Memeluk Senja (12)

Saya membeli buku yang berjudul Tipping Point di Gramedia. Sebuah buku putih dengan gambar satu buah korek api di depannya. Lalu ada tulisan: "Bagaimana Hal-hal Kecil Berhasil Membuat Perubahan Besar" 
Saya segera tertarik. 
Ketika baca bagian belakangnya, saya tidak punya pilihan lain selain membawanya ke kasir. Buku ini kemudian menyita perhatian saya, karena ia berkisah tentang kasus-kasus menarik dan apa pembelajaran yang diambil di dalamnya.

Buku ini menceritakan bagaimana sebuah gagasan yang dimunculkan pada waktu dan strategi yang tepat, dan kemudian membuat perubahan besar.

Menyikapi keluhan mama
saya berpikir jangan-jangan yang mama perlukan adalah sebuah tipping point. Mama memiliki unsur-unsur terhadap sebuah perubahan. Ada kegelisahan yang dibarengi tekad ingin memberikan solusi. Terus juga ada ilmu yang bisa diterapkan. Lebih keren lagi, ada waktu yang lapang dan dana yang cukup jika diperlukan. Mama siap mengawal perubahan. 

Tapi terhadap pertanyaan sederhana mama:
"Mama mulai darimana?"
Saya tidak bisa menjawabnya. 

Lalu kesempatan itu datang begitu saja.

Nagari (desa) kami mengikuti lomba penilaian nagari. Terus menang di tingkat kabupaten, kini melaju ke tingkat provinsi. Ini adalah kabar yang menggembirakan. Hanya saja ada banyak catatan dari tim penilai yang langsung mengadakan briefing dengan wali nagari dan segenap unsur pemerintahan, serta PKK.
Dikatakan bahwa, tim penilai sangat mengapresiasi kebersihan nagari. Sampai ke level betapa sebuah bungkus chiki pun tidak akan bisa ditemukan, bahkan jika penilai pergi ke perbatasan nagari di punggung gunung. Dan itu tidak hanya di hari-hari penilaian belaka, namun memang demiian adanya sepanjang waktu. Nagari kami memang sebersih itu. Mereka mengacungkan jempol atas pengelolaan sampah yang rapi itu. Belum lagi dengan adanya gotong royong rutin selama 15 menit di akhir pekan. Semua jalanan bersih dari belukar. Sebagai gantinya ada banyak bunga yang mekar di mana-mana. Aslinya memang seindah dan sebersih itu. Tidak salah jika jadi pemenang dalam perkara ini. 

Akan tetapi, tetap ada yang perlu ditingkatkan. Tim penilai menyorot fakta bahwa semua sampah pergi meninggalkan nagari kami tanpa jejak. Ini hal baik di satu sisi, tapi jadi tidak baik dampaknya dalam konsep pemikiran lain. Sejatinya saat ini hanya memindahkan masalah. Karena sampah itu tetaplah ada, hanya saja ia berpindah lokasi. Tim menyarankan alangkah eloknya jika sampah itu dikelola dulu oleh nagari, baru kemudian dibuang ke TPA, sisa yang tidak bisa diolah sama sekali di nagari. Mereka menyebutkan tentang pilah sampah dan komposting. Itu adalah dua hal yang belum lazim di nagari kami. Sampah biasanya dibuang secepat kilat ke tempat sampah, lalu dilupakan. Lupa sebenarnya lupa. Lupa bagaimana ia diperoleh, lupa menganalisis apakah ia bisa dimanfaatkan dengan cara yang berbeda. Pun juga luput memikirkan betapa sampah yang dibuang bisa menimbulkan dampak lingkungan. Memilah sampah tidak pernah jadi pilihan kegiatan selama ini. Karena belum paham tujuannya dan karena perlu mengubah cara pandang terhadap sampah itu sendiri. 
Lalu komposting sama saja asingnya. Sampah biasanya dibakar sampai habis termasuk segala macam plastik. Kemudian abu dari tumpukan sampah itu, ditabur ke tanaman sebagai pupuk. Tidak ada diskusi apakah sampah plastik yang kini menciut itu akan meracuni tanah atau gimana. Pokoknya semua sudah jadi abu aja.

Pertanyaan dari tim penilai itu menggantung bagai kabut panas di ruang kantor wali nagari. 

Lalu momen ajaib itu terjadi, bagai sebuah tipping point. Mama mengangkat tangan minta ijin bicara. Lalu dengan lugas menyampaikan bahwa mama punya solusinya. 
Magis.
Sungguh menarik ketika semua mata menoleh pada mama. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga