Kerjaan yang Membahagiakan

 Suatu ketika, pada suatu hari kerja yang terlalu menguras tenaga. Saya menempelkan wajah di kaca jendela bus. Well, memang tidak higienis sih in ya, tapi ya kalau lagi galau gitu, kan ngga kepikiran juga. Saya lalu sibuk memperhatikan aktivitas yang sangat beragam di luar sana. Sementara bus merangkak lambat di jalanan yang macet, saya menyaksikan berbagai parade kegiatan orang-orang. 

Sebagian besar adalah pekerja semacam saya yang pulang dengan style masing-masing. Ada yang kabel headset melekat di telinga, lalu melangkah nyaman di pedestrian yang nyaman. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk ritmis. Tentunya ia tengah menikmati lagu yang hanya berkumandang di telinganya. Ia adalah jenis karyawan yang pulang berjalan kaki. Ini sama kayak saya dulu, saat masih ngekos di benhil. Lalu ada juga yang setengah berlari, dengan bawaan yang digenggam erat. saya bisa menebak dengan nyaris akurat bahwa ia pastilah tengah berlari menuju stasiun kereta Sudirman. Soalnya ada jadwal kereta yang perlu diburu, agar pulang tepat waktu.  Ada juga yang melangkah santai bersama teman-teman. Sambil menuju ke halte, serata ngobrol seru. Saya menikmati segala pandangan itu. Akan tetapi ketika sudut mata menangkap petugas taman kota yang tengah mengurus bunga. Saya seketika iri.

Saat itu saya berada di titik terendah. Psikis dan fisik saling berlomba mengadukan kesusahannya masing-masing. Dalam situasi itu, terbersit pikiran, betapa enaknya situasi si tukang taman. Ia pastilah tidak sesulit saya ini hidupnya. Akan tetapi, dalam hitungan detik, saya meralat pikiran itu. Lalu istighfar. Saya telah menghilangkan keharusan bersyukur, dan juga ketangguhan menghadapi tantangan. Petugas taman kota, dan juga semua orang di luar sana, menghadapi pertempurannya sendiri. Yang beda adalah medan dan situasi yang menyertainya. wajah saya tetap menempel di kaca, namun saya kini memejamkan mata, berharap agar nanti pas turun bis, saya sudah jauh lebih kuat. 

Itu kisah lama, sekitar tujuh tahun yang lalu sebelum saya resign. Tapi tadi saya kembali menjumpai petugas dinas pertamanan, dalam situasi berbeda. 


Kali ini beberapa petugas membawa bibit melati, untuk ditanam di sebuah taman kota yang baru dibangun. Mereka menurunkan berbagai bibit bunga dari sebuah mobil pick up. 

Saya menatap mereka iri. Sekali lagi. 

Saya kebayang, betapa seru segala list kerjaan mereka hari itu. Saya membayangkan jika saya dikasih tugas mengurus tanaman pada sebuah area yang  baru selesai dibangun, saya akan berbinar amat cemerlang.

Pertama-tama, saya akan membuat design dulu. Ada tanaman yang butuh full cahaya matahari, dan ada yang pengennya rindang. Terus ada yang perlu ditempatkan di pinggir demi keselarasan dan keamanan, dan ada yang bagus diletakkan sebagai center point. Sebagian tanaman mungkin akan kena black list, sebab bisa menimbulkan masalah bagi anak-anak yang senang eksplorasi lebih lanjut. 

Kelak ketika semua rancangan kelar, dan disetujui pimpinan, saya akan berbelanja tanaman. Olala, betapa serunya belanja tanpa memikirkan berkurangnya uang di dompet. Karena kali ini, anggaran yang akan membayar tagihan saya. 

Sweet.. 

Hihihi.. 

Usai aesi berbelanja dimana saya pastikan saya akan terus nyengir itu. Saya akan mengurus tanaman di tempat baru. Menyenangkan bisa menaman dan merawatnya hingga ia tumbuh dengan stabil di taman. Terus kalau sudah kelar, saya bisa pindah mengurus lokasi lain. 

Alangkah menyenangkan. 

Saya menatap satu persatu bibit melati dipindahkan, dan saya tetap iri. 

Hanya kali ini saya tidak hendak bertukar profesi. Saya akan tetap menjadi ibunda ketiga putri. Seorang yang mendedikasikan waktu untuk perkembangan mereka. Akan tetapi, rasa iri tadi akan membuat saya menambah daftar. Bahwa saya perlu memastikan ketiga anak saya, akan paham dengan apa yang mereka sukai sejak masih belia. Agar kelak, mereka bisa bekerja di tempat yang paling membahagiakan untuknya. 


Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga