Perjalanan Singkat

Berawal dari pandemi yang salah satu dampaknya adalah anak-anak sekolah secara online. Kedua putri saya, yang biasanya meninggalkan rumah pukul 6 pagi, kini gegoleran aja di rumah. Jika biasanya jam 6 lewat 10 menit, mereka akan berada di lingkungan sekolah yang sejuk. Karena sekolahnya anak-anak punya banyak pohon besar, punya taman-taman yang luas, dan satu komplek dengan danau lumayan luas. Jangan tanya berapa banyak asupan oksigen yang mereka dapatkan. Juga betapa nyaman suasana yang mereka dapatkan. Setelah bermain sebentar, mereka akan berjalan bareng-bareng menuju masjid, lalu sholat dhuha berjamaah. Lantas meskipun setelah itu mereka akan sibuk belajar, tapi saya tahu mereka punya banyak waktu bermain. Saya tahu itu. Terlihat jejak tanah di rok dna kemeja putih, juga serpihan rumput di kaos kaki dan sepatu. Mereka juga akan bercerita dengan riang gembira tentang bermain di pinggir danau, atau berseluncur menuruni tebing berumput. 
Pohon-pohon besar di sekolah anak-anak seringkali mengundang suasana bak fairy tale, terutama saat angin berhembus, dan kelopak bunga berterbangan. Belum lagi ada lorong di samping aula, yang ditumbuhi tanaman rambat air mata pengantin. Apabila siang tiba, anak-anak suka melewatinya, sebab bunga pink mungil itu akan berjatuhan dj atas kepala. Walau sedemikian banyak yang bertebaran di mana-mana, namun bunga mungil itu seakan tiada habisnya. 

Covid 19 memaksa anak-anak stay at home. Mereka kehilangan canda riang di selasar sekolah, juga kehilangan kesempatan bermain di antara helai bunga flamboyan yang melayang jatuh perlahan. 

Mereka malah rebahan di sofa, mati gaya. Masih terlalu pagi untuk menekuni buku-buku pelajaran. Sementara segala urusan sudah ditunaikan.

Saya menggamit mereka, dan memakai masker. Lalu saya membawa mereka keluar pagar, terus menelusuri gang-gang yang ada di lingkup RT kami. Anak-anak segera paham maksud saya. 
Keesokan harinya, kami kembali menelusuri gang, kali ini dengan rute berbeda.

Seringkali, segalanya begitu biasa dan cenderung membosankan. Jalanan yang sepi karena sebagian besar orang ada di rumah. Warung-warung yang tutup akibat sepinya pembeli. Tapi lama kelamaan kami menyukai hal-hal kecil. Kami jadi aware dengan bunga dandelion kecil yang tumbuh di pinggiran kali. Atau bunga ungu yang sudah beberapa hari tidak disiram pemiliknya. Terkadang kami sibuk mengamati tingkah kucing kampung. Atau bermenit-menit mengawasi aliran air sambil membahas biota yang ada di dalamnya. Senyap kadang bisa menarik juga. 

Perjalanan pagi selama pandemi itu lalu jadi kebiasaan. 

Kini anak-anak telah kembali bersekolah seperti biasa. Pada pukul enam pagi, mereka menghilang dari rumah. Meninggalkan saya dan adik bayi yang kehilangan kawan bermain. Kedua putri yang kini menjelang remaja itu, telah kembali ke sekolah mereka yang berada di antara pohon-pohon besar. Mereka kembali berlarian bersama teman, duduk makan kebab di kantin, atau membaca buku di perpustakaan. 

Saya dan putri bungsu lalu berpegangan tangan. Berdua kami menyusuri gang demi gang. Mengamati kucing, ayam dalam kandang, atau melihat burung di depan rumah orang. Kadang kami pergi terlalu jauh, hingga butuh duduk dulu dan pulang dengan ojek. Ada kalanya juga kami berakhir di taman. Putri kecil saya akan bersorak dan lari ke area seluncuran. Sementara saya mendekati abang tukang somay dan duduk dengan gembira, menunggu somay yang tengah dipotong dengan sigap. Lebih seringnya, kami berdua pulang dengan tentengan yang banyak, berisikan jajanan dan segala hal yang kami temui di jalan. Saya tidak tahu mana yang lebih menyenangkan. Berjalan kaki dengan santai, atau jajan di sepanjang jalanan. Mungkin keduanya seimbang.  

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga