Memeluk Senja (4)



Catatan: 
Ini bagian keempat dari kisah pensiunnya mama saya. Sebuah perjalanan yang bermakna bagi mama, dan juga saya. 

Bahkan kakek menyiratkan rasa tidak percaya. Berulangkali ia meminta putri sulungnya itu mengecek kembali lembaran pengumuman. Itu adalah sebuah lembar informasi penting yang memuat penempatan guru SD di periode itu. Tetapi mama tidak keliru, nama desa yang asing itu kini telah terpatri di benaknya. Sebuah pemahaman menyapanya akrab. Bahwa di manapun ia bertugas, tempat itu akan menjadi tempat spesial baginya. Sebab disanalah ia akan memulai langkah resmi pertamanya sebagai guru. Sebelumya mama telah mengajar part time di sebuah madrasah tsanawiyah. 

Kakek, yang juga pegawai negeri, sestinya mahfum perkara penempatan ini. Kakek adalah guru agama yang berpindah-pindah tempat entah berapa kali. Beliau patuh pada segala instruksi mutasi yang diberikan. Jadinya mama tidak pernah tumbuh besar di kampung halaman. Melainkan ikut berpindah tempat sesuai penempatan kakek. Akan tetapi, tatkala SK pengangkatan datang bersama surat tugas. Kakek tidak hanya menjadi guru, tapi juga ayah yang tengah melepas putri sulungnya pergi bertugas. Kakek jadi makin resah, sebab nama desa itu belum pernah singgah di telinganya. Duhai, kemana putriku akan berpetualang. Mungkin begitu kira-kira suara hati kakek.

Hanya sesaat saja. Sebab sejurus kemudian kakek kembali pada keteguhannya yang biasa. Betapapun cinta yang tebal pada anak sulung yang kini telah jadi guru itu. Namun pengabdian senantiasa berada di bagian depan. Cinta pada ilmu, anak didik dan harapan pada kemajuan bangsa, mengalahkan keraguannya pada sebuah nama desa yang asing. 

Mama lalu bertugas dengan semangat yang tidak pernah goyah. Betapapun desa itu terasa jauh sekali dari rumah. Hanya ada satu kendaraan berupa minibus yang masuk ke desa itu. Ia akan membawa penumpang yang berkepentingan ke pusat kabupaten pada pagi hari. Dan akan kembali ke desa itu pada sore harinya. Dengan kondisi itu, semua yang keluar masuk ke desa itu, praktis perlu menyesuaikan dengan jadwal transportasi tersebut. Termasuk jika mama ingin pulang kampung berjumpa kakek dan nenek. Mama mungkin akan berangkat pagi hari, lalu paling cepat kembali dua hari kemudian. Kondisi sulitnya perhubungan yang membuat mama tidak leluasa berpindah-pindah.

Lalu mama menikah dengan papa yang asli penduduk desa setempat. Lalu kami, saya dan kakak laki-laki, pun lahir ke dunia. Sementara urusan transportasi tidak juga menunjukkan tanda kemajuan sedikitpun. Jalanan masih berbatu dan jadwal transportasi masih sama. Satu satu sudah mulai  ada yang memakai sepeda motor, tetapi masih terbilang jari. Oh ya, sepeda tidak jadi pilihan kendaraan di sana. Mengingat kontur perbukitan dan kondisi jalanan yang sungguh tidak seiring sejalan dengan niat bersepeda. Naik sepeda mungkin mempercepat, tapi sekaligus mengandung penderitaan tersendiri. 

Waktu bergulir sedemikian cepat. Saya lalu telah menyelesaikan sekolah dasar dengan penuh kebosanan. Soalnya saya udah duluan belajar segalanya sejak bisa berjalan. Entah ini privilege jadi anak guru yang ngintilin ibunya kemana-mana atau malah sebuah tantangan yang gagal ditaklukkan. Saya beralih ke sekolah menengah. Sedangkan perkara transportasi hanya bergeser sedikit saja. Kini minibus sudah tidak ada, pun jalanan sudah lebih baik. Angkutan pedesaan kini berupa mobil colt yang lazim disebut oto jetstar di kampung kami. Jumlahnya lebih banyak, namun jam keberangkatannya tidak bisa ditentukan. Oto jetstar akan menunggu penumpang penuh terlebih dahulu sebelum ia beranjak ke kota, demikian juga sebaliknya. Ini jadi sebuah masalah tersendiri. Karena sebenarnya tidak banyak orang yang berkepentingan ke kota. Alhasil waktu menunggu jadi sangat lama. Bisa dua atau tiga jam. Ini yang membuat orang tidak bepergian jika tidak perlu sekali. 

Lalu saya selesai dengan sekolahan, lalu berangkat kuliah di ibu kota provinsi. Meninggalkan mama di tempat yang sulit untuk bepergian. Kabar baiknya, desa yang tadinya asing itu segera saja telah menjadi tempat yang nyaman dan menentramkan. Yang kemudian membuat mama memutuskan beli tanah dan membangun rumah di sana. Kami secara permanen telah berakar di desa itu. Meski saya sendiri sebagai anaknya papa, yang penduduk asli, secara de facto udah jadi bagian dari desa itu. 

Baru kemudian setelah ada leasing motor, orang lalu banyak yang pakai motor. Tren ojek pun masuk ke desa kami. Lalu tiba-tiba saja, orang jadi mudah bepergian. 

Lalu apa hubungannya urusan transportasi ini dengan mama di usia pensiun? 

Jangan salah, ini erat sekali kaitannya. 

Seperti yang saya ceritakan di part (3), mama memilih aktif sebagai pengurus PKK kabupaten. Mama lalu mendapati bahwa ia menjadi bagian dari tim perubahan. Tim yang mengunjungi masyarakat dari tiap lapisan. Tim yang datang ke setiap desa yang ada di wilayah kabupaten kami. Lantas mama berpergian dengan intens. Tidak ada desa yang tidak ditempuh, tidak ada belokan yang luput, dan semuanya menjadi pengalaman berharga. 

Betapa di usia pensiun, ada banyak pengalaman baru terserap. Dan juga ada petualangan yang dulu tidak terbayangkan. Jika dulunya butuh dua hari untuk menempuh dua desa bolak balik. Kini, dalam dua hari, banyak desa bisa ditempuh. Lebih banyak lagi wawasan baru. Dan tentunya harapan. 
Tentang hal-hal yang dulu tidak sempat dikerjakan, kini menjadi hal yang sedemikian lumrah. 

Jika urusan berkendara saja, yang dulu terasa pelik, kini sudah jadi sesuatu yang selow. Maka ada banyak hal lain yang kini menemukan muara jawabannya. Senja begitu kaya warna. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga