Berangkat ke Sekolah

Mari kita sebut namanya Ibu L. Pada suatu, ia minta ijin pada mama yang saat itu menjadi kepala sekolah pada SD di kaki gunung.

Ibu L.bilang gini,

"Ibuk jangan marahin anak saya ya kalau pas nyampe di sekolah, bajunya kotor." 

Mama tidak langsung mengerti. Sehingga ibu L menjelaskan lebih lanjut. 

Ia mengisahkan tentang rumahnya yang berada di punggung gunung. Rumahnya yang menjadi pembatas antara lahan perkebunan penduduk desa dan hutan rimba raya. Artinya jika diukur dari sekolahan, anaknya adalah siswa terjauh. Perkara jauh aja sudah sedemikian valid. Apalagi jika membahas tentang faktor situasi di jalan.

Jika di masa sekarang, orang berjibaku dengan kemacetan. Bayangkan anak-anak ibu L, keluar dari rumahnya sehabis subuh. Mereka melintasi jalanan yang ada di hutan. Kiranya kita semua mahfum tentang jalanan di dalam hutan. Bahkan jalan setapak pun bukan. Mereka semata bisa sampai sekolah, sudah merupakan prestasi yang luar biasa. Bayangkan banyaknya semak belukar yang dilintasi, tumbuhan berduri atau semak gatal, jalanan terjal yang sebenarnya terjal, dan segala macam hewan yang bisa membahayakan jiwa. Harap diingat, mereka masih anak SD.

Ketika berbagai bentuk rintangan khas milik rumba telah usai mereka atasi, sampailah mereka di jalan desa. Mereka terusss menuruni gunung hingga sampai di sekolah. 

Di titik krusial inilah, yang dimaksudkan oleh Ibu L. Beliau meminta kepala sekolah dan segenap guru untuk pengertian pada kondisi anaknya. Rambut mereka mungkin telah kusut akibat tersangkut semak, atau ranting dahan yang rendah. Sehingga meski telah dijalin rapi di rumah, tetap akan kusut dan bertabur dedaunan. Demikian juga lengan baju yang bergetah, karena gesekan dengan daun dan belukar, tidak bisa dielakkan. Sudah barang tentu rok dan celana akan sama juga nasibnya. Dan yang paling malang, adalah sepasang sepatu. Bertanah, bertabur daun dan kumal. Apa yang bisa kita harapkan dari sepatu yang menuruni gunung sehabis subuh. Selain ada jejak semangat belajar yang tiada banding, dan keteguhan hati menuntut ilmu. 

Mama masih sering mengenang cuplikan obrolan dengan wali murid yang satu itu. Dan mama kerap memuji betapa luar biasa anaknya Ibu L. Anak-anak ibu L kesemuanya bersekolah dengan tangguh dan berani. Bahkan bisa nongol di gerbang sekolah aja, sudah merupakan prestasi tersendiri. Mereka adalah bukti bahwa memang ada anak yang sedemikian senang belajar. Harap kita ingat bahwa anak-anak ini turun gunung dengan sepatu berlumpur. Kelak di siang hari nanti, saat sekolah usai, mereka mendaki gunung untuk pulang ke rumah. Wahai, betapa kuat kaki yang berjalan jauh itu. 

Perjuangan anaknya Ibu L tidak bisa kita pungkiri. Bahwa anak-anak kadang bertemu dengan situasi challenging kayak gitu. Hanya saja tidak lantas membuat kita menyerah begitu saja. Juga tidak membuat kita kehilangan arah. 

Anak-anak zaman sekarang, memang tidak lagi perlu berlari jauh. Lalu menahan kaki yang pegal akibat jalan jauh setiap hari. Namun mereka punya perjuangan sendiri. Karena tantangan zama yang berbeda dan isu-isu lingkungan berkelebat secepat kedipan mata. 

Putri saya misalnya, sudah berada disekolah, pada puku enam pagi. Lalu bwrjibaku dengan materi pelajaran. Hingga nanti sore pukul setengah tiga.  Mereka membenamkan kepalanya ke buku. Menyerap ilmu yang dulu kita pelajari di bangku SMP. 

Yha, anak-anak jaman sekarang mungkin tidak lagi cemas akan perjalanan ke sekolah. Namun bisa jadi mereka cemas takut tidak diterima atau dibullly. 

Seperti halnya Ibu L, kita hanya perlu tangguh mendampingi. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga