Mudik, Cinta dan Children Oriented

 Mudik itu berat. Dilihat dari sisi mana aja, tetap saja banyak daftar kesusahannya dibanding keseruannya. Pulang kampung bagi keluarga kami hanya memiliki dua opsi saja. Apabila dengan pesawat, maka ada konsekuensi tidak punya kendaraan buat mondar mandir di kampung. Ini jauh lebih pelik ketimbang mikirin ongkos pesawat yang tentu saja amat muahal di masa-masa mudik. Sebab di saat lebaran itu, juga terkandung kesempatan silaturrahim. Di kampung kami yang berada di kaki gunung, kendaraan pribadi menjadi crucial adanya. Tanpa kendaraan sendiri, palingan hanya bisa mengunjungi tetangga dan sanak saudara yang berada di satu kecamatan. Padahal daftar yang wajib dikunjungi sebenarnya panjang pake buanget. 


Itu sebabnya kami sekeluarga jadi cenderung pada opsi kedua, yaitu mudik via jalur darat. Ini bermakna, kami mengemasi barang ke mobil, dan bersiap melaksanakan perjalanan dua hari. Kami akan melintasi Jalur Lintas Sumatera, setelah sebelumnya menyeberangi selat Sunda dengan menggunakan ferry penyeberangan. Naik ferry sendiri biasanya butuh waktu hampir dua jam. Nah begitu di lintas Sumatera, ada beberapa opsi jalur yang bisa diambil. 


Tentang mudik ini saya dan suami tentu saja siap lahir batin. Atas nama cinta yang menggumpal kental, segala kesusahan di jalan akan terasa sederhana saja. Atas bayangan ngumpul-ngumpul seru bersama segenap keluarga besar, segala kantuk lelah diabaikan begitu saja. Kangen pada suasana kampung halaman, rindu bertemu sahabat lama, dan tentu saja yang utama bakti pada orang tua. Segalanya berpadu membentuk semacam baju tebal yang membuat kami kebal pada kesusahan di jalanan. 


Tapi anak-anak engga begitu. Sebagaimana namanya anak-anak, dunia mereka berputar di sekeliling orang tua saja. Dimana orang tua berada, disanalah letak cinta mereka. Maka mudik dan segenap perjuangannya bukanlah sesuatu yang bisa mereka pahami dengan mudah.


Anak-anak yang lahir di perantauan, tidak punya kenangan pada perempatan di pekan, pada langgar, pada tepian sungai atau pematang sawah. Mereka tidak punya bonding dengan para tetangga yang memiliki jambu berbuah lebat. Pun bagi mereka dunia seru ada dalam pengertian sendiri. 


Itu sebabnya saya menjalani mudik yang serba children oriented. 

Comments

  1. Setuju banget dengan tulisan bunda : "anak-anak, dunia mereka berputar di sekeliling orang tua saja" kemanapun mboknya pergi pasti ngekor. Hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga