Memeluk Senja (10)



Ketika kami dulu tinggal di rumah dinas, orang tua saya menggali lobang yang cukup  besar untuk menampung sampah. Ukurannya sekitar 3x3 meter. Lumayan besar dan dalam juga memang. Ke dalam lubang itulah segala sampah dimasukan. Mulai dari sampah rumah tangga dari dapur, plastik dan kertas bekas atau sampah dedaunan yang saya sapu di tiap sore hari. Nanti sekali seminggu, sampah-sampah itu dibakar sekaligus. Setelah beberapa saat menyala, apinya padam dan menyisakan abu. Sampah tadi lenyap berganti tumpukan abu di dasarnya. Tapi tidak lama, sebab sampah baru berdatangan lagi. Kadang dari kertas yang salah ketik, atau bungkus minyak goreng. Kadang dedaunan yang tak henti berjatuhan atau sisa makanan. 

Kala itu belum ada manajemen sampah yang menjangkau masyarakat desa. Batasannya cukup agar tidak mengganggu kenyamanan umum, itu saja. Lalu tiap warga punya cara sendiri-sendiri dalam menyelesaikan urusan sampahnya. 

Bahkan kami sendiri punya cara berbeda, ketika akhir pekan tinggal di rumah pondok tengah sawah. Semua sisa makanan, masuk ke kolam ikan. Termasuk nasi sisa. Lalu kambing dan bebek juga bisa makan tangkai potongan sayur. 

Akan tetapi setelah dua puluh tahun berlalu, tidak banyak perubahan berarti. Rumah kami di kampung tetap menumpuk sampah di belakang rumah. Ia meninggi seiring makin banyaknya kami melempar segala jenis sampah. Lalu ketika segundukan, sampah itu pun dibakar. Ini bisa dua hari lamanya hingga sampah benar-benar habis terbakar. 

Dalam skala kecil, asap pembakaran sampah tentu tidak mengganggu. Bahkan kadang tetangga samping kiri kanan juga ngga ngeh kalau kita lagi bakar sampah. However sebagai orang yang sudah paham dampak lingkungan akibat penanganan sampah yang buruk, saya mengakui betapa salah perkara membakar sampah ini. Tapi ya karena mudik hanya sekali setahun, kegelisahan ini berlalu secepat datangnya. 

Hingga ada kepala pemerintahan desa yang baru, yang di kampung kami dipanggil Wali Nagari. Beliau mencanangkan nagari bersih, yang salah satunya adalah tata kelola sampah. Ia lalu menyiapkan ember besar  di tiap rumah agar tiap rumah tersebut menaruh sampah di sana. Nanti sekali seminggu, akan ada petugas sampah yang rutin mengambil. 
Urusan sampah di kampung kami seketika tuntas. Tidak ada lagi gundukan sampah di belakang rumah, juga tidak ada plastik makanan ringan yang terbang ditiup angin di jalan raya. 

Kampung kami beneran bersih. Beneran bebas dari sampah. 
Kelak sesuai jadwal, petugas yang ditunjuk akan setia mengambil sampah. Mereka berkeliling kampung, mengosongkan ember sampah berwarna abu-abu itu, lalu menaruh ember dan tutupnya kembali ke tempat semula. Sampah dari seisi rumah pun berlalu. Demikian pula sampah tetangga di sisi rumah, pun juga semua tetangga lainnya. Sampah menghilang layaknya magic. Kita bahkan bisa melupakan begitu saja bungkus toblerone yang diangkut petugas. Berbeda dengan ketika masih jaman bakar sampah. Kita bisa melihat api melahap sampah kertas perlahan, dan kita pun ikut berjengit. 

Urusan sampah udah kelar. Tapi kegelisahan masih belum jua pergi. 

Karena kita seharusnya bisa berbuat lebih dari itu. 

Ketika mama berada di Jakarta, beliau telah melihat betapa saya senang memilah sampah. Juga telah menerapkan prinsip reduce sebisanya. Misalnya kalau belanja ke pasar, saya akan membawa kotak2 besar. Gunanya saat beli bahan makanan sebangsa ikan dan ayam, penjualnya langsung bisa menaruh dalam kotak. Saya juga membawa kantong jaring  untuk menaruh cabe, bawang dan segala sayuran. Untuk sekali ke pasar saja, saya bisa loh menghindari 10 buah kantong plastik. Keren kan.
(Bersambung) 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga