Memeluk Senja (9)

 


Covid 19 memberikan warna yang kuat pada dunia. Dampaknya ikut mengguncang rumah kami. Oh tidak, saya tidak akan membahas bagaimana perubahan yang mesti dihadapi negeri ini kala pandemi. Karena ini kisah tentang mama, maka ceritanya tentang mama yang terhalang pandemi. 

Pengajian ibu-ibu di lingkup RT kami seketika terhenti. Mama dan 78 teman lansia langsung menyetop semua kegiatan berkumpul. Aktivitas rutin yang penuh kehangatan itu lantas berhenti begitu saja tanpa kepastian. Mama dan semua temannya menunggu entah bisa bertemu, entah tidak. Lalu saya menutup pagar cluster, memutus hubungan mama dengan dunia luar. Di cluster kami, hanya para suami yang keluar masuk bekerja atau berbelanja. Dunia senyap dari aktivitas, sekaligus dunia berduka atas kehilangan. Satu per satu teman lansia mama berpulang. Kabar dukanya singgah di grup whatsapp. Duka yang bertimpa, silih berganti setiap harinya.

Praktis segala kegiatan mama hanya di rumah saja. Kecuali di pagi hari saat kami semua berjemur di halaman. Selebihnya senyap. Sebenarnya senyap. 

Dalam kondisi itu mama memutuskan untuk mudik. Yah memang teteup ada juga sih pandemi di kampung kami yang di lereng gunung itu. Tapi setidaknya mama lebih leluasa. Bisa berkebun sekeliling rumah, juga masih bisa melakukan banyak aktivitas lain kecuali berkumpul. 

Perjalanan baru pun telah tiba. Kali ini dilalui dengan hati yang hambar. Terus terasa janggal di setiap kilometer yang mendekatkan mama ke rumah. Hingga tiba saatnya mama merajut hari demi hari di kampung halaman. Mama tidak punya agenda rutin, pun tidak ada rencana. Tidak ada binar mata, terlebih karena terlalu banyak berita duka.

Hari berganti minggu. Bulan demi bulan berlalu dengan susah payah. Semua merasakan pahit yang hanya bisa diadukan ke langit saja. Sebab semua merasakan dampak dengan berbagai cara. 

Kembali ke rumah kami di Jakarta. Sekeliling rumah telah terkurung wabah. Gang-gang di dekat rumah kami telah ditutup sama sekali. Karena semua rumah di sepanjang gang telah rata terkena. Makin terasa runyam ketika setiap hari, hanya kabar duka yang ada. Berikut himbauan pak RT untuk terus menjaga kesehatan. Dan juga menebalkan kepekaan sosial. Pandemi bukanlah aib yang perlu ditutupi, akan tetapi ujian yang dihadapi bersama.

Saya lalu membawa anak-anak pulang kampung. Sementara waktu hingga entah kapan, saya ingin anak-anak bisa mengganti suasana muram ini. Di kampung setidaknya kami masih punya halaman yang cukup luas untuk mereka main tenda-tendaan, atau main tanah, menggali lubang dan membuat lumpur.

Sekali lagi, anak-anak berkumpul dengan neneknya. Sekali lagi mama menyaksikan saya beraktivitas dari rumah. Seperti masa-masa sebelumnya. Bahwa sementara berada di rumah, saya biasa rapat dengan teman-teman yang berada nun jauh tersebar di berbagai provinsi, bahkan juga benua yang lain. Bersama tim, tidak ada bedanya apakah pandemi memisahkan. Karena peran ibu tidak pernah berakhir, maka belajar dan berkarya juga tidak boleh terhenti. Meskipun atas nama sedang pandemi. 

Melihat saya yang sibuk mengerjakan ini itu seraya menemani anak belajar dan bermain. Mama lalu berujar. "Eci sudah banyak bermanfaat untuk orang lain. Tapi mama tidak ada kegiatan yang bermakna."

Saya terperangah. Soalnya ngerasa belum banyak berbuat.  

"Apa ya yang bisa mama lakukan? Mama ingin bermanfaat juga sampai nanti mama meninggal."

Saya menatap mama, terpesona. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga