Sepetak Tentram
Nama lokasinya adalah Baliak Parik, jorong Sialang, kenagarian Tungka, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota, provinsi Sumatera Barat. Ia adalah sebentuk lahan berbentuk wajan. Separuhnya dikelilingi bukit yang sarat dengan kopi robusta dan kayu manis. Sementara sisi lain dipenuhi deretan sawah. Infinite. Karena di ujung sawah sebelah sana, seakan terputus, bersambungkan awan. Sebab mendadak di ujung garis swah ada turunan terjal yang dipenuhi semak belukar. Terus menurun hingga bertemu dengan jalan kecil berbatu. Pada sebentuk tanah pertanian itu, ada isolasi alami. Tidak ada yang leluasa bolak balik ke sana, karena serangkaian bukit dan persawahan itu adalah milik satu keluarga. Bahkan meski ada jalanan yang cukup untuk dilewati truk pick up, tetap saja sepenggal tanah itu tidak terusik.
Suara-suara yang terdengar hanyalah suara yang dimiliki oleh tempat itu sendiri. Suara gemercik air, yang keluar dari mata air di halaman. Juga aliran air yang perlahan menuruni bukit, dari mata air yang menyeruak di pangkal pokok kopi. Suara desau daun meningkahi suara kecipak ikan. Hanya sesekali suara elang yang melintas putus asa. Serasa mustahil mendapatkan mangsa dari ternak yang terlindung berbagai bunga di halaman yang apik.
Apa saja bisa terjadi di luar sana, tapi di sana, hanya kedamaian saja yang ada. Segalanya berlangsung teratur dan konstan. Penghuni dangau bertingkat dua dan segenap hewan ternak, bangun kala subuh dan menjalani hari dengan riang gembira. Bahkan saat badai menerpa, tidak ada yang berkeluh kesah. Melainkan hanya menunduk sesaat, lalu mendongak semangat saat segalanya usai.
Di petak tanah tentram itulah, saya pernah tinggal selama beberapa waktu.
Saat itu Apa mengusahakan perkebunan tomat, sembari memijahkan ikan mas, mengelola mina padi dan mengurus kebun kopi.
Saya sibuk luar biasa, namun tentram tidak terkira.
Sepotong kedamaian itu yang terus saya bawa kemana-mana. Bahwa bisa saja adu argumen berlangsung di sekitar kita. Pun juga ada yang menghujat dan mengukur baik buruk yang kita lakukan. Bagaimanapun ini adalah keniscayaan. Sebab kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Ketika ada yang mencela diri saya yang tidak bisa saya perbaiki, seperti keturunan dan bentuk fisik, saya akan menepi. Atau saat ada menggugat value keluarga yang kami susun dengan segala timbangan. Saya lantas akan masuk dalam kedamaian. Saya kembali ke sepetak tanah di Baliak Parik, menghela hembusan angin bersapit aroma rumput segar dan bunga kenanga.
Saya mendiamkanmu, agar saya bisa tenteram. Sebab pembicaraan kita hanya akan menghasilkan riuh belaka.
Comments
Post a Comment