Lupa yang Sebenarnya Lupa

Tiga minggu yang lalu, saya menemani mama ke suatu arisan. Sebenarnya mama berangkat duluan, karena saya perlu ikut rapat wali murid di sekolahnya anak-anak. Saya baru bisa menyusul tiga jam setelah mama berangkat. Jadinya saya ketinggalan banyak cerita. Tapi ya tidak apa, karena ada mama yang ntar bisa bantu update kabar. 

Salah satu kabar yang diobrolin mama pas kami pulang, adalah tentang undangan pernikahan. Undangan itu dari salah satu anggota arisan. Dan mama ingin sekali datang. Masalahnya, kami jarang bisa hadir di acara pernikahan. Resepsi biasanya digelar di hari Sabtu atau Minggu, hari dimana pak suami sibuk bekerja hingga malam. Sulit meminta waktu senggangnya untuk pergi kondangan. 

Tapi kali ini beda. Menilik berbagai jadwal antara suami dan anak-anak, tanggal diadakannya resepsi itu pas banget lagi senggang. Udah gitu, gedung pernikahannya tidak jauh-jauh amat dari rumah. 
Saya menandai tanggal, tanda bersiap untuk hadir.

Namun malangnya, undangan itu menghilang entah dimana. Tidak ditaruh di ruang tamu, atau dimana saja agar terlihat jelas.

Lalu hari berlalu terus. Sekian banyak agenda terlewati, pun ada banyak orang yang datang dan pergi. Hari demi hari terasa penuh dan melelahkan. Jika pukul sepuluh malam, rasanya badan seakan kehabisan energi. Hanya bantal saja yang menguasai pikiran. 

Lalu hari Senin datang. 
Saya menyesap kopi yang diberi sedikit susu. Sementara mama scrolling chat di WhatsApp. Itu adalah pagi yang senyap, sesaat setelah anak-anak berangkat ke sekolah, sebelum putri bungsu terbangun. 
Tiba-tiba mama terkesiap. 
Mama berseru, "Kita lupa datang ke acara pernikahan di Pertanian." 
Mama mengacu ke gedung Pertanian di daerah Ragunan. Seharusnya tadi malam kami menghadiri undangan yang kami terima tiga minggu yang lalu. 
Hiks. 
Tapi kami lupa.
Sebenar-benarnya lupa.
Bagaimana bisa lupa, padahal sibuk sekali merencanakan. 
Bagaimana lupa padahal kemaren malam tidak ada agenda apa-apa, melainkan leyeh-leyeh belaka. 

Tapi tidak ada alasan lain. 
Hanya lupa. 
Begitu saja. 
Kami berdua lalu tenggelam dalam sesal. 

Beberapa saat berikutnya, saat saya hendak menyuapi anak ketiga. Saya terkesiap. 
Saya baru saya menemukan situasi lupa yang kedua. 
Biasanya, sebelum tidur, saya akan menyimpan lauk di kulkas. Lalu besok pagi dipanaskan. Tapi semalam, sata tidak melakukannya. Padahal saya makan agak telat. Seharusnya usai makan, saya langsung simpan di kulkas.
Kini pesmol ikan kakap yang lezat itu, telah basi. 
Hiks..
Padahal kuahnya saja sudah enak sekali. 
Saya lalu misuh-misuh engga jelas. 

Terus duduk bareng mama di ruang tamu. 
Saya menutup renungan. 
"Yaudahlah Ma, namanya juga lupa."
Saya berkata datar. 
Mama berkata bimbang, "Nanti kalau ditanya kenapa kita tidak datang kondangan, kita akan jawab apa?" 
"Ya, bilang aja lupa." 
Saya tertawa.
Ya masak mau bohong.
Kan emang beneran lupa. 
Tapi sembari menyatakan itu, saya juga sadar kalau itu adalah jawaban yang ngeselin. 
Asli menyebalkan. 
Lalu sebentuk pemahaman melintasi pikiran saya. 
"Nanti Ma, andai ada orang yang tidak memenuhi janji pada kita, dengan alasan lupa, kita harus maafkan yah Ma. Sebab lupa memang situasi yang mungkin saja terjadi." 
Mama mengangguk setuju. Lalu mama menimpali, bahwa ini seperti hanya orang yang tertidur, atau orang yang lupa kalau puasa terus minum seteguk air. 
"Jika Allah memaafkan seteguk air yang kita minum saat puasa, atas nama lupa, maka kita mestinya juga pemaaf jika ada yang lupa." 

Saya kira idealnya memang demikian.
Namanya juga lupa.

Akan tetapi, saya masih belum memaafkan diri sendiri sebenarnya. 
Di tengah banyak aplikasi reminder di smartphone, kenapa tidak memasukan agenda resepsi itu. 
Harusnya mengikuti saran Mushashi. Bahwa sebaiknya kita tidak melakukan hal-hal yang akan kita sesali. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga