Beberes Next Level


Waktu itu kepala rasanya penuh, overwhelmed to the max, ceritanya. Senja menjelang ketika saya menaiki bus Mayasari menuju Kampung Rambutan. Saya menempelkan wajah ke kaca, sebagian karena ingin meletakkan beban kepala, sebagian karena jemu belaka. Seolah menempelkan pipi di jendela bisa membuat masalah menguap begitu saja. 

Di luar, pemandangannya khas ibukota kala hari hampir berakhir. Para pekerja dalam gedung keluar nyaris bersamaan, kemudian berpencar menuju halte, stasiun, atau melangkah ringan di sepanjang pedestrian yang apik. Sebagian tidak pulang, melainkan ngeteh sore di suatu tempat, atau malah baru mengawali hari itu. Seperti halnya abang tukang penjual teh atau kopi keliling, yang mangkal dekat halte. Atau penjual somay dan gorengan yang sering diserbu pekerja yang kelaparan sepulang kerja. 

Saat jemu makin melanda, saya menangkap pekerja taman yang sedang memotong rumput. Saya terpesona. Satisfying sekali menyaksikan rumput yang tadinya tumbuh tidak terkendali, seketika langsung rapi dengan ketepatan tinggi yang presisi. Sungguh kerjaan yang menyenangkan, demikian pikiran saya waktu itu. Lalu terlintas di pikiran, berapa senangnya jika saya bekerja pada dinas pertamanan. Di pagi hari saya bisa memeriksa bunga, atau memangkas dahan, lalu secara berkala mengoperasikan mesin potong rumput yang amazing itu. Betapa bahagianya saya sepanjang hari. Tapi kemudian pikiran lain melintas pula. Ah.. ini hanyalah excuse belaka. Hanya karena lelah dengan pekerjaanmu, jangan sampai pengen ubah kerjaan dalam tempo sekejap itu juga. Di bagian manapun, tidak ada orang yang semudah itu melempar kerjaan lalu menyambar kerjaan lain dengan drastis. 

Dengan membuang pikiran itu, saya mengalihkan pandangan. Pipi tetap menempel di jendela, dan angan berkelana jauh lebih cepat dari laju bus no 52 itu.

Akan tetapi, saya lamat-lamat menyadari. Ketika saya sudah lama berhenti bekerja, saya menyukai pekerjaan beberes dan berkebun. Kedua hal ini bagi saya bukanlah beban yang menguras tenaga. Saya suka jika ada tumpukan setrikaan, karena ketika saya usai merapikannya, ada kesenangan melihat lipatan yang rapi jali itu. Saya suka kerjaan mencuci piring dan menata gelas. Pun saya juga suka menyikat kamar mandi. Saya suka menggosok barang-barang dan juga mengelap kaca. 

Jangan tanya perkara berkebun. Sebagai anak petani, saya mencintai flora dengan segenap jiwa. Pagi hari bagi saya beru bermakna cinta apabila saya telah menyapa keluarga calathea dan aglonema di teras rumah. Apabila saya telah menyapa suplir dan memeriksa tangkainya yang hitam kecil itu. Apabila saya usai memastikan kandungan air dalam pot dan memastikan apakah tiap tanaman telah berada di posisi yang paling nyaman bagi mereka. 

Saya akhirnya menyadari, bahwa bagi saya kerjaan beberes bukanlah pelarian. Itu adalah  pekerjaan yang saya sukai.

Ketika kemudian saya menyadari pula, bahwa saya sebenarnya sering sekali melihat tayangan youtube tentang beberes, mowing garden, deep cleaning, dan lainnya tentang cleaning or gardening saya merasa terusik. Betapa orang lain, mengerjakan hal yang disukainya dengan penuh kesungguhan. Kemudian mengupayakan pembaharuan terus menerus, dan menghasilkan karya keren dari hal tersebut.

Ini adalah proses pengembangan passion yang menarik.

Sementara saya menjadikan beberes sebagai keseharian yang rutin, sebuah kerjaan yang bisa jadi dianggap remeh. Ya memang gitu kerjaan ibu rumah tangga. Tapi di tangan orang yang sadar arti passion, beberes adalah pekerjaan profesional. Tabik untuk yang telah menemukan passion dan mengasah diri untuk menjadi produktif. 


Comments

Popular posts from this blog

Prau, Pendakian Pertama (Part #2)

Kala Sahur, dan Segelas Kopi yang Tidak Manjur

I am Small & Perfect