Tidak Semua Perlu Jadi Masalah
Bandara Soetta dinihari, terasa lengang dan membosankan. Saya duduk di bangku logam yang membuat ketidaknyamanan makin terasa. Belum lagi hembusan angin dingin yang tidak lagi menyejukkan. Level dinginnya naik menjadi menyakitkan kulit. Iya sedingin itu.
Entah karena memang suhunya yang dingin, atau saya yang lagi sinis pada segalanya.
Saya duduk sendirian disana, menunggui detak jam tangan dengan mata kuyu.
Perlahan terang mulai datang, seiring penumpang lainnya bermunculan. Satu persatu menempati pojokan terbaik ruang tunggu itu. Lalu seperti halnya saya, duduk terkantuk-kantuk menunggu jadwal keberangkatan.
Saat fajar merah menyelimuti separuh ruangan, seorang bapak separuh baya duduk di samping saya. Ia tersenyum dan saya mengangguk sopan. Lalu ia duduk dan berbasa basi. Pertanyaan khas yang biasa dilontarkan di ruang tunggu bandara. Hendak kemana, darimana, kerja dimana, dan semacamnya. Standar layaknya bertanya pada teman seperjalanan. Saya yang masih terbungkus kantuk menanggapi sebisanya. Saya memang jarang ngobrol akran dengan orang yang baru dikenal. Saya biasanya akan bersabar menjalani sesi basa basi begini, lalu jika sudah aman, segera kembali ke lamunan atau tenggelam dalam buku bacaan. Hanya saja kali ini, lawan bicara saya tidak hendak diabaikan. Ia bertekad memangkas kebosanan dengan obrolan yang makin seru. Malangnya, saya tidak punya gaya yang sama. Saya cenderung menekan wajah ke kaca, lalu memandangi helai demi helai daun. Seolah saya adalah seorang botanist yang tengah meneliti vegetasi langka.
Pertanyaan melaju ke karir saya kini. Terus menelisik kehidupan saya after work. Seiring dengan intensnya pertanyaan itu, kesabaran saya menguap makin cepat. Ketika tanya melintas ke area pernikahan, yang memang saya belum pikirkan, jengah mulai menggeser posisi yang tadi dihuni kesabaran. Ketika sang kawan seperjalanan itu menggugat saya kenapa belum juga menikah, saya muntab.
Apa itu kesabaran?
Semestinya si bapak ini yang punya sedikit saja kesopanan. Saya lalu menjawab tanpa peduli bahwa secara usia, dia adalah orang yang patut saya berikan sepotong respek.
Saya marah.
Tapi ini kisah 12 tahun yang lampau. Masa saat saya mempermasalahkan segalanya. Saya berhitung untung rugi dengan segala hal yang berkaitan dengan hidup.
Itu dulu.
Kini saya lebih banyak diam. Toh memang tidak semua hal perlu mewujud jadi masalah. Kadang diam bisa melerai segalanya.
Comments
Post a Comment