasa engga jauh-jauh amat. Engga sampai 30 menit berkendara. Tapi dulu itu terasa jauh, karena segalanya kudu jalan kaki. Jadi jika Sabtu siang, saya dan mama akan meninggalkan rumah dinas di gunung tempat mama mengajar. Lalu kami akan berjalan jauh, terus dan terus hingga sore datang. Terkadang saya berlari mendahului mama, dengan harapan sempat duduk sejenak sembari menunggu mama datang. Ini tentu saja bukan cara yang tepat, karena saya jadi lebih mudah capek. Sepanjang perjalanan kami, lebih banyak berupa hamparan sawah, ada beberapa kali ketemu kumpulan rumah, dan kadang ketemu warung. Nanti jika sudah tiga jam berjalan, saya akan bisa melihat nun di kejauhan kaki lembah tempat sawah dan ladang kami berada. Kaki yang terasa diganduli besi bulat, te

Memeluk Senja (6)

 Pada akhirnya, betapapun suka kita pada suatu hal, ada akhir untuk segalanya.  Mama menyukai momennya berada di lingkungan pengurus PKK Kabupaten. Hidupnya kini riuh dengan berbagai agenda. Penuh dengan harapan akan kebaikan dan perkembangan perempuan di kampung kami. Kalau diresapi, 10 program pokok PKK itu sungguh luar biasa.  Mari kita lihat, poin pertama adalah Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Ini adalah bidang yang luar biasa. Jika butir-butir pancasila dihayati dan diamalkan oleh setiap warga negara. Sungguh akan keren sekali. Dalam prakteknya, mama dan temannya beneran menggali setiap value yang ada di Pancasila, dan disampaikan kepada tiap perempuan di pertemuan-pertemuan rutin PKK. Well, memang tidak mudah, dan merupakan sebuah perjalanan panjang. Tapi bukankah ketekunan kelak pasti membuahkan hasil.  Kemudian yang kedua adalah, Gotong Royong. Gotong royong adalah istilah yang akrab bagi warga desa. Tapi makin kesini, makin berat perjuangan mempertahankan perkara gotong

Memeluk Senja (5)

 Rutinitas adalah hal yang menakutkan di satu pihak. Ketika ritme keseharian sudah demikian menyatu dengan fisik, rutinitas menjadi bahaya jika diganti mendadak. Saya mencemaskan mama yang sepagian sudah sibuk dengan persiapan mengajar. Lalu menghabiskan waktu berputar di dunia pendidikan. Namun lebih dari aktivitas rutin, saya lebih mencemaskan proses berpikir yang terhenti.  Ketika mama menjadi kepala sekolah, mama menghadapi banyak tantangan. Mulai dari mengelola manajemen sekolah, membuat strategi-strategi, berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, menjalin komunikasi dengan pemerintahan desa, bekerjasama dengan komite sekolah, dan juga menjalin komunikasi dengan semua wali murid. Belum lagi apabila ada hal yang di luar dugaan. Seperti sekolah yang runtuh karena gempa besar. Mama mendadak menjadi seorang yang merancang visual sekolah, lalu menceritakannya agar kontraktor bisa menerjemahkan bentuknya. Oh ya, proses memilih kontraktor itu juga sebuah tantangan sendiri. Belum lagi men

Memeluk Senja (4)

Image
Catatan:  Ini bagian keempat dari kisah pensiunnya mama saya. Sebuah perjalanan yang bermakna bagi mama, dan juga saya.  Bahkan kakek menyiratkan rasa tidak percaya. Berulangkali ia meminta putri sulungnya itu mengecek kembali lembaran pengumuman. Itu adalah sebuah lembar informasi penting yang memuat penempatan guru SD di periode itu. Tetapi mama tidak keliru, nama desa yang asing itu kini telah terpatri di benaknya. Sebuah pemahaman menyapanya akrab. Bahwa di manapun ia bertugas, tempat itu akan menjadi tempat spesial baginya. Sebab disanalah ia akan memulai langkah resmi pertamanya sebagai guru. Sebelumya mama telah mengajar part time di sebuah madrasah tsanawiyah.  Kakek, yang juga pegawai negeri, sestinya mahfum perkara penempatan ini. Kakek adalah guru agama yang berpindah-pindah tempat entah berapa kali. Beliau patuh pada segala instruksi mutasi yang diberikan. Jadinya mama tidak pernah tumbuh besar di kampung halaman. Melainkan ikut berpindah tempat sesuai penempatan kakek. Aka

Memeluk Senja (3)

Image
Di desa nun jauh di pinggang gunung, tidak banyak hal baru yang terjadi. Kalah subuh tiba, penduduk desa menyahut panggilan azan subuh. Lalu kemudian sarapan sekadarnya, dan berderap menuju ladang. Sementara itu kanak-kanak akan menempuh jalan rumput yang berembun, menuju sekolah. Tidak jarang, sebagian mereka sampai di sekolah dengan sepatu berlumpur dan rok penuh serpihan belukar.  Di desa itu tidak banyak orang luar yang datang. Terutama karena akses jalanan yang tidak mudah. Jalan kecil itu berbatu-batu sebesar kepalan tangan. Belum lagi jalanan menanjak yang seakan tidak ada habisnya. Ini sebabnya ketika ada guru sekolah yang datang dari tempat yang jauh, kehadirannya menjadi sesuatu yang spesial.  Demikian pula mama ketika pertama kali datang ke tempat mengajarnya yang pertama. Berada di desa yang jauh membuat mama berjuang mencintai segala yang ada di desa tersebut. Termasuk ikut terlibat dalam segala urusan sosial masyarakat. Segera saja mama mengaji di masjid. Untungnya sejak

Memeluk Senja (2)

Image
Ngelanjutin cerita  kemaren  tentang mama yang mau pensiun. Sebenarnya mama pensiun saat putri pertama saya udah lahir. Saat mama pensiun usianya setahun lebih dikit. Meskipun ada cucu sebagai teman bermain, namun kami tidak pernah menjadikan kegiatan mengasuh cucu sebagai opsi menjalani masa pensiun. Simply karena ya engga pada tempatnya saja. Mama perlu punya ritme hidup yang sesuai dengan usianya. Sementara anak saya merupakan tanggung jawab saya yang tidak sebaiknya dilimpahkan begitu saja ke mama. Main sama cucu boleh, tapi ya sekadar main begitu saja.  Dan kelak akhirnya memang begitu. Saat mama bersama kami, bude pengasuh yang memandikan dan mengurus makan pagi anak. Lalu setelah rapi, baru deh main sama neneknya. Pun nanti siang saat tidur siang juga begitu, demikian juga sore, hingga saya pulang bekerja. Segala keperluan anak-anak diurus bude pengasuh. Mama mengawasi dan bermain saja.  Nah balik ke pensiunnya mama. Akhirnya mama pensiun. Mama mengakhiri perjalanan mengajarnya

Memeluk Senja

Image
Sungguh tidak terbilang berapa menit sudah kami habiskan untuk ngobrolin perkara yang satu ini. Sebab kedua pihak sama-sama sepakat bahwa ini adalah hal penting yang butuh dibahas saat ini juga. Dan yang lebih penting lagi, dibahas dengan menyeluruh, mendetil dan serius. Segitu penting makna obrolan ini hingga saya saat itu banyak sekali meluangkan waktu dan pikiran. Rasanya bahkan untuk urusan pernikahan saya, kami tidak ngobrol seintens ini.  Kali ini beneran serius, sebab beberapa bulan lagi mama akan pensiun.  Whoaaa.. ini merupakan kejadian yang besar. Mama dalam benak saya adalah sosok yang rapi sejak pukul tujuh pagi. Dulu ketika mama masih muda, saya mengenang mama menyasak rambutnya di kala pagi. Saat itu memang lazimnya guru-guru berkonde rapi. Maka pemandangan mama menyasak rambut, adalah situasi sehari-hari yang normal. Lalu ketika mama udah pakai jilbab, ya saja. Mama tetap udah rapi sedari pagi. Dengan baju dinas yang tebal dan sepatu hitam bertumit tinggi, mama melangkah

Ketika Tidak Butuh dan Tidak Pengen

Setidaknya sekali sebulan, saya akan membelikan anak-anak buku bacaan baru. Terutama saat bahan bacaan sudah habis, dan buku yang ada sudah dibaca berulang-ulang hingga hafal banget jalan ceritanya. Sesekali kami sekeluarga menunggu buku lanjutan sebuah cerita yang berkait. Atau tanpa ekspektasi melenggang ke toko buku, lalu mengamati buku baru apa yang ada.  Dulu ketika anak2-anak masih balita saya membelikan mereka banyak sekali buku bergambar. Favorit pertama saya adalah buku round a clock. Buku kesukaan ini merupakan buku yang halaman demi halamannya menampilkan lokasi yang sama. Hanya saja berbeda waktunya. Salah satu bukunya menampilkan setting sebuah kebun binatang. Halaman pertama menampilkan suasana sepi. Hewan-hewan masih tidur, beberapa terlihat menguap. Ada beberapa petugas kebersihan yang mulai bekerja. Toko es krim masih tutup, demikian juga dengan loket penjualan tiket. Jam bergerak terus, kini para hewan telah bangun. Petugas makin rame, ditambah berbagai persiapan menj

Hal Sederhana yang Bisa Panjang Urusannya

Kesininya, saat anak-anak sudah beranjak remaja, saya mengurangi jawaban spontan. Pertanyaan-pertanyaan sederhana dari anak-anak, bisa jadi pemicu lahirnya banyak pertanyaan-pertanyaan lain. Daun surian misalnya. Saya menanam daun surian ini terutama karena mama dan kenangan. Mama sangat suka memasak singgang belut. Singgang mengacu pada teknik mengolah makanan asal Sumatera Barat. Jika diproses dengan cara singgang bahan-bahan masakan disiapkan lalu dibungkus rapi dalam daun pisang. Bungkusan singgang itu ditaruh di wajan, atau panci bertutup, atau teflon, dan dimasak dengan api kecil. Ia zonder minyak goreng. Singgang ikan sederhana hanya memerlukan potongan ikan, cabe yang dihaluskan dengan sejumput garam, dan irisan bawang merah yang banyak. Ikan dan teman minimalisnya itu kini tinggal dibungkus daun pisang dan ditaruh di tas kompor begitu saja. Rasanya akan menakjubkan karena hanya rasa manis ikan, pedas cabe dan aroma bawang berpadu daun pisang. Sebuah rasa yang sederhana dan men

Perjalanan Singkat

Berawal dari pandemi yang salah satu dampaknya adalah anak-anak sekolah secara online. Kedua putri saya, yang biasanya meninggalkan rumah pukul 6 pagi, kini gegoleran aja di rumah. Jika biasanya jam 6 lewat 10 menit, mereka akan berada di lingkungan sekolah yang sejuk. Karena sekolahnya anak-anak punya banyak pohon besar, punya taman-taman yang luas, dan satu komplek dengan danau lumayan luas. Jangan tanya berapa banyak asupan oksigen yang mereka dapatkan. Juga betapa nyaman suasana yang mereka dapatkan. Setelah bermain sebentar, mereka akan berjalan bareng-bareng menuju masjid, lalu sholat dhuha berjamaah. Lantas meskipun setelah itu mereka akan sibuk belajar, tapi saya tahu mereka punya banyak waktu bermain. Saya tahu itu. Terlihat jejak tanah di rok dna kemeja putih, juga serpihan rumput di kaos kaki dan sepatu. Mereka juga akan bercerita dengan riang gembira tentang bermain di pinggir danau, atau berseluncur menuruni tebing berumput.  Pohon-pohon besar di sekolah anak-anak seringka

Pekerjaan yang Hilang

Apabila di perjalanan, saya lebih sering terbawa lamunan. Sembari mengamati pemandangan di sepanjang jalan,.pikiran jadi melayang kemana-mana. Bisa jadi karena hanya berstatus sebagai penumpang yamg duduk manis belaka. Saya tidak perlu memikirkan rute, exit tol, dan juga indikator bahan bakar. Sepenuhnya bisa menyerahkan diri pada lompatan-lompatan pikiran.  Mbak dan mas petugas di pintu tol, adalah pihak yang paling sering saya pikirkan.  Bagaimana cara mereka berangkat kerja?  Jika mereka bawa kendaraan sendiri, lalu diparkir dimana?  Sesunyi apa kerjaan yang ramai secara suara tapi terasa senyap sebab tidak ada kawan berbagi cerita?  Mereka makan siangnya gimana?  Jika istirahat ngapain aja? Semua pertanyaan itu selalu hadir di keplaa setiap kali saya melalui gerbang tol. Tapi yaa.. karena saya tidak pernah turun dan bertanya langsung, segala tanya itu hanyalah pusaran pertanyaan tanpa jalan keluar. Saya akan memikirkannya sejenak, lalu sibuk menerka-nerka. Akan tetapi di belokan ja

Pulang ke Rumah

 Tadinya malam ini mau lanjut nulis tentang belajar analis bareng anak-anak jelang remaja ini. E tapi lihat notif facebook, tentang postingan KLIP. Postingan tim KLIP kali menyinggung tentang rumah. Dalam konteks ini, rumah adalah tempat kita menemukan kedamaian. Terus ada ajakan ngobrol tentang buku apa yang membuatmu serasa pulang ke rumah.  Saya jadi terhenti sejenak. Seraya memikirkan buku mana yang membuat saya seketika menemukan kedamaian. Saya lalu dilanda kesulitan yang mendadak.  Ingin rasanya menyebutkan karya Eiji Yoshikawa, "Mushasi" atau Kisah Batas Air. Sebab ia sukses membawa saya berkelana ke sejarah yang menarik di negara lain. Saya terpesona betapa kisah yang sedemikian panjang itu membuat saya betah membacanya. Sejauh ini Mushasi adalah buku paling tebal yang ada di lemari buku. Dan hanya dua kali saya sukses membacanya dari awal hingga akhir. Tapi setelah dipikir, saya engga nyaman juga membacanya. Sebab ada adegan-adegan yang mengerikan untuk dibayangkan.

Get Stronger

Setelah hari ketiga tanpa tidur,ada yang menggerogoti badan saya diam-diam. Entah mana yang lebih kuat. Kelelahan atau kecemasan. Saya capek mengurus makan dua orang yang tidak mau makan, memastikan pakaian dan seprainya nyaman dan bersih, juga memastikan obat sudah dimakan sesuai jadwalnya. Kedua yang sakit merupakan dua pihak yang paling lemah di rumah kami, yaitu mama dan bayi. Berawal di suatu malam saat mama mulai sakit, dan berbarengan bayi pun demam pasca imunisasi. Berhubung bayi udah jelas penyebabnya, maka tinggal mama yang saya bawa ke dokter dengan tergesa. Keduanya adalah pasien yang sungguh tidak bisa pake self medication. Satunya karena udah lansia, satunya ya karena masih bayi.  Saya lalu berlarian kesana kemari mengurus berbagai hal bersamaan.  Lalu Ifa, putri kedua saya juga ambruk. Pasien bertambah. Ifa meringkuk di samping saya, tidak mau makan apa-apa. Juga kesulitan menelan obatnya.  Bertambah pula kelelahan yang menerpa saya. Demikian juga kecemasan. Rasanya anda

Simpul yang Hilang

Dalam proses berpikir analitik, tahapan awalnya adalah mengumpulkan informasi. Pada kisah Apa yang mengupayakan pemijahan ikan mas di depan rumah kami, ada proses yang menarik. Pertama-tama, Apa belajar teknik pemijahan ikan pada seorang guru, dibarengi dengan membaca berbagai literatur terkait. Saya ingat waktu itu di rumah kami ada banyak buku tentang perkembangbiakan ikan. Mulai dari pengetahuan tentang organ reproduksi ikan, hingga ke segala tabiat ikan dibahas mendetil. Itulah momen saat saya benar-benar memahami seluk beluk ikan mas. Terus setelah paham ilmunya, Apa lalu mempersiapkan prakteknya. Yang ternyata engga segampang memindahkan ilmu ke tahap tindakan belaka. Sebab ada banyak hal yang terjadi di lapangan. Perlu penyesuaian pH air, ijuk yang steril dan sejumlah kaidah yang tidak bisa dianggap remeh. Setelah segala sesuatu diterapkan persis seperti buku, tetap ada banyak hal di luar ekspektasi. Ya namanya saja berurusan dengan makhluk hidup, tentu saja engga bisa kita kont

Analisa yang Mandeg

Selain punya dua guru berharga tentang menganalisa sesuatu, sebenarnya ada banyak kejadian lain di masa silam yang mendidik saya untuk mampu menganalisis.  Saalh satunya adalah ketika saya masih berusia lima tahun. Saat itu kami baru saja pindah mengikuti tugas mutasi mama. Kami yang biasa bermandikan terang listrik, mendadak memasuki kegelapan. Literally gelap, karena desa  baru kami itu belum dialiri listrik. Bahkan akses jalan ke desa itu masih jalanan berbatu-batu besar sebesar kura-kura. Di malam senyap pertama itulah, saya mendengar suara "uhu" yang seram. Saya menciut ketakutan. Demi melihat saya yang diliputi rasa takut, alih alih memeluk, Apa malah mengambil senter. Kemudian beliau mengajak saya keluar rumah. Saya jeri tapi sekaligus tertarik. Sejurus kemudian, kami sudah melangkah di bawah naungan daun-daun gelap. Cahaya bulan tidak ada malam itu. Demikian juga gemintang seolah kompak menyembunyikan diri di balik awan tebal. Lalu suara itu datang lagi, kali ini bers