Kala Sahur, dan Segelas Kopi yang Tidak Manjur
Biasanya saya akan bergegas turun, dan langsung mengeluarkan bahan makanan dari kulkas. Setiap sahur, saya memang memasak setidaknya tiga jenis makanan tapi dalam jumlah sedikit agar tidak mubazir. Biar anak-anak bisa menikmati sahur dengan gembira karena ketemu makanan yang berbeda dengan berbuka. Aslijyq ini engga sebegitu susah. Bahkan untuk saya yang tidak handal memasak ini.
Dengan kekuatan food preparation sebelum Ramadan, proses memasak jadi jauh lebih cepat. Saat jelang Ramadan, saya meminta keempat putri berkumpul di dapur. Kepada mereka, saya bilang bahwa kegiatan mencuci sayuran, memotong dan menyimpan per porsi, bakalan sangat membantu bunda kelak di bulan Ramadan.
Balik ke dapur, setelah beberapa saat sendirian di dapur, masakan sahur sudah terhidang. Kompor dan meja dapur juga sudah selesai di lap, lantai dapur juga sudah di pel bebas percikan minyak. Saya tinggal membangunkan anak-anak
Tapi ada satu dini hari yang tidak biasa. Saya masih tetap terjaga saat suara beduk dan klontangan kaleng singgah di celah jendela, berikut reminder teriakan sahur yang biasa. Akan tetapi separuh benak memohon dengan sangat agar saya tidak meninggalkan kenyamanan selimut. Masalahnya, secercah ingatan bahwa ada 6 orang yang butuh makan sahur, memaksa kaki untuk terus beranjak.
Entah bagaimana, beberapa saat kemudian saya sudah duduk di stool kayu. Menghadapi secangkir kopi yang sebagian ampasnya belum turun ke dasar gelas, dan jam digital yang berkedip nyaris kehabisan baterai.
Saya tahu waktu telah berlalu, seiring uap kopi naik mengambang. Tapi tetap saja rasanya enggan beranjak.
Suara kanak-kanak yang tadi berkeliling, sudah lama memudar. Mungkin mereka sudah kembali ke rumah masing-masing, dan menyantap menu sahur yang disiapkan ibu mereka di rumah.
Tapi saya masih di posisi duduk yang sama, dengan kepala yang kini telah rebah sejajar cangkir kopi.
Uda turun ke dapur dan menangkap sosok saya yang duduk dalam temaram lampu.
Saya mengadu, "Badan tidak mau diajak bekerja."
"Oh, ya gapapa." Ujarnya.
Kompor menyala di detik berikutnya, sejalan dengan tangan yang menggapai wajan di dinding. Setengah detik berikutnya, minyak goreng sudah menggenang di dasar wajan.
Sementara panas kompor menaikan suhu minyak, uda mengambil bahan masakan dari kulkas.
Lantas semuanya seakan bergerak magis. Berbagai sayur dan protein, serta bumbu-bumbu bergantian memasuki wajan dalam kecepatan tinggi.
Sedang saya masih duduk lesu di tempat yang sama.
Sejurus kemudian, semuanya telah ada di meja. Anak-anak datang bergabung dan kami menikmati sahur seperti biasa. Kemudian lanjut duduk-duduk bercerita sebelum subuh datang menyapa.
Uda tidaklah sempurna, seperti halnya saya yang memiliki sejumlah kekurangan. Hanya saja uda akan ada saat saya bilang tidak bisa. Rasanya untuk saat ini dan nanti, cukup begini saja.
Comments
Post a Comment