Bak Minum Air Laut

Tulisan 7 dari 10. Belajar menulis fiksi.


Hujan turun terlalu deras semalam. Para pemilik toko di sepanjang terminal telah bersiaga sedari hujan pertama turun. Mengingat tempo hari, hujan telah memasuki toko lebih dari mata kaki. Padahal jejeran ruko ini telah lebih tinggi satu meter dari terminal. Kali ini, hujan turun lebih deras dari sebelumnya. 

Aku cemas akan barang-barang di dalam toko. Cemas akan air yang akan menyerbu masuk dari arah depan, dan juga kemungkinan atap yang bocor. Buku-buku yang ada di sini tidak akan bertahan pada hamburan air coklat sarat tanah dari pegunungan itu. Ataupun tampias hujan dari sana sini. Mereka rentan sekali. 

Di tengah badai itu kuputuskan untuk menyeduh kopi yang kental. Betapapun kantuk datang, aku harus bertahan. Terlalu mahal harga yang harus kutanggung jika sampai ketiduran saat banjir menerjang. Kunikmati kopi pahit ini dengan rakik kacang, yang diantarkan Pak Lami sore ini. Bungkusan terakhir di pekan ini, katanya, karena semua rakik buatannya beberapa hari terakhir akan dikirimkan ke kota lain. 

Hujan makin lebat, gemuruh suaranya mendominasi malam. Aku bahkan gagal menyimak suara rakik yang pecah di geraham palsuku. Di tengah riuh rendah itu, aku malah mengingat Syam. Ia terjebak hujan bersamaku, suatu hal yang tidak disukainya. Karena banyak hal yang bisa ia lakukan dalam sepenggal waktu berteduh. Sepanjang menanti hujan reda itu, Syam bercerita tentang impiannya. Matanya berbinar dan tangannya sibuk bergerak-gerak. Aku menyimaknya, bukan karena idenya yang luar biasa. Tapi bulu mata lentik itu yang menahanku agar tekun menyimak setiap patah kata dari Syam. 

Waktu itu butuh waktu lama agar hujan benar-benar reda. Tapi tidak butuh waktu lama bagi Syam untuk berlari mengejar impiannya. Tentu saja aku tertinggal di belakangnya. Seorang pemuda yang lagir di peternakan sapi, tidak akan pernah siap dengan pertarungan yang dilakukan Syam. 

Butu berpuluh-puluh kali hujan menyirami bumi, agar aku kembali bertemu Syam. "Tidakkah kamu seperti meminum air laut?" Ujarku dalam idiom khas budaya Syam. Syam terperangah. Itu pertama kalinya ia benar-benar menatap mataku. Jiwanya luruh bersama keheranan yang menerpa wajahnya. 


#MINUM

#WRITOBER2021

#RBMENULISIPJAKARTA

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga