Memeluk Senja (11)



Setiap aksi perubahan berasal dari kegelisahan. Hati yang gelisah akan situasi janggal yang terjadi di sekitar adalah turning point sebuah aksi. Pada titik tertentu, hati yang berempati pada sesuatu yang tidak pas, akan berusaha mencari jalan keluarnya. Inilah benih dari sebuah gerakan kebaikan yang kelak akan mengubah kejadian sejarah. Jalan keluar ini biasanya unik dan mampu menggoyang sebuah kemapanan. 

Mama menemukan kegelisahannya pada tiap hari Selasa pagi. Itu adalah hari pengambilan sampah untuk jalur rumah kami. Pada pagi Selasa itu, akan ada lima orang petugas yang berkeliling dengan mobil bak. Mereka akan bekerja dengan sigap. Dengan lincah dan sistematis, mereka mengosongkan bak sampah di depan rumah warga. Seketika itu, segala ragam sampah dalam bak plastik abu-abu, beralih ke dalam bak. Lantas setelah bergabung dengan keseluruhan sampah warga, mereka akan melanjutkan perjalanan ke tempat pembuangan sampah. Inilah sumber kegelisahan itu. Bahwa aneka sampah itu, mulai dari mainan anak yang rusak, hingga ke kantong kemasan makanan beku, semuanya berangkat tanpa terkecuali ke tempat pembuangan. Rumah memang bakalan bebas sampah, tapi bagaimana dengan tempat domisili baru sampah kita? Di sana, tinggal hitungan waktu belaka, tempat itu akan menjadi gunung sampah.

Mama memikirkan betapa dulu kami akrab dengan program mengurangi sampah. Kami hanya membeli barang sesuai kebutuhan,  merencanakan alih fungsi barang untuk memperpanjang usia pakai suatu barang.  Juga mengurangi sampah dengan segala daya. Kami membawa botol minum kemana-mana juga menyiapkan wadah segala bentuk agar nanti tidak perlu menerima kantong plastik. Belum lagi jika bicara tentang komposting. 

Jika menilik tempat sampah di dapur, sebagian besar isinya adalah bahan organik yang bisa didaur ulang. Andai kita bikin sop, maka akan ada kulit wortel dan kulit kentang. Jika mengupas buah, akan ada kulit buah, yang kadangkala volume kulitnya lebih banyak ketimbang yang dimakan, hiks.  Maka di rumah kami di Jakarta, kami sudah lama mengelola sampah organik dengan metode osaki. Metode ini lebih sesuai dengan rumah kami yang perlu rapi, bersih dan tidak boleh berbau.
Dengan segala usaha ini setidaknya kami mengurangi sampah hingga 80%. Keren kan.

Ini yang membuat mama termangu menyaksikan mobil bak sampah membawa pergi semua sampah kami. 

Oh ya, sebenarnya engga semua sampah juga. Di rumah, sebagian sampah organik masuk ke tempat yang khusus digali. Terutama kulit durian. Sudah dipastikan akan masuk ke lobang sampah di belakang rumah. Bayangkan aja jika kulit dari 10 buah durian dibawa ke mobil sampah, sudah berat, berduri pula. Huhuhu... Sudah kebayang betapa beratnya kerjaan petugas sampah.

Mama menyampaikan kegelisahannya pada saya. 
Ada sebuah tantangan bernama tata kelola sampah yang bisa di-upgrade. Lalu ada ilmu yang bisa diterapkan, pun ada niat membagikan ilmu tersebut tanpa pamrih. Juga ada yang paling penting, ada visi yang jelas dari gerakan tersebut.
Masalahnya hanya satu, dan ini yang diaduin mama via telpon ke saya. Karena saya sudah kembali ke Jakarta. 

"Mama tidak tahu bagaimana cara memulainya."
Demikian keluh mama. 

Saya terdiam tanpa bisa menyodorkan saran. Juga tidak bisa memberikan dukungan. Karena yang dipertanyakan mama adalah sesuatu yang bersifat setengah magis. Perlu ada sebuah momentum untuk itu, karena mama berurusan dengan kebijakan yang menyangkut hidup orang banyak. Saking rumitnya urusan ini, ada buku yang berjudul 'Tipping Point"..

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga