Memeluk Senja (2)



Ngelanjutin cerita kemaren tentang mama yang mau pensiun. Sebenarnya mama pensiun saat putri pertama saya udah lahir. Saat mama pensiun usianya setahun lebih dikit. Meskipun ada cucu sebagai teman bermain, namun kami tidak pernah menjadikan kegiatan mengasuh cucu sebagai opsi menjalani masa pensiun. Simply karena ya engga pada tempatnya saja. Mama perlu punya ritme hidup yang sesuai dengan usianya. Sementara anak saya merupakan tanggung jawab saya yang tidak sebaiknya dilimpahkan begitu saja ke mama. Main sama cucu boleh, tapi ya sekadar main begitu saja. 

Dan kelak akhirnya memang begitu. Saat mama bersama kami, bude pengasuh yang memandikan dan mengurus makan pagi anak. Lalu setelah rapi, baru deh main sama neneknya. Pun nanti siang saat tidur siang juga begitu, demikian juga sore, hingga saya pulang bekerja. Segala keperluan anak-anak diurus bude pengasuh. Mama mengawasi dan bermain saja. 

Nah balik ke pensiunnya mama. Akhirnya mama pensiun. Mama mengakhiri perjalanan mengajarnya yang sungguh kaya cerita. Ada nuansa yang berbeda dari generasi awal mama mengajar, dengan generasi di bawah saya. Jika dulu, saat awal pengangkatan, mama sebagai guru pendatang merupakan center of universe bagi segenap murid, wali murid dan juga penduduk desa. Kehadiran guru dari jauh merupakan berkah yang dijaga dan dirayakan. Sehingga penyambutan kedatangan guru senantiasa hangat dan berkesan. Murid akan memandang gurunya dengan mata berbinar. Setiap kalimat yang keluar dari bibir guru adalah mutiara ilmu yang digenggam erat sebagai bekal hidup. Guru adalah sosok yang dicintai dan dibanggakan. Rasa cinta yang melekat dan tidak terlupakan. Lalu sehari-hari di lingkungan masyarakat, sang guru adalah bagian penting. Guru adalah sosok yang mengembangkan PKK di desa tersebut. Ia membawa ide baru dan menggerakkan PKK dengan giat. Demikian juga dengan kegiatan di masjid-masjid. Ada peran serta guru yang intens di dalamnya. Tidak jarang juga, guru pun menjadi ulama yang membagikan hikmah di podium masjid, mengisi ceramah selama bulan Ramadan dan membuat aneka aktivitas bagi anak dan remaja masjid. Belum lagi kalau ada kegiatan tahunan di desa tersebut. Hampir bisa dipastikan ketua panitianya adalah guru tadi. 

Segala bentuk cinta dalam kelas dan  kontribusi yang tulus pada masyarakat, membentuk ikatan yang erat dan lekat di kenangan. Buktinya, hingga sekarang, murid mama dari masa lampau itu, masih memiliki cinta sedalam dan sekaya sebelumnya. Beda sekali dengan masa-masa saya menjadi murid. Saya tidak mengalami cinta sekuat itu pada guru. Berkesan iya, tapi ya begitu saja. Kalah jauh dengan keakraban mama dan muridnya. 

Saya mengira, keberadaan macem-macem distraksi yang merenggangkan ikatan. Tentu saja tetap ada rasa hormat dan kagum pada guru. Betapa tidak, mereka lah yang meletakkan dasar ilmu, mengajari adab yang crucial dalam kehidupan dan membentuk karakter. Betapa tidak akan cinta. 

Hanya saja udah ada siaran televisi yang menarik ketimbang ngikutin ibunda guru. Hiks.. lalu ada sandiwara radio yang meski lewat suara saja, suasana tegangnya tetap begitu kental. Guru tidak lagi jadi center of universe. Apalagi ketika listrik sudah masuk desa, lalu tetiba siaran tv jadi bertambah dengan adanya stasiun tv swasta. TV lalu menghadirkan jenis hiburan yang tidak terhingga banyaknya. Lalu mendadak jadi banyak pula pilihan kegiatan yang bisa diadakan. Sebagai akibat dari membanjirnya informasi. Ide-ide melesak memenuhi kepala anak dan remaja, dan menuntut untuk dipenuhi. Ilmu juga bisa berasal dari tv, tidak lagi semata dari guru. Saya kira ini yang jadi penyebab utamanya. 

Ketika mama telah memiliki ratusan murid yang membawa cinta kemanapun mereka pergi, mama lalu pensiun. 

Pagi pertama pun datang. Setelah selesai sholat dan mengaji hingga lama, mama melongok keluar jendela lalu terkesiap. Mama merasa telah kelamaan mengaji hinga lupa waktu. Anak-anak berbaju merah putih telah ramai di jalan sana, sementara mama belum siap. Sejenak saja rasa kaget itu. Sebab sejurus kemudian mama ingat bahwa kini ia telah pensiun. Rasa kaget itu sirna. Berganti rasa nelangsa.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga