Knowing Yourself, Protect Yourself and Others

 Di rumah kami, waktu itu ada dua stoples besar. Ia terbuat dari kaca yang tebal. Saya menyukai bentuknya yang silinder sempurna tanpa cela, dan tutupnya yang pas. Jika kita menaruh kue loyang (kembang goyang) maka kuenya tidak akan melempem meskipun dibiarkan dalam waktu lama. Saking kedapnya si tutup stoples itu. Selain itu saya juga suka karena ada dua stoples, rasanya aesthetic aja gitu melihat ada dua stoples di atas meja. Ketika itu kami tinggal di sebuah rumah dinas Kepala Sekolah, nun jauh di desa yang dingin dan senyap. 


Ketika insiden stoples ini terjadi, saya agaknya sedang berusia 8 atau 9 tahun. Salah satu stoples itu pecah.

Kacanya yang bening berhamburan di lantai, sementara kue loyang telah merata di seluruh penjuru rumah. Hanya tutup stoples yang saya kagumi itu yang utuh setelah berkelontang menyedihkan. 

Ada anak tetangga yang main di rumah kami, dan tidak sengaja menyenggol si stoples.

Saya terpaku awalnya. 

Lalu menangis.

Dan terus menangis hingga lama. 

Lalu tetangga kami tergopoh-gopoh ke sekolah memanggil mama agar beliau bisa mengatasi tangisan saya.

Saya ingat waktu itu mama bilang tidak apa. Stoples yang pecah bukanlah masalah. Ia hanya benda pecah belah belaka, yang memang punya dua kemungkinan. Berusia panjang atau berderai pecah di lantai. Si stoples yang malang telah menemani keluarga kami bertahun-tahun. Kini usai sudah pengabdiannya. Begitu maksud mama. 


Tangisan saya selesai.

Tapi saya masih menyimpan kejengkelan. Terutama ketika melihat stoples satunya sendirian di atas meja. Rasanya kok ada yang tidak selesai di hati.


Tetangga yang anaknya tidak sengaja memecahkan kaca, bergegas pula datang ke rumah. Dengan sungkan ia meminta maaf dan berjanji untuk mengganti. Mama berkata dengan nada yang jauh lebih serius bahwa mereka tidak perlu mengganti apa-apa. Toh itu hanyalah bagian pecah belah yang takdirnya memang suka pecah. Saya sebal sekali waktu itu. 


Nyatanya beberapa waktu kemudian, ibu tetangga yang baik itu mengantarkan stoples ke rumah kami. Stoples baru dari kaca yang keruh, dan tutup plastik merah yang tentu saja tidak kedap. Mama menolak, tapi ia bersikeras meninggalkan stoplesnya. 

Saya menatap stoples baru itu dengan pandangan bermusuhan. 


Duhai.

Lama nian waktu berlalu hingga saya memiliki karakter satu lagi, yaitu emphaty.

Karakter yang membuat saya menyesali segala kebodohan, ketidakpekaan, dan tangisan yang memalukan itu.


Apa daya, itulah adanya perjalanan karakter saya di masa belia. 


Melompat lagi ke masa kini, saya memandangi putri kedua, dan karakter yang sama dengan saya. Ia berpotensi menjaga segala hal dan melaksanakan segala perencanaan dengan sikap sempurna tanpa cela. Tanpa peduli aspek-aspek lain. 

Itu sebabnya saya berbicara padanya pekan lalu. Bahwa karakter kita yang baik ini, berpotensi melukai hati orang lain. 

Comments

Popular posts from this blog

Prau, Pendakian Pertama (Part #2)

Kala Sahur, dan Segelas Kopi yang Tidak Manjur

I am Small & Perfect