Kala Mama Membawa Sekantong Jeruk
Saat pergi keliling silaturahim di Sialang, Papi mengambil rantang yang berat dari tangan Mami. Pada POV Papi yang separuh masa remaja dan lanjut bekerja di Jakarta, ini adalah hal yang sudah semestinya. Memang begitu adanya, aaat istri membawa bawaan berat, suami gercep membantu. Apalagi jalanan di Sialang kala itu belum seperti sekarang ini. Lagipula kami bakalan jalan kaki dengan jarak lumayan jauh. Mami sekalian juga menyerahkan totebag besar yang isinya entah apa saja. Papi dengan gembira membawa semuanya dan kami kembali lanjut berjalan sambil menikmati udara pegunungan yang sejuk.
Tapi kedamaian seperti itu hanya berlanjut kurang dari satu menit saja. Tante saya yang lain, sepupu dari pihak Apa, berteriak kaget. Kami juga jadinya ikutan kaget, bingung dengan apa yang terjadi. Tante saya tadi itu, segera meraih rantang di tangan Papi, yang gantian bingung karena tetiba bawaannya diambil.
Tante berargumen bahwa laki-laki tidak semestinya bawa rantang, sebab apa nanti kata orang-orang. Perempuan yang membiarkan suaminya mengangkut bawa barang, berarti tidak menjaga marwah suaminya.
Gitu katanya.
Nah Papi membalas dengan argumen bahwa sudah semestinya laki-laki membantu bawa barang seberat itu. Malah jadi semacam kebanggaan bahwa ia telah menjaga istrinya dengan sempurna. Perdebatan terjadi, tidak ada yang mau mengalah.
Lalu kita tetiba jadi rame aja di jalan..
heuheu..
Adegan hari itu berakhir dengan tante yang membawa semua barang, dan Papi yang dipaksa jalan melenggang. Keduanya tetap mara-mara ngomel sepanjang jalan.
Mari kita beralih pada kisah lain. Waktu bergulir sekian tahun, saya sudah bekerja di Jakarta. Di suatu senja, saya menerima telpon dari Mama. Mama mengeluh kecapean sepulang dari RS Achmad Mochtar Payakumbuh. Mama cerita kalau tadi pergi bezuk keluarga yang sakit. Karena engga mau kelamaan nunggu angkot ngetem, mama lalu jalan kaki aja dari terminal pasar Ibuah ke rumah sakit. Masalahnya mama juga bawa sekantong besar jeruk sebagai buah tangan.
Spontan saya bertanya, "Mama ngga pergi sama Apa?"
"Ada."
Mama cerita kalau Apa jalan aja duluan jauh di depan mama dan ngga pernah sekalipun menengok ke belakang. Saya tertawa tanpa bisa dicegah, lalu buru-buru menyemangati mama.
"Iya Ma, Apa kan memang begitu, pasti jalan duluan."
"Tapi berat sekali kantong jeruk itu." Keluh Mama.
Saya lalu mengela nafas berbarengan dengan mama.
Well, ya gimana..
Memang begitu adanya dulu.
Engga tau juga sekarang ini gimana, karena saya sudah lama tidak di kampung.
Yang jelas, akibat dari dua pengalaman itu, saya bertekad tidak akan menikah dengan warga dari kampung sendiri. Karena takut akan bayangan dimana saya mengangkut rantang dan kantong jeruk sendirian.
Eh ndilalah malah ketemu sama yang sekampung juga. Padahal ketemuannya udah di mall Ambasador..hiks.
Kabar baiknya, uda ternyata sama seperti halnya Papi yang tidak akan membiarkan saya mengangkut barang berat sendirian.
Oh tentu saja saya akan selalu mengambilkan piring dan air minum untuk uda saat makan. Tapi uda juga akan mengambil alih situasi, saat melihat saya duduk bengong di stool dapur, menghadapi secangkir kopi, dan kompor yang ikutan diam. Sigap uda mengambil wajan dan kotak bumbu, lalu memasukan segala sayuran dan protein yang untungnya sudah dicuci dan dipotong sebelumnya. Sejurus kemudian, segalanya sudah siap. Kita lalu nyengir bareng dan makan sahur dengan damai. Ada masanya kita lalu pilih makan di luar atau pesan go-food.
Untuk interaksi seperti ini, saya bersyukur. Karena semua yang dilalukan jadi terasa ringan. Tidak ada tuntutan, dan tidak ada paksaan. Hanya ada keinginan dan upaya untuk saling memudahkan dan menyenangkan.
Comments
Post a Comment