Analisa yang Mandeg

Selain punya dua guru berharga tentang menganalisa sesuatu, sebenarnya ada banyak kejadian lain di masa silam yang mendidik saya untuk mampu menganalisis. 

Saalh satunya adalah ketika saya masih berusia lima tahun. Saat itu kami baru saja pindah mengikuti tugas mutasi mama. Kami yang biasa bermandikan terang listrik, mendadak memasuki kegelapan. Literally gelap, karena desa  baru kami itu belum dialiri listrik. Bahkan akses jalan ke desa itu masih jalanan berbatu-batu besar sebesar kura-kura. Di malam senyap pertama itulah, saya mendengar suara "uhu" yang seram. Saya menciut ketakutan. Demi melihat saya yang diliputi rasa takut, alih alih memeluk, Apa malah mengambil senter. Kemudian beliau mengajak saya keluar rumah. Saya jeri tapi sekaligus tertarik. Sejurus kemudian, kami sudah melangkah di bawah naungan daun-daun gelap. Cahaya bulan tidak ada malam itu. Demikian juga gemintang seolah kompak menyembunyikan diri di balik awan tebal. Lalu suara itu datang lagi, kali ini bersahutan. Saat itulah Apa menyorotkan senter agak tinggi, nun ke sebuah dahan rendah. Saat mata besar menyambut pandangan mata saya yang disaput cemas. 

Di sanalah burung hantu pertama kali saya lihat. Ia begitu menggemaskan walau suaranya tadi membuat saya gentar. 

Itulah pelajaran pertama saya tentang critical thinking. 

Ada banyak lagi, begitu banyak kejadian yang kalau saya ingat-ingat merupakan panduan orang tua saya tentang kemampuan menganalisa sesuatu.

Hanya saja begitu waktu berlalu, ada yang terasa janggal. Dan sayangnya sebagaimana ungkapan yang lazim kita dengar, penyesalan selalu datang belakangan. Saya lalu menghabiskan waktu banyak membaca segala hal, dan mengerjakan tugas sekolah. Selain dua hal itu, tidak banyak yang saya kerjakan. Saya melewati masa SD dan sekolah lanjutan pertama dengan menghafal begitu banyak informasi dan tetiba saya terhenyak pada pertanyaan dewan penguji di tingkat kecamatan. Saya waktu itu tengah disidang tim penilai. Penilaian wawancara yang saat itu merupakan tahapan akhir dari banyak rangkaian tes. Saya mendapatkan pertanyaan yang tidak mampu saya jawab. 


"Sebagai tim K3 di sekolahmu, apa hal baru yang kamu lakukan?" 


Saya ternganga. 

Saya tidak siap dengan pertanyaan itu. 


Tanya saja saya tentang segala ilmu yang wajib diketahui siswi kelas menengah pertama. Niscaya saya akan saya jawab. Atau biarkan saya menceritakan berbagai pengetahuan umum, yang saya simak di berbagai buku dan tayangan televisi. 


Sayangnya pertanyaan kali ini engga gitu. Ia mempertanyakan seberapa saya membaca alam. Alam yang justru berada di bentang mata saya. Sebuah pemandangan yang saya lihat sepanjang hari, saya nikmati suasananya, dan saya menerima segala dampak yang terjadi di dalamnya. 


Saya terdiam karena jangankan berbuat sesuatu, bahkan saya tidak pernah memikirkannya.

Lalu saya pulang dengan sedih. Saya duduk nelangsa di atas angkutan pedesaan. Tidak hanya mengetahui saya telah kalah, namun juga memeluk pemahaman bahwa saya tidak punya rasa kepedulian sedikitpun. 


Sekolah saya adalah sekolah yang berdiri di laham subur, saking suburnya, rumput menghijau dengan segera bahkan saat baru saja dipotong oleh mesin potong rumput. Selain deretan akasia, dan beberapa pot bunga di depan ruang kepala sekolah, tidak ada jenis penghijauan yang berarti. Jangan tanya soal kebersihan sekolah. Semuanya rapi bersih tapi sepenuhnya kerja keras pak Yani, petugas kebersihan kami. Zonder keterlibatan siswa, yang seharusnya bisa saja berbuat sesuatu. Padahal saya adalah anak petani, pemilik pondok kabin berhias bunga dan lereng dipenuhi sayur mayur yang segar. Saya terbiasa dengan tumbuhan beraneka ragam, saya paham tabiat tanaman dan strategi mengurusnya. Seharusnya tidak sulit membuat sebuah perubahan. 


Satu hal lain yang bikin suasana makin galau adalah fakta bahwa mama, dimana pun beliau mutasi, selalu membuat perubahan. Sesuatu yang gagal saya tiru.  

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga