Karena Aurora Tidak Ada di Langit Jakarta

Suasana sepi dan dingin pada sebuah kampung di punggung gunung, pas sekali untuk membaca buku. Saya seringkali menghabiskan sesiangan bersama buku-buku perpustakaan SD. Untunglah, saat saya kecil, pemerintah mengirimkan banyak buku bacaan ke sekolah kami. Saya jadi bisa berkelana ke banyak negeri.

Salah satunya, saya sempat main ke Batang. Gegara membaca kisah tentang anak yang menanam pepaya. Perjalanannya sangat panjang. Berulangkali jatuh bangun, gagal bercocok tanam dengan berbagai sebab. Tapi ia bertahan dengan gigih, hingga akhirnya berhasil. Ini tidak urung membuat saya bertanya-tanya apakah di Batang beneran banyak pohon pepaya. Karena waktu itu belum ada google, pertanyaan saya tadi hanya menggantung begitu saja. 
Baru kemudian berpuluh tahun lamanya, ia berjumpa jawabannya. Saat itu saya di tengah perjalanan menuju kota Semarang. Kami melewati pantura, sebab tol cipali masih belum ada kala itu. Jadi setelah keluar di tol  Cikampek, kami menyusuri jalanan perlahan. Lalu setelah sekian lama, saya tersentak saat ada bangunan pemerintahan yang menuliskan nama Batang. 
Whoaa.. ini adalah nama kota yang dulu menemani khayalan saya. 
Kota yang rasanya teramat jauh, entah akan ada waktu melihatnya ataukah tidak.

Di masa kecil, saya seringkali demikian. Usai membaca sebuah cerita, saya jadi sibuk mereka-reka.   Saya memikirkan orang-orang yang tinggal di sebuah tempat, dan juga bagaimana mereka berinteraksi. Apakah makannya sama dengan kita, apakah di sana ada seluncuran, apakah mereka punya kebiasaan yang sama.

Ketika buku bacaan membawa saya lebih jauh lagi, saya makin banyak bahan renungan. Bagaimana orang-orang hidup di negeri bersalju. Seberapa banyak selimut yang mereka miliki. Lalu bagaimana mereka pergi sekolah. Dan buanyaaak pertanyaan lainnya. 
Ketika sampai pada cerita yang menyinggung tentang aurora. Saya terpesona. 
Bagaimana bisa ada parade warna di langit, yang indahnya tidak bisa didefenisikan. Kali ini saya bertanya-tanya kenapa warna seindah ini tidak pernah singgah di kampung kami. 

Alangkah indahnya jika  kampung kami yang hijau permai ini, juga terlihat elok kala malam menyapa. 
Jika siang hari, rombongan burung menguasai langit, mereka akan berangkat serombongan. Lalu meliuk ganti formasi, lanjut semangat menuju tujuan. Lalu saat senja datang, mereka pulang ke sarang. Siang juga akan indah dengan berbagai warna warni tanaman liar, dan semak belukar yang sering menyembunyikan bunga yang indah. 

Setelah sepanjang siang, penuh dengan warna yang semarak. Malam hari, penduduk desa bisa berbaring menatap langit. Persis saat itu, parade warna dimulai. Megah dengan warna yang tidak bisa dijelaskan Dengan kalimat pendek.

Tapi pada saat itu juga, saya menyadari bahwa tidak bisa juga demikian. Negeri kita tidak bisa memiliki.semua keelokan itu sendirian. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga