Kartu Lebaran
Tiga buah kartu itu membuat saya terpesona, sampai tidak tahu berapa lama saya menggenggamnya. Sapuan warna abstak yang kuat, menjadi latar goresan kaligrafi yang tegas. Tulisan itu sendiri berbentuk masjid yang indah. Saya jatuh cinta sekaligus kepada paduan warna, garis yang indah dan keseluruhan bentuk yang menakjubkan. Itu adalah kartu-kartu lebaran yang dibuat oleh guru kaligrafi saya, Bapak Muhammad Fathir Yasin. Terbersit rasa tidak rela mengirimkan kartu itu. Hiks . Rasanya pengen disimpan saja sebagai kenangan. Soalnya kartunya terlalu indah, malah bisa masuk ke kategori benda koleksi.
Meski beneran ngga rela, tetap saja pada akhirnya saya mengikhlaskan kartu itu. Sebab percaya bahwa yang menerimanya juga akan menyukai kartu tersebut.
Setelah itu, bagi saya kartu-kartu lebaran lain terasa biasa saja. Ia tak lebih sebagai penghantar ucapan selamat hari raya dan ungkapan kerinduan singkat pada penerima. Juga berisi ucapan maaf dan saling merelakan. Betapapun indahnya gambar di kartu, saya masih saja terikat pada kartu bertuliskan kaligrafi milik pak Yasin. Mungkin ini subjektif, karena saya sangat kehilangan. Tidak menyangka bahwa pak Yasin akan segera berpulang.
Itu pula kiranya saya selalu menganggap kartu lebaran sebagai paradoks. Penyampai kabar gembira sekaligus pengingat akan kehilangan.
Tradisi mengirimkan kartu ini terus berlanjut hingga saya di pertengahan kuliah. Lalu berhenti.
Karena ponsel sudah mulai lazim dimiliki oleh mahasiswa jaman itu. Ungkapan kegembiraan hari raya berpindah ranah. Ia kini berupa untaian kata melalui sms. Saya lalu lupa, kalau dulu senantiasa membeli kartu di toko Dempo di Pasar Payakumbuh. Pesan singkat via ponsel jadi lebih mudah dan murah. Secara waktu jadi terasa lebih singkat, dan juga lebih hemat sebab tidak perlu lagi beli kartu.
Saya yang biasa menghabiskan waktu merangkai kata dan menuliskannya dengan indah, jadi merasa lebih simpel. Pesan ponsel lebih mudah dihapus. Juga mudah dikirimkan kemana-mana.
Lalu muncul era bbm, yang mengenalkan teknologi blast message.
Saya segera patah hati.
Sebab semua pesan tulisannya sama, dan dikirimkan serentak. Biasanya standar ucapannya. Diawali dengan berbagai pantun, lalu ucapan selamat dan maaf.
Saya patah hati.
Teringat dulu betapa sebuah kartu dibuat dengan sepenuh hati. Setiap warna yang dibuat merupakan pilihan warna yang spesial, dituangkan dengan jiwa seni yang kental. Lalu setelah semua warna itu settle, mulailah kalimah digores dengan pena khusus kaligrafi. Setiap goresan adalah garis yang mantap. Garis yang lahir dari kedalaman ilmu pengetahuan. Setelah proses finishing yang apik. Jadilah kartu yang indah. Di tangan pengirim, kartu itu berisikan kata-kata yang lahir dari hati. Ia dituliskan dengan perlahan dan hati-hati agar jangan keliru. Sebab tidaklah elok mengirimkan kartu dengan tip ex atau coretan. Setelah itu semua selesai, kartu itu segera berpindah tangah ke pak Pos yang lalu memastikan kartu itu sampai di tangan penerima.
Sekarang ini, di zaman android begini, saya merindukan kartu lebaran. Sebuah kartu yang sarat cinta.
Comments
Post a Comment