Kaya Narasi

Kedua putri saya sekarang lagi mengikuti festival payung di kota Solo. Acara tahunan yang berlangsung dari tanggal 2 September hingga 4 September. Pas tahu tanggal fix acaranya, saya buru-buru mengecek kalender. Waduh, ini hari sekolah banget ini. Saya segera saja ketar ketir. Bagaimana caranya anak-anak bisa mengikuti acara tari tanpa ketinggalan pelajaran di sekolah. Terutama kakak yang udah kelas 6. Normally, di sanggar tari Syofyani, anak-anak yang lagi di tahun terakhir jenjang sekolahnya, bakalan cuti dulu dari latihan tari. Selain biar fokus ke pelajaran sekolah, agar anak engga kecapean aja. Sebab latihan menari itu sungguh menguras energi. Saya yakin demikian, melihat betapa capeknya anak-anak pas pulang latihan. Saat latihan sih engga kenapa-kenapa anaknya. Malah terlalu gembira saat latihan, jadi engga beras capeknya. Ntar, saat pulang latihan, baru deh, capeknya berasa.

Nah tantangannya di kakak kali ini, kakak engga pengen cuti. Hiks.. 
Padahal cuti latihan adalah hal yang lazim banget. Kakak juga udah sering lihat teman latihannya yang menghilang sejenak karena fokus belajar.

Berhubung kakak beneran tidak mau cuti, jadilah tetap ada latihan rutin di setiap akhir pekan. Terus karena mau ada festival, latihannya makin intens. Jika biasanya hanya 3 jam di akhir pekan. Ini bisa setengah hari, kadang malah nyambumg latihan esok harinya. Hiks.. 
Biasanya kalau begini, anak-anak sudah tertidur di perjalanan pulang, saking capeknya. 

Tantangan kakak di kelas enam ini sungguh berat nian. Selain kurikulum sekolah yang memang kudu tuntas, hafalannya juga harus diselesaikan juga. Saya memberikan kakak kesempatan menari terus tanpa cuti, dengan banyak banget penyesuaian. Semuanya dengan tujuan, kakak engga keteteran pelajarannya. Sejauh ini sih kakak mengikuti panduan belajar saya.

Tapi, pas mau berangkat ke Solo ini, saya ingatkan kakak sekali lagi betapa pentingnya kakak mengutamakan pelajaran sekolah. Selain itu, saya jauh-jauh hari udah sounding ke gurunya kalau kakak akan ada event yang butuh ijin gurunya selama 3 hari. Guru-guru di sekolahnya kakak sebenarnya sangat supportif. Mereka akan sangat mendukung kegiatan anak meskipun di ranah non-akademik. Bahkan sekolah punya database rapi tentang apa saja prestasi non-akademik siswanya. Udah gitu, juga diberikan apresiasi pada siswa yang aktif di banyak bidang. 
Singkat cerita, ijin sekolah udah didapatkam dengan mudah. 

Meskipun demikian, saya tetap meminta kakak untuk pamitan ke gurunya. Pas pilang sekolah sebelum ijin ke festival, saya kira ada baiknya kakak menjumpai gurunya. Meskipun saya udah menyelesaikan permintaan secara formal, bukankah baik kalau anak belajar mengungkapkan keperluannya, lalu minta ijin dan minta doa pada gurunya. 
"Gimana cara kakak ngomongnya Nda?" 
Saya tersenyum pada pertanyaan kakak ini. Sebuah pertanyaan sederhana yang kemudian menyisakan peer menarik bagi saya. 

Peer ini bernama "Kaya Narasi".
Gampang sekali bagi saya mengajarkan kakak cara berbicara. Ini hal yang sepenuhnya normal, dan dilakukan oleh kebanyakan ibu-ibu. Mengajarkan cara berbicara yang santun, udah kayak hal sehari-hari.

Hanya saja, kelak secara bertahap anak perlu memiliki skill bernarasi, keahlian bertutur. Bayangkan jika anak udah punya ide luar biasa, tapi kesulitan menyampaikan ide di kepalanya.

Beberapa hari yang lalu, saya menonton film serial anak berjudul "Bluey" di Disney Hotstar. Dikisahkan bahwa sang adik kepengen mengeluarkan ide tapi entah kenapa susah banget diutarakan. Si kakak karena kasian, selalu sigap membantu adiknya bicara. Untungnya sih, kakaknya ini tahu banget apa yang adiknya inginkan. Jadi engga bikin konflik kakak adik. Hanya saja, tetap saja adik perlu belajar bicara. Si Ibu di film ini meminta kakak menahan diri, agar adiknya belajar mengungkapkan perasaan dan idenya. Kakak setuju. Tapi engga segampang itu prakteknya. Sebab kakak selalu gemes sama adik yang susaaaah banget mau menguntai kata, padahal itu sesuatu yang menurut kakaknya adalah hal sederhana. Singkat cerita akhirnya setelah diingatkan lagi sama si ibu, kakak menahan diri, dan akhirnya adik berhasil mengungkapkan idenya. 
Yeayyy.. 
Bahagianya.
Ini contoh yang sederhana, tapi sangat mengena. 

Betapa penting bagi anak memiliki situasi kondusif dalam mengungkapkan pemikiran. Bahkan untuk hal sederhana, seperti ide bermain. Jika untuk hal sehari-hari saja, anak jadi tersendat berbicara. Bagaimana kelak anak menerjemahkan imajinasinya untuk menjadi sesuatu yang berupa sebuah karya. Imajinasi bisa jadi sesuatu yang mengawang-ngawang tanpa sempat diwujudkan, bahkan tidak pernah diungkapkan pada sesiapa. Alangkah sia-sianya sebuah ide yang (bisa jadi) brilian itu.

Maka anak perlu terus berlatih bernarasj dengan cara yang benar. Mulai dari hal sederhana. Agar kelak segala random ide yang ada di benaknya bisa tertuang mejadi langkah kerja. Dan juga agar kemampuan komunikasinya makin terasah. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga