40% Sudah Cukup



Para perempuan di keluarga besar di pihak mama, adalah perempuan cerdas, mandiri, tangguh dan punya visi yang jauh ke depan. Jika ada sekumpulan orang di depan sana, dipastikan bahwa yang pegang mic menjelaskan segala sesuatunya adalah salah satu perempuan dari kaumku. Demikian juga di suatu dapur yang rusuh minta ampun, yang memegang komando alias chef di sana adalah salah satu tanteku. Demikian pula di lapangan sholat ied, apabila ada perempuan pemegang komando infaq, ia adalah tanteku pula. 

Para perempuan di keluarga besarku, seperti halnya mamaku, merupakan pencari nafkah di keluarga. Mereka kuat, tegar ditempa pengalaman berinteraksi dengan berbagai persoalan hidup. Mereka cerdas mengatasi masalah dan memiliki tingkat kesabaran another level. Mereka akan mengerjakan segala sesuai jauh melampaui ekspektasi siapapun. Mereka adalah pemimpin, kepala regu, pencetus ide, atau penggerak sebuah kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak. 

Saya memuja mereka karena keistimewaan ini. 

Dan mereka semua terhuyung ketika saya memutuskan berhenti kerja di ranah publik. 

Bagi mereka, segalanya itu tidak masuk akal. 

Seorang perempuan kuat di belantara ibukota, yang tidak sekalipun menangisi kesusahannya merantau. Seorang yang memegang status karyawan BUMN, yang bisa membeli buku sesukanya. Bagi mereka alangkah anehnya jika segala hal ini dilepaskan dan saya bergantung sepenuhnya pada suami. Bagi para perempuan tangguh itu, kondisi menyerahkan segala urusan pada suami, bukanlah sesuatu yang biasa dijalani. Balik ke cerita awal, bahwa mereka semuanya adalah seorang yang amat mandiri. Termasuk dalam urusan dompet belanja.

Saya amat mengerti, kegalauan mereka. Dan saya udah tahu kalau mereka semua bakal kasihan sekali dengan kehidupan saya setelah melepas label karyawan ini.

 Setelah bertahun-tahun saya berhenti bekerja di luar rumah, tetap saja para tante membahas kenapa saya harus resign waktu itu. Seperti biasa saya perlu menjelaskan dengan kalimat-kalimat panjang, yang ntar tetap saja tidak bisa dipahami. 

Saya mengerti. 
Zona nyaman bagi perempuan keren di rumahku ini, adalah saat kita berada di pusaran ranah publik dan terlibat dalam urusan khalayak ramai.
Berada nyaris setiap waktu di balik pintu rumah dan sibuk mengurus anak, bukanlah pilihan pertama mereka. Pembahasan lalu menjadi genting tatkala urusan merambah ke perkara dompet. 
Apakah suami memberikan saya belanja yang cukup? 
Apakah saya bisa membeli segala sesuatu yang saya inginkan. 


Ini bagian yang sulit. 

Mama yang telah paham sekali prinsip saya pun berkata. 
"Esi baik-baik saja kok, andainya Fadli punya 100, ia sudah cukup dengan 40 karena memang butuhnya hanya 40."

 Alhamdulillah, ini penjelasan yang paling pas dengan value saja. 
Tapi penjelasan mama mengambang.
Tapi ya wajar.

Saya mengerti.
Sekali lagi. 
Ini karena, saya adalah bagian dari perempuan tangguh di keluarga pihak mama, tapi saya adalah putrinya Apa. Seorang yang sangat sederhana. Seorang yang qonaah, berhati bersih dan lurus dan tidak akan meributkan hal sepele. Sebuah paradoks yang membingungkan keluarga besar. Semoga kelak saya bisa membuat semuanya mengerti. Bahwa saya sungguh bahagia, ketika saya sudah memegang 40 dari 100 yang bisa saya genggam


Comments

Popular posts from this blog

Prau, Pendakian Pertama (Part #2)

Kala Sahur, dan Segelas Kopi yang Tidak Manjur

I am Small & Perfect