Get Stronger

Setelah hari ketiga tanpa tidur,ada yang menggerogoti badan saya diam-diam. Entah mana yang lebih kuat. Kelelahan atau kecemasan. Saya capek mengurus makan dua orang yang tidak mau makan, memastikan pakaian dan seprainya nyaman dan bersih, juga memastikan obat sudah dimakan sesuai jadwalnya. Kedua yang sakit merupakan dua pihak yang paling lemah di rumah kami, yaitu mama dan bayi. Berawal di suatu malam saat mama mulai sakit, dan berbarengan bayi pun demam pasca imunisasi. Berhubung bayi udah jelas penyebabnya, maka tinggal mama yang saya bawa ke dokter dengan tergesa. Keduanya adalah pasien yang sungguh tidak bisa pake self medication. Satunya karena udah lansia, satunya ya karena masih bayi. 

Saya lalu berlarian kesana kemari mengurus berbagai hal bersamaan. 

Lalu Ifa, putri kedua saya juga ambruk. Pasien bertambah.

Ifa meringkuk di samping saya, tidak mau makan apa-apa. Juga kesulitan menelan obatnya. 

Bertambah pula kelelahan yang menerpa saya. Demikian juga kecemasan. Rasanya andai ada kesempatan buat makan, nasi terasa sedemikian seret di tenggorokan.

Fisik saya lalu menyerah. Pandangan mata mulai mengabur seiring badan yang mengkhianati pikiran. Saya masih pengen masak bubur, beberes rumah san mengurus keluarga yang sakit. Saya juga perlu memastikan Atya dan Ifa menjalani hidup normal, betapapun runyamnya situasi di rumah. Tapi saya beneran kalah. Segera saja saya mendapati diri saya terkapar di samping bayi yang masih panas demam. 

Lalu suami juga sakit, bahkan sempat dibawa ke IGD. Saya terhenyak. Bagaimana ini kok ujian sakit ini datang bersamaan. Kami lalu berada pada titik tidak bisa lagi mengurus satu sama lain. Badan memyerah pada kelelahan melawan penyakit. 

Padahal beberapa jam sebelumnya Atya berkata, "Bunda jangan sakit ya Nda, kakak ngga akan bisa tanpa Bunda." 

Saya setuju. 

Bagaimana bisa Atya mengurus rumah beserta lima orang sakit, sekaligus memastikan tugas sekolahnya juga dikerjakan dengan benar. 

"Bunda jangan sakit ya," pinta Atya sekali lagi. 

Saya nyengir, badan udah terasa ngga benar. Tapi saya harus bertahan demi anak-anak. Mereka butuh saya agar terus bertahan. Saya lalu minum air putih yang banyak, dan berdoa agar saya bisa mengatasi segala kesulitan.  Hanya saja ternyata ngga gitu mainnya. 

Saya tetap aja ambruk, pada akhirnya. 

Atya lalu mengambil alih segala urusan. Di lagi hari, ia bersiap ke sekolah, sambil tidka lupa menaruh minum dan makan di sebelah saya. Ia juga mengeluarkan kantong sampah, agar petugas sampah bisa memungutnya nanti. Atya mengurus saliran air, mengelola cucian, memastikan jendela dibuka di pagi hari dan kembali ditutup rapat ketika sore menjelang. Atya juga memastikan segalanya beres dan aman sebelum berangkat. Nanti setelah pulang sekolah, Atya kembali mengurus kami semua. Dan itu engga hanya sehari, melainkan berhari-hari. Sepotong kalimat bahwa 'Atya engga akan bisa' seakan telah lama menguap. Atya menjelma menjadi mini me. Ia mengurus rumah seperti saya. Ia mencurahkan empati dan upaya terbaiknya dalam menjaga kami semua. 

Ketika saya berangsur pulih. Saya memujinya bahwa ia telah melakukan banyak hal beyond expectation. Atya telah menjadi lebih kuat saat berada pada posisi kudu berperan lebih dari biasanya. 

Saya merasa ini adalah episode menarik dari kehidupan keluarga kami. Kadang rasa sakit mengajarkan kita lebih kuat, dengan cara yang tidak kita duga. Ketika hidup tidak memberikan kita banyak pilihan. Ada ruang untuk lebih agile. Ada pilihan untuk bertahan dan menyesuaikan diri. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga