Lilin dan Kesibukan pada Shaf Paling Belakang
Ada beberapa penggalan kisah hidup saya yang tidak patut dibanggakan. Hiks..
Salah satunya terkait lilin kecil warna warni yang biasanya marak dijual saat bulan Ramadan.
Di kampung kami, yang jauh di lereng gunung, masjid merupakan pusat aktivitas warga bila Ramadan tiba. Masjid kami yang biasanya senyap akan dipenuhi oleh segenap penduduk desa. Semuanya turun ke masjid, mulai dari kakek nenek sepuh hingga bayi dan balita. Terutama di malam hari. Karena sehabis berbuka dan sholat magrib, warga berduyun-duyun mendatangi masjid Mujahidin.
Masjid ini menempati posisi spesial di kenangan saya. Sebab masjid kala Ramadan tiba, akan penuh dengan cahaya. Tidak hanya lampu masjid yang dinyalakan semuanya, tapi juga ada cahaya lilin-lilin kecil di area belakang masjid.
Entah bagaimana ia bermula, namun lilin mungil yang lebih mungil dari jari balita itu, telah menjadi bagian dari semaraknya bulan Ramadan. Tiba-tiba saja banyak warung yang menjual lilin dan kembang api. Dan kami sebagai kanak-kanak yang riang gembira akan mengunakannya sebagai pelengkap keseruan malam Ramadan.
Di sinilah kisah tak elok itu bermula.
Apabila imam telah menuntaskan sholat isya dengan membaca salam, sontak anak-anak akan sibuk berbisik menanyakan tentang lilin. Kami lantas sibuk menyalakan lilin di belakang masjid. Biasanya tak lupa pula kami membawa tempurung kelapa yang telah dibersihkan. Tempurung itu berguna untuk wadan lilin. Lilin-lilin itu ditaruh di dalam tempurung sebelum dinyalakan. Dengan demikian lelehan lilin tertampung dengan sempurna dan bisa disimpan untuk mainan di malam berikutnya.
Ketika tausiah dan segala pengumuman di mimbar telah usai. Imam pun bersiap melaksanakan sholat tarawih. Kami kanak-kanak yang riang gembira, menyimpan tempurung yang kini penuh lelehan lilin berbagai warna. Malangnya ada beberapa ketika, saat kami para bocah melewatkan sholat tarawih dan kembali bermain. Hiks..
Tiap kali mengenang masa kecil di masjid Mujahidin, tak ayal saya menghela nafas. Saya tidak bisa bangga dengan sejarah sholat tarawih saya.
Di masa sekarang, saya seringkali diliputi rasa syukur melihat anak-anak yang senantiasa berada di sajadahnya selama di masjid. Mereka tidak bersuara jika tak perlu sekali. Itupun dilakukan dengan berbisik. Karena saya berulangkali membicarakan bahwa masjid adalah rumah ibadah. Bahwa setiap tindakan kita berpotensi mendukung khusyuknya ibadah orang lain dan juga berpeluang merusak ketenangan jamaah. Anak-anak menerima nasehat saya dengan sempurna. Mereka taat sepenuhnya pada rangkaian adab di masjid. Apabila mereka terasa lelah dan tidak yakin akan sanggup duduk khusyuk, mereka lalu minta ijin untuk sholat di rumah saja.
Itu sebabnya ketika kami pulang kampung, dan anak-anak lalu berjumpa para sepupunya. Saya membiarkan mereka memainkan lilin dan kembang api sepuasnya.
Comments
Post a Comment