Hari Yang Selalu Terlupakan

Entahlah, saya merasa ada semacam paradoks dalam diri saya. Saya senang mengingat masa lampau. Bahkan teman-teman di komunitas udah tahu banget kalau saya suka mendongengkan kisah-kisah di masa silam. Saya merasa pengalaman di masa lampau bagus buat dijadikan refleksi diri. Lalu jadi panduan bersikap di masa mendatang. Setidaknya jadi cermin agar tidak mengulang kesalahan yang sama. 

Bagi saya, kenangan masa lalu terlalu menarik buat diabaikan. Kadang jika saya di tengah perjalanan, lalu memandang ke luar jendela, benak saya telah melayang ke masa lampau. Fragmen demi fragmen lalu diputar ulang. Saya melihat lagi segala peristiwa masa lampau. Lalu hal-hal penting seakan bersinar agar saya lebih memperhatikan. Terbentuklah mutiara-mutiara hikmah, yang kemudian saya raup dan peluk dengan erat. 

Segala kisah masa lampau itu sering saya tuangkan pada berbagai tulisan. Juga sering saya sebut-sebut di berbagai seminar atau zoom meeting. Ini yang bikin teman-teman saya hafal banget dengan style saya. 
Pendongeng udah jadi semacam middle name bagi saya. 

Meskipun saya kerap berpindah ke masa lalu, tapi saya tidak sering mengingat tanggal. Saya biasanya hanya ingat ulang tahun mama, suami, dan anak-anak. Sisanya luput dari keseharian. Termasuk ulang tahun saya sendiri.
Mungkin karena memang ga banyak juga yang mengucapkan selamat ulang tahun. Biasanya hanya mama, suami dan ipar. Udah gitu aja. 
Jadilah saya seringkali lupa. 

Termasuk hari jadi pernikahan. 25 September kemaren, saya baru ingat setelah pukul sepuluh malam. Saya lalu bilang ke suami yang ternyata juga lupa. Biasanya suami ingat dan ngingetin saya. Tapi kali ini kami sama-sama tersita perhatiannya. Saya lupa entah ada apa di hari itu. Tapi setelah ingat pun, tidak gimana-gimana juga sih. Tidak ada perayaan yang istimewa. Sesekali kami akan makan bersama di luar. Hanya sebagai penanda belaka. 

Hanya dalam hati di tiap anniversary, saya selalu mengingat hal-hal penting tentang pernikahan. 
Bahwa pernikahan adalah menggenapi agama. Ia adalah ibadah yang paling panjang waktunya. Sebagai sebuah ibadah, pernikahan perlu ditanggapi penuh keseriusan dan keikhlasan. 
Serius dengan niatnya dan serius dengan menghadapi tantangan. Ikhlas menjalani segala liku-likunya. Kemudian terus ingat dengan komitmen sejak awal. Makin lama menikah, makin terasa betapa menikah memang sejatinya ibadah.

Segala sesuatu yang terasa bagai kata mutiara di awal-awal menikah, lambat laun menemukan pembuktian. 

Saya kira tiap orang akan menemukan tantangan sendiri dalam pernikahannya. Lalu kemudian mengambil mutiara hikmah berharga dari sana. 

Saya berharap setiap pasangan yang tengah menempuh badai, agar selalu ingat bahwa segalanya adalah ujian. Dengan bersabar dan terus berpikir jernih, temukanlah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ruwet. Kelak jika lulus dari ujian itu, kita akan jadi lebih kuat. Kemudian juga jadi bersyukur bahwa saat dilanda cobaan berat, kita tidak mundur dan putus asa. Percayalah bahwa kelak akan ada buah manis dari setiap perjuangan.  Saya berharap tiap pasangan yang telah melewati badai dengan sukses, agar terus mawas diri. Karena perjalanan pernikahan akan selalu diwarnai berbagai tantangan.

Saya berharap dalam pernikahan yang bahagia, akan tumbuh anak-anak yang bahagia pula. Rumah yang bahagia akan menyebarkan kebaikan yang luas. Bukankah akan jadi sangat indah. Jika banyak rumah yang berbinar dengan cinta di dalamnya lalu ikut menyinari rumah tetangga, dan terus sampai jauh, jadi bermanfaat bagi banyak orang lainnya. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga