A Short Story of Coconut Cream



Di belakang rumah kami, rumah lama yang udah dijual sih tepatnya, berjejer beberapa pohon kelapa. Pohon ini tidak terlalu tinggi, hanya beberapa meter melampaui atap rumah, sehingga masih bisa dijangkau dengan tangga. Itu sebabnya tangga selalu standby di dekat pohon kelapa. 

Seingat saya, kami tidak pernah panen kelapa dan lalu dijual. Sebab kelapa ini biasanya hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika buahnya kelewat banyak, selalu ada saudara atau tetangga yang dibagikan buah kelapa. Intinya ini kelapa for domestic use only, not for sale hahaha.. 

Masalahnya, kami nyaris tiap hari butuh santan. Entah untuk menggulai, bikin rendang atau sambal kelapa yang diuleg halus di batu gilingan besar. Tiap hari pula kami memanjat tangga dan memetik satu atau dua buah kelapa. 

Lalu dikupas sendiri oleh Mama atau Apa. Bukan saya tentunya. Karena entah kenapa saya tidak sanggup mengatasi kulit keras buah kelapa alias sabut yang liat itu. Rasanya satisfying melihat buah kelapa yang mudah sekali dikupas, tapi menyebalkan begitu saya mencobanya sendiri. Akhirnya saya menyerah. Biarlah urusan mengupas buah kelapa tadi menjadi poin yang perlu didelegasikan.. haha.. 

Saya biasanya kebagian memarut kelapa. Dulu sih selalu pakai parutan manual. Dengan parutan yang dipasang ke sebentuk kayu mirip bebek atau motor, dalam imajinasi kanak-kanak. Saya akan duduk di atasnya dan mulai memarut kelapa. Memarut ini ada seninya tersendiri. Apabila terlalu terburu dan keras-keras memarutnya, kelapa akan terparut kasar, dan berujung sedikit pula santan yang nanti didapat pasca diperas. Maka perlu diparut perlahan, dengan nada yang menyenangkan pula untuk didengar... Srek... Srek... Begitu.. 

Tapi kesininya parutan mesin sudah masuk ke kampung kami, sehingga tinggal colokin kabel ke listrik, lalu diparut sekitar satu atau dua menit. Dan selesai begitu saja. Kelapa parut tinggal diguyur dengan air hangat lalu diperas agar semua sari santan keluar sempurna. Nah ada lagi alat tradisional lainnya yang terlibat. Biasanya kalau di acara-acara baralek (pesta) yang membutuhkan santan dalam jumlah yang banyak. Kelapa yang sudah diremas dengan air hangat lalu dimasukan ke kaim kasa dan dilipat rapi agar kelapa tidak berantakan. Lalu dipres dengan cara menaruh di antara dua bilah kayu, lalu seseorang duduk di ujung kayu, sehingga beban dan tekanan dari kayu akan memaksa semua cairan santan terpisah dari ampas. Ini akan menghasilkan santan yang sempurna terperas dari kelapa parut. 

Hanya kalau skala rumah tangga, ya nggak gitu, kelapa diperas pake kepalan tangan saja. 

Next, begitu santan sudah mendarat di wajan, tambahkan bumbu-bumbu. Olala.. saya lupa berkisah tentang bumbu ini. Padahal perjuangannya sungguh rumit duhai kawan-kawan. Lengkuas misalnya, ia perlu dibawakan cangkul besar agar bisa terpisah dari rumpunnya. Lalu melibatkan pisau besar untuk menyianginya. Kemudian pisau kecil untuk membersihkan kulitnya, dan kemudian dihantam dengan batu ulekan besar hingga halus sebenar benar halus. Itu baru lengkuas, belum lagi jahe, kunyit dan cabe.. semua bumbu itu punya kisah perjuangannya sendiri-sendiri. 

Saya kira itu sebabnya di masa lampau, santan tidak dianggap musuh bagi kesehatan. Sebab effort mengumpulkan segala bahan ke dalam wajan, sudah menghabiskan energi yang lumayan banyak. Pun juga setelah matang, ada begitu banyak orang yang menikmati hidangan dari santan tersebut. 

Terus sekarang gimana, setelah rumah dengan kelapa berderet itu dijual, terus ditimpali kedatangan mesin parut kelapa. Santan hadir dalam bentuk cairan siap pakai. Pun demikian pula segenap bumbu. Saya tinggal menuangkannya dalam wajan, yang hanya perlu sekitar tiga menit saja. 

Lalu apakah santan bisa jadi musuh yang terbentuk di dalam wajan? 

Bisa jadi iya, bisa engga, tergantung dari seberapa rajin saya setelah makan gulai nanti. Atau seberapa menggoda bantal-bantal besar di sofa sana. 

Dan ini engga hanya tentang santan, tapi juga tentang segala yang saya makan. Nyam.. 


Comments

Popular posts from this blog

Prau, Pendakian Pertama (Part #2)

Kala Sahur, dan Segelas Kopi yang Tidak Manjur

I am Small & Perfect