Iman yang Berbungkus Takwa
Kemaren malam, saya mengikuti acara tahlilan mendiang Ibu Syofyani Yusaf, di Taman Ismail Marzuki. Almarhumah adalah maestro seni yang berdedikasi dan berjasa mengembangkan budaya Indonesia. Sehingga sederetan penghargaan pernah diterima beliau. Tari legendaris khas Minang lahir dari jiwa seni beliau, seperti Tari Piring, Tari Pasambahan dan Tari Payung.
Nah kali ini saya hendak menceritakan sepenggal catatan di masjid Amir Hamzah tempat acara berlangsung. Masjid yang berlokasi di kompleks Taman Ismail Marzuki ini memang sedari dulu berkolaborasi dengan Sanggar Tari Syofyani, dalam melestarikan tari tradisional.
Setelah acara tahlilan dan mengenang karya almarhum Ibu Syofyani, jam dinding di masjid masih menunjukkan pukul lima sore. Masih jauh dari jam berbuka puasa. Peserta acara yang merupakan kerabat dan keluarga besar sanggar telah berkumpul dan mengikuti acara dengan takzim. Di luar masjid, hidangan berbuka puasa telah dihidangkan dengan rapi.
Untuk mengisi waktu, ustadz dari masjid Amir Hamzah memberikan materi pengajian. Beliau menyampaikan bahwa iman sesungguhnya memiliki pakaian, yaitu takwa. Takwa sendiri bermakna hati-hati. Hati-hati dalam berucap agar jangan sampai menyakiti hati pihak lain. Juga hati-hati dalam bertindak agar kita jangan sampai merugikan orang lain. Kemudian iman juga ada perhiasannya yaitu rasa malu. Rasa malu ini yang membuat kita bisa memiliki akhlak mulia. Kemudian kesemua unsur tadi itu hendaknya dituangkan dalam bentuk karya. Karya ini adalah pengabdian kita pada masyarakat. Bahwa manusia yang sudah punya iman, bertakwa dan beraklak mulia perlu keluar rumah dan melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi orang banyak.
Ceramah itu singkat saja. Tapi bagi saya sangat berkesan. Pertama karena pengajian dengan isi semacam inilah yang dulu saya dengarkan di masjid di kampung saya. Dulu materinya tidak jauh-jauh dari menguatkan iman, dan mengasah akhlak agar semakin baik. Saya merasa lebih sesuai dengan ceramah semacam ini.
Lalu poin yang disampaikan terasa mengena banget. Betapa jaman sekarang terlalu mudah kita beropini atas nama kebebasan berpendapat. Hingga kita bisa saja kebablasan dan lupa tentang kadar ketakwaan kita.
Hikss..
Ini sungguh kultum yang menampar. Bahkan ketika segelas es buah sudah melewati tenggorokan, diikuti tekwan, cilok dan dimsum.. materi ceramah tadi masih terngiang di kepala.
Comments
Post a Comment