Alpukat dan Segala Perbedaan

Tidak banyak jenis buah yang saya nikmati di masa kecil. 

Pisang adalah jenis buah yang paling sering ada di rumah. Soalnya desa kami adalah desa penghasil pisang. Jika kita berada di daerah ketinggian, lalu memandang jauh ke bawah, maka hamparan daun pisang terlihat sejauh mata memandang. Engga usah jauh-jauh deh. Apabila kita membuka pintu depan, segera saja mata menangkap pohon pisang dengan buahnya. Jadinya pisang nyaris selalu ada di rumah. Untungnya pisang yang tumbuh di desa, punya citarasa yang legit. Daging buahnya pulen dan enak sekali. Menyenangkan sekali memakan pisang, yang tidak kenal waktu santap ini. 

Selain pisang, buah desa lainnya semacam jambu, kuweni, atau kedondong, tidak pas di perut saya yang pengidap gerd sejak belia. Ya biasanya tetap dimakan sedikit, karena penasaran. Tapi udahannya meraung-raung kesakitan.

Jadi buah-buahan dengan rasa asam yang tinggi, biasanya saya skip. 

Terus karena di desa yang akses transportasinya tidak lancar, tidak banyak pula jenis buah yang beredar di kampung kami. Biasanya hanya buah-buahan lokal desa saja. Jangan sebut-sebut perkara semangka atau apel. Karena itu hanya ada di kota kabupaten. Dan harganya sedikit di luar jangkauan budget bulanan keluarga. Sehingga saat bicara buah, mereka seringkali tidak disebut-sebut. 

Selain buah-buahan di atas, ada buah musiman yang biasa ada di desa. Dan seringnya berbuah barengan kayak udah janjian sebelumnya. Mereka adalah rambutan, mangga dan durian. Saat musimnya datang, banyak orang yang gembira..karena bisa puas-puasin makan buah musiman. Masalahnya, terhadap grup buah musiman ini, perut saya masih tidak bisa menerima. 

Kabar baiknya, di antara banyak buah yang ngga cocok itu, ada buah khas desa yang saya sukai. Dan terlebih penting, buah itu pas di perut saya yang suka milih teman ini. 

Daging buahnya yang lembut dan creamy, sangat menyenangkan saat melintasi mulut. Rasanya tidak semanis rambutan, tapi pas di lidah. Enaknya sungguh tak terkira. 

Ia adalah buah alpukat. 

Ketika di rumah ada buah alpukat, saya akan senang sekali. Segera saya akan menyiapkan gula merah. Alpukat enak sekali jika disendok ke mangkok lalu di atasnya diberikan irisan halus gula merah. Wuihh... 

Kombinasi rasanya juara banget. 

Manis dan creamy. Rasanya kaya sekali. 

Meski menurut lidah saya, alpukat cocok dengan gula merah. Tapi alpukat akan pas aja jika disandingkan dengan apa saja. Bisa susu kental manis, gula pasir atau sirop. Semuanya punya kekhasan sendiri-sendiri.

Begiti saya besar dan banyak bepergian..olala.. ternyata alpukat bisa masuk ke beragam jenis masakan. Sebagian di antaranya beneran mind blowing. Saya biasanya mengamati dengan penuh rasa heran.

Oo bisa ya, alpukat diproses begini begitu.

Alpukat lalu menjadi buah yang paling saya sukai. 

Masalah datang saat saya menikah. Suami ternyata tidak suka alpukat. Bahkan sampai ke level ngga mau lihat alpukat, dan lebih engga lagi, melihat jus alpukat di dalam gelas. Ia bisa merinding dan kabur. 

Hiks.. 

Lalu gimana nasib saya yang menahbiskan alpukat sebagai buah favoritnya. 

Butuh waktu hingga ketemu solusinya yang sangat sederhana. Yaitu komuniksi. 

Sebenarnya ya tinggal bilang aja kan ya.. terus dibahas startegi perilaku terhadap keberadaan alpukat. 

Kabar baiknya, mertua punya varietas alpukat mentega kualitas juara. Lebih baik lagi, mertua bisa memaksa suami membawakan alpukat untuk saya.

Yeayyy


Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga