Cinta Pertama Ternyata Biasa Saja
Pertigaaan itu senantiasa ramai, bahkan di kecamatan kecil yang penduduknya hanya segelintir itu. Sebabnya di sanalah pintu masuk ke desa-desa di bawah gunung, dan di sana juga terletak sekolah-sekolah menengah. Di sana para penduduk yang menuju kota, duduk menunggu angkutan pedesaan, yang biasanya lewat selang tiga jam sekali itu. Pertigaan itu pada jam berapapun, tetap juga ada orang melintas.
Di pertigaan itu saya berdiri lama. Saya bersandar di tiang kehitaman, yang menopang bangunan kayu tempat penjual jengkol tinggal. Pertigaan itu ramai seperti biasa. Di dekat warung kopi sana, sayup-sayup terdengar berita gosip yang mengabarkan artis ibukota. Berhubung saya tidak menonton sinetron, dan jadi tidak kenal artis, maka suara penyiar infotainment itu pun mengambang begitu saja.
Saya menunggu mobil angkutan yang menuju ke atas, arah yang butuh kesabaran berlipat saat menunggu angkutan. Kadang ia datang setelah beberapa menit, kadang butuh dua atau tiga jam menunggunya. Itu pula sebabnya, kalau tidak terlalu lelah, saya sering berjalan kaki menyusuri jalanan menanjak seorang diri.
Seorang sahabat baik, di awal masuk SMA sudah pernah berkata. "Kenapa tidak diterima saja si A itu, ia serius sayang padamu. Memang ia hanya anak petani, tapi pacaran pertama kali tidak usah terlalu memilih. Ntar kalau ngga suka bisa diputusin saja." Sayangnya kalimat itu diucapkan oleh sahabat baik yang saya tidak suka menyakiti hatinya. Atau mungkin saya yang terlalu baik, sampai tidak tega membalas ucapan. Bahwa tidak pacaran ini bukan karena yang naksir itu anak petani. Apa hubungannya. Toh saya juga anak petani. Tapi yaaa... Segala bantahan itu hanya terangkum dalam seulas senyum. Lantas si sahabat ini bilang lagi. "Kalau punya pacar, khan bisa jalan bareng pas pulang sekolah."
Huwoooo...
Justru itu kawan, pacaran lalu pulang bareng jalan kaki adalah big NO. Saya bisa dilarang pulang selamanya jika sempat-sempatnya melakukan itu di masa sekolah. Ajaran keluarga terlalu bertentangan dengan bayangan jalan bareng semacam itu. Hiks..
Tapi di situlah saya, di pertigaan yang ramai, bersandar pada tiang hitam.
Mata menerawang tanpa arah tapi sejatinya hati berdebur tak terkendali. Rasanya badan goyah sementara dentuman di dada tidak mau diam. Raga seolah mengawang dalam kabut terbalut sulur bahagia yang tidak jelas ujung pangkalnya. Sedang jiwa berkelana ke dahan-dahan yang indah tidak terkira. Saya limbung dan cemas bahwa tiang rapuh itu akan gagal menampung badan yang limbung ini.
Di pertigaan yang ramai, saya tersingkir sepi. Karena nun di sana, cinta pertama saya melintas tanpa saya pernah bisa bilang bahwa saya suka padanya.
Lalu waktu berlarian jauh.
Cinta pertama itu hanya menetap di hari selama beberapa pekan saja. Lalu saya lupa. Karena di sekolah saat itu terlalu banyak kejadian yang menarik. Juga terlalu banyak impian yang menyita pemikiran. Lalu saya terpikir, jangan-jangan memang begitu saja bentuknya cinta pertama itu. Sesuatu yang datang melintasi hati, mengguncangnya dengan dahsyat lalu pergi tanpa sisa. Sebab seorang yang begitu menggoyahkan jiwa saat itu, lalu menjelma jadi sosok yang biasa saja. Andai ia entah kenapa menulis sepucuk surat cinta, saya bisa pastikan bahwa saya akan menulis balasan berisi basa basi singkat yang intinya menolak uluran tangannya.
Hingga suatu hari saya membaca status teman lama, si A yang dulu dibahas sahabat karib. Si A yang pernah saya abaikan sejadinya. Ia menulis tentang saya, bahwa saya adalah cinta pertamanya yang kini mencintai orang lain sebegitu dalamnya, dan ia terluka olehnya. Duhai.. bahkan kesan cinta di masa remaja bisa sedemikian dalam.
Lalu saya terpikirkan pada dua anak gadis jelang remaja ini. Apakah ia kelak akan jatuh cinta juga, pada seorang di pertigaan?
Comments
Post a Comment