Naik Tingkat

Rumah sunyi senyap. Ayahanda yang sedang sakit, berbaring di kamar sendirian. Saya sendirian di dapur, mengemasi piring dan sendok. Satu persatu piring lebar itu saya bungkus dengan plastik dan menyimpannya di lemari. Entah kapan peralatan sebanyak ini akan terpakai lagi. Uda, yang baru beberapa hari  bergabung sebagai menantu di rumah ini, juga sibuk beberes di ruang depan.

Saat itulah bumi berguncang. Bukan hanya sekadar metafora, namun rumah sempurna berayun kencang seiring dengan kerangka rumah berderak hebat. Saya terhuyung, lepas sudah piring di tangan. Dalam kekagetan itu, saya hanya teringat pada apa. Apa adalah panggilan saya untuk ayahanda. Untungnya uda juga berpikiran sama. Berdua kami berjuang melangkahkan kaki menuju kamar apa. Ini tidak segampang biasanya, mengingat badan kami terhuyung ke kiri dan kanan, mengikuti ayunan lempeng bumi. 


Apa telah duduk di kasurnya, wajahnya penuh rasa cemas. Saya dan uda memeluk apa, dan memapah beliau keluar rumah. Apa lalu memandu kami membaca laa ila ha ilallah, terus sampai kami berada di teras. Bahkan kami tidak berhenti menyebut nama Allah ketika sudah berada di luar rumah. 


Kami bertiga, berpelukan sementara bumi terhuyung. Seraya menatapi rumah gadang di depan kami yang juga berayun hebat. Struktur tiang rumah gadang yang ditempatkan di atas bongkahan batu membuatnya flexible. Rumah beratapkam ijuk itu berayun sesuai irama bumi. Dan sekaligus terlihat mengerikan.


Ketika gempa dahsyat itu usai, suatu kesadaran lain menghantam kami bertiga. Ini jauh lebih mengerikan. Pemahaman bahwa mama berada di kota Padang, karena tengah mengikuti suatu seminar. Sementara kota Padang telah luluh lantak. Uda segera pergi mencari mama, di tengah putusnya jalur komunikasi dan transportasi. Butuh waktu lama hingga uda kembali ke rumah membawa mama. Dan mama membawa cerita yang membuat kami terenyuh. Traumatis tapi kita perlu terus berjalan.


Apa, saya dan uda segera move on, tapi tidak bagi mama. 

Gempa meninggalkan pekerjaan berat yang sama sekali baru. Ketika mama pergi ke sekolah, sebagian gedung sekolah telah ambruk, dan sisanya tidak layak lagi ditempati anak-anak. Kabar baiknya dinas pendidikan menyanggupi rehabilitasi total sekolah mama. 

Semua.

Sejak dari pembangunan pondasi sekolah, hingga finishing bangunan. Tantangannya, mama terpaksa menerima amanah baru berupa perancang gedung sekolah sekaligus kepala tukang. Bantuan renovasi itu dengan syarat bahwa kepala sekolah akan bertanggung jawab penuh. Karena segala dana akan diaudit, maka mama terjun langsung ke lokasi tiap hari. Memastikan agar tukang mengerjakan persis seperti gambar awal, dan agar tiap dana pemerintah tidak melenceng penggunaannya. 


Mama segera belajar jenis kawat, kayu, paku dan segala hal tentang konstruksi. 

Ini merupakan materi yang tidak didapat dari mentor mama. Pun juga belum pernah ada kepala sekolah SD yang terjun langsung mengurus pembangunan sekolahnya. Meskipun demikian, mama tidak gentar berhadapan saat briefing dengan tukang, menjelaskan ke komite sekolah dan saat sidang dengan dinas pendidikan tentang laporan pembangunan sekolah. 

Kisah mama itu menjadi pembelajaran bagi saya, bahwa terkadang hidup membawa kita pada pengalaman baru. Mungkin ketika di perjalanan, kita bisa jadi bertambah peran, atau mungkin ganti haluan. Walaupun kaget, bingung, atau lelah, tapi kita perlu percaya bahwa barangkali itu cara yang istimewa agar kita bertambah ilmu. Dengan begitu kita bisa mengerahkan segenap kemampuan. Kelak, ketika semuanya usai, kita pun telah naik tingkat.

Insya Allah

🌷Yesi Dwi Fitria🌷

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga