Kisah Akhir Pekan

Dulu semasa SD, akhir pekan bermakna keluarga kami akan utuh. Ada beberapa saat lamanya keluarga kami terpisah. Mama mengajar di suatu desa, sementara Apa mengurus lahan pertanian kami di tempat lain. Sebenarnya sih kalau sekarang ini, berasa engga jauh-jauh amat. Engga sampai 30 menit berkendara. Tapi dulu itu terasa jauh, karena segalanya kudu jalan kaki.

Jadi jika Sabtu siang, saya dan mama akan meninggalkan rumah dinas di gunung tempat mama mengajar. Lalu kami akan berjalan jauh, terus dan terus hingga sore datang. Terkadang saya berlari mendahului mama, dengan harapan sempat duduk sejenak sembari menunggu mama datang. Ini tentu saja bukan cara yang tepat, karena saya jadi lebih mudah capek. Sepanjang perjalanan kami, lebih banyak berupa hamparan sawah, ada beberapa kali ketemu kumpulan rumah, dan kadang ketemu warung. Nanti jika sudah tiga jam berjalan, saya akan bisa melihat nun di kejauhan kaki lembah tempat sawah dan ladang kami berada. Kaki yang terasa diganduli besi bulat, terasa ringan kembali. Saya kembali melangkah di samping mama.

Satu jam berikutnya kami jalani dalam senyap. Sebab kelelahan mendera. Terutama menyandera kaki yang letih. 
Akan tetapi saat kami tidak di ujung sawah, segenap kepayahan berjalan itu pun sirna. Saat rumput di pematang menyapa mata kaki, seketika itu pula kaki yang lelah terasa pulih. Saya akan berlari sepanjang pematang untuk mendapati Apa. Lalu menaruh bawaan, dan segera bekerja. Iya bekerja. Saya akan segera menyapa kambing-kambing dan membawanya ke kaki bukit. Juga menyapa ikan mas di kolam. Percayalah, saya dan Apa hafal karakter ratusan ikan di kolam besar itu. Lalu jika kambing sudah diikatkan, saya akan turun ke sawah, menyiangi gulma. Atau masuk ke bedengan tomat untuk mengikat dahan tomat yang menjuntai. 

Demikian juga Mama. Meskipun capek seharian kerja di sekolah, lalu berjalan kaki amat jauh, tapi mama tetap bekerja dengan semangat. Kelak ketika azan magrib berkumandang di masjid nan jauh, kami keluar sawah. Lalu mencuci kaki di pancuran depan rumah. 

Sudahkah saya bercerita bahwa di lahan kami, ada mata air segar tak terkira. Bahkan rumah kami dikelilingi air jernih yang manis tanpa tercemar. Maka kami leluasa menggunakan air sepuasnya. 
Di depan dapur kami yang terbuka, Apa mengalirkan air dalam selokan kecil, lalu menaruh pancuran bambu. Air akan mengalir sepanjang waktu di sana. Tanpa sekalipun terhenti, pun juga tidak terkontaminasi apa-apa. Di sanalah saya dan Mama mencuci kaki kami yang berlumpur. Lumpurnya segera hanyut terbawa air yang deras dari pancuran. Menyisakan kawanan lintah yang lengket di kaki. Setelah digosok dengan sabun colek, baru lintahnya pergi. 

Sejurus kemudian, magrib berlalu. Mama akan menyalakan api di tungku dan mulai memasak untuk makan malam. Kemudian kami makan dengan penerangan lampu petromaks. Sesekali Apa berdiri memompa lampu agar kembali bersinar terang, lalu kembali melanjutkan makan malam. Malam itu kami kelelahan, tapi bersyukur atas kebersamaan. 

Kami segera beristirahat, karena esok pagi, akan datang deretan tugas baru khas orang-orang yang mengurus sawah dan ternak. Lalu jika senja datang sekali lagi, saya dan mama akan mengemasi barang dengan sendu. 
Begitu magrib usai, saya dan Mama berderap ke jalanan setapak, untuk kemudian bertemu jalanan beraspal. Apa melepas kami dengan doa keselamatan. Agar istri dan anaknya selamat menempuh perjalanan malam itu. Mama menyalakan api untuk dua alasan, agar jalanan terang dan juga untuk mengusir binatang buas. Awalnya kami menggunakan daun kelapa kering yang diikat erat. Apinya terang menerangi radius lima meter di sekeliling kami. Aromanya hangat dan memberikan semangat. Nanti jika daun kelapa itu habis terbakar, mama akan menyalakan obor. Bambu sepanjang lengan yang penuh dengan minyak tanah itu menjadi teman kami di perjalanan yang makin mencekam. Semakin kami dekat rumah, semakin gelap dan semakin tinggi pepohonan. Begitu dingin terasa membekukan, kami makin dekat dengan rumah. Ketika rasanya segala kecapean, kecemasan dan ketakutan mencapai puncaknya, saya dan mama sampai di rumah dinas. Tempat saya dan mama tinggal beberapa hari berikutnya. 

Akhir pekan, di masa itu, adalah gelembung-gelembung cinta dan keteguhan. Ia menari-nari di sepanjang jalan yang kami tempuh. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga